Opini
Sampah Makanan Menumpuk di Tengah Kondisi Ekonomi yang Kian Terpuruk
Oleh: Fitria Rahmah, S.Pd.
(Pendidik Generasi dan Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Wajah demokrasi kapitalis kembali menyuguhkan potret yang membuat miris. Begitu banyak potret kehidupan yang memilukan hadir dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini. Hari demi hari tak pernah luput dari kabar yang membuat geleng-geleng kepala. Kebijakan yang dihadirkan pun tak jarang di luar logika. Seolah permainan, para penguasa tak serius dalam mengurusi rakyat.
Seperti potret kehidupan yang sedang dikeluhkan saat ini, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengungkapkan Indonesia selalu kehilangan nilai ekonomi gara-gara banyak sisa makanan terbuang (food lost and waste). Bahkan kerugian yang dialami RI bisa mencapai 551 triliun. Tak hanya kerugian ekonomi, menurut dia, banyak makanan yang terbuang ini juga menciptakan sampah yang menumpuk (Suara.com, 03-07-2024).
Food waste atau sampah makanan, sejatinya bukan hanya masalah yang terjadi di Indonesia, tetapi juga masalah yang melanda dunia. Menurut laporan dari United Nations Environment Programme (UNER) bertajuk Food Waste Index 2021, Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara. Total makanan yang diproduksi setiap tahunnya mencapai 20,93 juta ton.
Bahkan di tingkat dunia, Indonesia posisi urutan kedua sebagai negara paling rajin menumpuk sampah sisa makanan. Hal itu berdasarlan data laporan The Economist pada tahun 2011 bertajuk Fixing Food: Towards The More Sustainable Food System.
Kondisi ini tercipta karena sistem sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini melahirkan budaya konsumerisme di tengah-tengah masyarakat. Budaya ini sangat melekat pada masyarakat sekuler kapitalis. Masyarakat sering kali membeli sesuatu bukan atas dasar kebutuhan, tetapi atas dasar keinginan, hanya untuk kepuasan semata demi meraih kebahagian. Mereka pun memiliki budaya berlebihan dalam menyajikan makanan sehari-hari dan pada akhirnya sisa makanan di rumah berakhir di tempat sampah, yang biasa disebut “left over”. Mereka berlomba-lomba untuk membeli apa pun termasuk makanan demi gengsi dan eksistensi diri. Alhasil, lahirlah generasi hedonisme.
Di sisi lain, hal ini juga dikarenakan adanya mis-manajemen dalam negara dalam pendistribusian harta. Sehingga mengakibatkan kemiskinan dan problem lain seperti kasus beras busuk di gudang bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga, dan lain-lain. Selain itu, di bidang ekonomi penguasa hanya fokus pada sisi produksi saja tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan.
Saat ini menjamur pabrik-pabrik makanan yang memproduksi makanan dalam jumlah besar. Akibatnya, sampah makanan tak terelakkan akibat dari produksi yang melebihi kebutuhan pasar. Kesalahan perencanaan dan manajemen, baik yang masih layak dikonsumsi ataupun tidak mengakibatkan sisa makanan dalam jumlah besar pula.
Permasalahan sampah makanan ini tidak boleh dianggap sepele. Sebab, ia memiliki dampak yang buruk, bukan hanya terhadap lingkungan, tapi juga ekonomi, kesehatan dan sosial. Dari segi lingkungan, sampah makanan sama seperti sampah plastik, ancaman sampah makanan juga menjadi hal yang serius. Sebab, timbunan ratusan ribu ton sampah makanan akan menghasilkan gas metana (CH4) sekaligus emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Jika tidak segera ditangani, maka sampah makanan ini akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja, dan akan menimbun orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Sampah sisa makanan juga dapat menghasilkan limbah air lindi yang bisa mencemari tanah dan air.
Dari segi kesehatan, sampah makanan yang membusuk, selain menghasilkan bau busuk, juga akan tumbuh virus atau bakteri yang akan menyebar dan mengakibatkan berbagai macam penyakit. Dari segi ekonomi, sampah makanan yang jumlahnya banyak tersebut setara dengan kerugian Rp. 213–551 triliun per tahun. Dari segi sosial, banyak ditemui krisis pangan dan masalah stunting pada balita yang mencapai lebih dari delapan juta anak akibar dari buruknya pendistribusian harta yang dilakukan oleh negara.
Terlihat jelas, bahwa dampak dari sampah makanan ini sangat besar dan mengancam semua aspek kehidupan. Sistem sekuler kapitalis, yang menjauhkan agama dari kehidupan, tidak hanya melahirkan masyarakat yang hedon, tetapi juga apatis dan tidak memiliki empati dan juga simpati. Mereka pun abai terhadap permasalahan sampah makanan. Terlebih lagi, hal ini terjadi di tengah-tengah kondisi ekonomi yang makin terpuruk. Sungguh miris!
Maraknya PHK yang terjadi dimana-mana, harga barang-barang yang mahal hingga sulit dijangkau oleh mayoritas rakyat, turunnya daya beli merupakan indikator dari perekonomian yang tidak sehat. Hal ini menyebabkan angka kemiskinan dan kelaparan yang makin meningkat.
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), angka kelaparan Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Pada tahun 2022, Indonesia tercatat memiliki prevalence of undernourishment 5,9%. Artinya, sekitar 5,9% dari total populasi Indonesia (sekitar 16,2 juta orang) diperkirakan mengalami kelaparan.
Padahal, jika dikelola dengan baik, sampah makanan yang dibuang oleh warga Indonesia per tahunnya yang mencapai angka hampir 300 kilogram dapat mencukupi kebutuhan pangan setara untuk 3 milyar orang.
Namun, sayangnya permasalahan sampah makanan kian kemari kian menumpuk. Gaya hidup hedonisme dan konsumerisme membuat food waste makin tak terhindarkan. Di sisi lain, solusi yang dihadirkan pun hanya sebatas kampanye, penyuluhan, dan pembentukan organisasi yang peduli akan lingkungan.
Solusi ini sejatinya hanya menyentuh permukaan saja. Dibutuhkan solusi yang menyentuh hingga ke akar permasalahan, sehingga masalah sampah makanan dapat terselesaikan dengan baik. Masalah sampah makanan sesungguhnya bukan sekadar tentang kesadaran masyarakat dalam mengonsumsi jumlah makanan. Namun jauh dari itu, masalah ini sejatinya adalah masalah yang ditimbulkan oleh sistem bernegara saat ini.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa sistem ini telah melahirkan masyarakat yang rusak akibat dari sistem yang rusak. Maka tidak heran jika masyarakat yang rusak ini tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan sampah makanan. Mereka menganggap hal ini adalah hal sepele yang tidak akan berimbas pada apa pun.
Oleh karena itu solusi yang menyentuh akar adalah solusi yang menyentuh ke sistem bernegara saat ini. Kerusakan di semua aspek kehidupan membuktikan bahwa sistem kapitalis tidak pernah layak dijadikan sebagai asas bernegara. Hanya ada satu sistem bernegara yang terbukti mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Sistem ini telah teruji selama 13 abad lamanya ialah sistem Islam, yaitu sistem yang menerapkan aturan Islam secara sempurna di semua aspek kehidupan.
Islam memiliki aturan terbaik dalam mengatur konsumsi dan juga distribusi sehingga terhindar dari kemubaziran dan berlebih-lebihan. Dengan pengaturan yang cermat, akan terwujud distribusi yang merata dan mengentaskan kemiskinan, dan food waste dapat dihindarkan. Sistem ini berasaskan pada akidah. Hal ini berarti tidak ada pemisahan agama dalam kehidupan. Sehingga, negara akan menjaga dan menjamin keimanan dan ketakwaan setiap rakyatnya.
Semua aspek kehidupan akan diatur dengan aturan yang berasalkan dari Sang Pencipta. Termasuk dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan Islam mampu mencetak individu yang bijak bersikap termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan. Sebab, pendidikan dalam sistem Islam bertujuan untuk membentuk individu yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami.
Dengan begini maka akan tercipta masyarakat dan negara yang islami, yang akan menyadari akan hakikat penciptaan mereka sebagai hamba yang harus taat pada syariat Islam. Maka secara otomatis mereka pun akan selalu berhati-hati dalam bertindak, termasuk dalam mengonsumsi makanan. Halal dan haram akan senantiasa diperhatikan, sebab semua perbuatan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dengan banyaknya peringatan yang berupa hadis atau pun firman Allah, masyarakat akan bersifat zuhud yang salah satu wujudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Sebagaimana firman Allah Swt.
Dalam surat Al-A’raf ayat 31 “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebihan-lebihan.”
Dengan begini, mereka tidak akan seenaknya dalam membuang-buang makanan.
Hal ini akan menghindarkan masyarakat dari budaya berlebihan, sifat konsumtif dan hedonisme. Sifat-sifat tersebut akan sangat mudah diberantas ketika sistem ini berlaku dalam sebuah negara. Sehingga budaya masyarakat urban seperti saat ini tidak akan nampak. Selain itu, penguasa pun akan hadir secara langsung dalam mengurusi urusan rakyatnya. Negara ini memiliki mekanisme yang cermat dan tepat dalam mendistribusikan makanan. Sehingga mustahil adanya masyarakat yang miskin dan kelaparan. Kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok umat dapat terpenuhi dengan baik dengan pengelolaan baitulmal.
Penguasa pun akan mengawasi secara langsung industri makanan yang berkembang, sehingga tidak ada praktik membuang-buang makanan akibat dari produksi yang berlebihan. Proses produksi hanya akan berlangsung sesuai kebutuhan pasar, hasil dari perhitungan yang cermat. keberadaannya sesuai dengan kebutuhan umat.
Khalifah, sebagai pemimpin umat akan mengemban amanah yang ada berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Ia akan memberikan teladan yang baik kepada umat dengan tidak melanggar syariat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika beliau menolak makan daging karena rakyatnya sedang mengalami krisis pangan. Dengan penerapan aturan Islam secara sempurna ini, niscaya persoalaan sampah makanan dapat terselesaikan dengan tuntas. Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar