Opini
Suburnya Pornografi dalam Dekapan Kapitalisme
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Wacana pemblokiran platform media sosial X mencuat. Wacana yang digagas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakpatuhan X terhadap larangan penyebaran konten dewasa. Elon Musk, pemilik X memberi ijin para penggunanya untuk mengunggah konten apapun.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum mengatakan bahwa langkah pemblokiran X bukanlah solusi dan tidak efektif. Sebab, Kominfo hanya sibuk mengurus sisi hilirnya saja, bukan bagian hulu yang merupakan produsen konten pornografi (Kompas.con, 16-6-2024).
Bak jamur di musim hujan. Begitulah kiranya kiasan yang tepat untuk menggambarkan betapa produktifnya konten konten negatif bertebaran di sosial media. Salah satunya pornografi. Ia ibarat rantai yang tak pernah putus, bahkan beralih dijadikan bisnis untuk meraup keuntungan yang tak jarang menjadikan anak sebagai objek visualisasi. Kondisi makin parah, ketika kemajuan teknologi dan digitalisasi media justru dijadikan peluang untuk memaksimalkan distribusi konten horor tersebut, membuat industri pornografi berkembang berkali lipat dari tahun sebelumnya.
Pornografi tentu bukan masalah sepele. Karena buntut dari suguhan ini, adalah kasus asusila yang nyaris terjadi setiap hari. Jika dibiarkan, tentu akan berdampak besar terhadap kondisi sosial masyarakat. Pemerkosaan, aborsi, pembuangan dan pembunuhan bayi tak berdosa adalah efek domino yang tak bisa dihindari.
Sebagai entitas besar, tentu negara tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan. Seperti melakukan ‘take down’ konten terkait di sosial media, hingga rencana untuk memblokir aplikasi X yang diduga turut menyebarkan. Namun masih menjadi misteri, akankah langkah tersebut menjadi solusi?
Faktor liarnya distribusi konten berbau pornografi tentu tidak berdiri sendiri. Namun berkesinambungan satu sama lain dimana semuanya terkolerasi pada satu ide, kapitalisme.
Pertama, sebagai sebuah ideologi yang berfokus pada nilai materi, kapitalisme menganggap bahwa pornografi merupakan salah satu industri hiburan yang menghasilkan keuntungan. Ia muncul karena ada pasar yang membutuhkan pelampiasan dari stimulus yang ada di tengah masyarakat. Kemudahan meraup cuan dengan modal share adegan badan, yang notabene bertolak belakang dengan sulitnya mencari mata pencaharian secara halal, menjadikan pornografi sebagai bisnis/profesi menjanjikan. Sebagaimana prinsip industri yang lain, industri pornografi juga melahirkan simbiosis mutualisme, antara produsen, konsumen, hingga distributor.
Kedua, kapitalisme yang berasaskan sekuler, menjadikan ketakwaan individu makin mudah terkikis. Hal ini karena peran agama dipisahkan dari urusan kehidupan. Akibatnya, masyarakat makin bebas berperilaku. Bebas melakukan adegan porno dengan dalih tubuhku milikku, mengunggah dan menonton nya tanpa diselimuti perasaan takut akan dosa.
Ketiga, lemahnya pengawasan dari negara. Terbukti dengan banyaknya konten tayangan di aplikasi streaming yang tak jarang menampilkan adegan fulgar. Nahasnya, konten tersebut bisa lulus sensor dan bebas diakses siapapun.
Dari sini kita paham, bahwa pornografi adalah permasalahan kompleks yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan pintas, sebatas menutup suatu aplikasi. Karena faktanya, sekuler kapitalisme menyediakan banyak sekali celah bagi masuknya pornografi. Paham pula kita, bahwa pornografi bukan masalah individual semata sehingga cukup untuk mengamankan individu terdekat saja. Oleh karena itu dibutuhkan totalitas peran negara dalam menyelesaikan masalah ini.
Pertama, negara harus mendorong individu rakyat agar senantiasa terikat dengan hukum syarak. Menguatkan sisi keimanan mereka dengan mewujudkan sistem pendidikan berbasis Islam. Langkah ini untuk membentuk sosok muslim dengan kepribadian Islam yang tangguh dan tidak mudah goyah dengan tawaran duniawi.
Kedua, negara berperan penting dalam menciptakan atmosfer sosial yang sehat dan bersih dari pornografi. Dua hal penting dalam upaya ini adalah dengan menerapkan sistem tata sosial dengan seperangkat syariat mengenai interaksi manusia. Seperti menjaga aurat, melarang khalwat dan ikhtilat, serta menjaga kehormatan diri. Ketiga, menerapkan politik media dengan tidak berkompromi pada industri pornografi dengan alasan kebebasan. Sehingga visualisasi media benar benar akan diperhatikan dan dibatasi oleh negara.
Keempat, adalah penerapan sistem sanksi oleh negara. Eksistensi syariat melahirkan keseragaman definisi pornografi dan memustahilkan perbedaan/perdebatan tentangnya. Sehingga negara bisa lebih tegas mengambil tindakan atas hal yang terindikasi pornografi. Sanksi tegas ini akan menimbulkan efek jera sehingga hal serupa tidak berulang.
Demikianlah totalitas peran negara dalam menyelesaikan masalah ini. Ia tidak sekadar melindungi rakyat dari aksi kejahatan akibat tontonan pornografi (korban), namun juga mencegah mereka dari potensi sebagai pelaku, penyebar, maupun penikmat. Sehingga, tidak ada pilihan lain selain mewujudkan totalitas ini dengan memperjuangkan hadirnya negara yang menerapkan Islam secara kaffah.
Via
Opini
Posting Komentar