Opini
Tapera, Bagaimana Tanggung Jawab Negara?
Oleh: Naila Ahmad Farah Adiba
(Siswi MAN Batam)
TanahRibathMedia.Com—Tabungan pemerasan rakyat, kalimat ini agaknya lebih tepat sebagai kepanjangan dari akronim 'Tapera' yang akhir-akhir ini sedang santer dikabarkan dan dibicarakan oleh hampir seluruh lini masyarakat.
Tapera alias tabungan perumahan rakyat merupakan tabungan yang pengelolaannya berada di bawah Badan Pengelola (BP) Tapera. Sebagaimana dilansir dari situs website https://money.kompas.com (30-05-2024).
Nominal dari Tapera sendiri adalah 3% dari gaji pokok yang diterima bagi masing-masing pegawai negeri sipil. Namun, isu yang beredar, Tapera ini bahkan akan dikenakan kepada pegawai non PNS, alias pegawai swasta.
Nah, apakah Tapera ini merupakan solusi atas permasalahan kemiskinan yang kini makin marak terjadi? Jika ditelisik dari kenyataan yang terjadi di lapangan, hal ini bukanlah solusi atas kemiskinan. Bahkan membebani rakyat yang kian hari makin tersiksa akibat ekonomi yang hanya dikuasai oleh segelintir korporat, pengusaha, dan juga para pemegang kekuasaan.
Coba kita berpikir sejenak tentang perihal Tapera ini. Tabungan yang diambil 3% dari gaji pokok dan katanya digunakan untuk pembuatan perumahan rakyat. Kalau kita lihat, dari hal ini saja sudah banyak keganjilan yang terjadi. Butuh waktu yang tak sebentar untuk bisa menghasilkan rumah dari tabungan tersebut.
Maka sebenarnya perlu dikulik kembali, apa sebenarnya motif dari diberlakukannya tabungan perumahan rakyat ini. Apakah benar-benar akan kembali kepada rakyat atau malah masuk kepada kantong para korporat?
Terlebih kita sudah mengetahui bersama, di dalam sebuah negara yang tidak menerapkan syariat Islam sebagai asasnya, tentu sangat mudah terjadi kecurangan dan ketimpangan, karena mereka tidak memiliki taqwallah tadi.
Sehingga dengan mudahnya mereka menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok sebagian kecil mereka. Bahkan, kita sebagai rakyat, boro-boro mau ikut merasakan dana Tapera, sedangkan untuk kesehatan saja kita harus membayar sendiri dengan atau tanpa BPJS.
Lalu sebenarnya bagaimana seharusnya tanggung jawab negara sebagai pengayom masyarakat? Bukankah seharusnya mereka yang menjamin kesejahteraan rakyat? Namun, mengapa hari ini justru mereka yang menyebabkan segala ketimpangan dan penderitaan?
Hal itu bermula ketika Daulah Islam runtuh pada tahun 1924 di Istanbul, Turki. Sistem Islam yang telah berdiri selama kurang lebih empat belas abad lamanya, hancur tak bersisa. Seluruh atribut keislaman dilarang untuk digunakan. Digantikan oleh sistem sekuler kapitalisme, yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sehingga, wajar jika terjadi berbagai ketimpangan dan penderitaan, karena kepemimpinan yang dijalankan tidak menggunakan syariat Islam sebagai aturan. Mereka dengan pongahnya membuat undang-undang sendiri, tanpa mengikuti pedoman yang telah diwariskan oleh Nabi.
Mereka mengatakan bahwa agama cukup di tempat-tempat ibadah saja, seperti masjid. Jika urusan politik dan pemerintahan, mereka enggan mengikuti ajaran Islam. Maka, wajar jika tumbuh individu-individu yang beragama Islam, namun tidak memahaminya dengan benar dan sempurna.
Sehingga, jika para individu nya sudah tidak memahami Islam dengan benar, tentu saja ketaatannya pada syariat Allah perlu dipertanyakan. Maka dari itu, perlunya menuntut ilmu secara terus-menerus, agar kita memahami agama kita dengan benar dan paripurna.
Ketika setiap individu sudah memiliki pemahaman yang benar, akan mewujudkan sebuah masyarakat yang saling menasehati dalam kebaikan, dan melarang pada keburukan. Namun, hal itu sangat sulit untuk dilakukan jika sistem yang diterapkan tidak menggunakan Islam.
Oleh karenanya, jangan pernah berhenti untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya pada masyarakat luas. Hingga kelak syariat Islam sempurna diterapkan. Wallahu a'lam bish showwab.
Via
Opini
Posting Komentar