Opini
Viral Konten Tawuran, Sistem Kapitalisme Rusak Generasi
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Aksi tawuran antar genk motor yang digawangi para remaja kembali terjadi. Kali ini aksi tawuran tersebut terjadi di Ciamis, Jawa Barat. Sebanyak delapan pelaku pun berhasil diciduk pihak berwajib saat aksi hendak berlangsung pada Minggu, 30 Juni 2024 pagi-pagi buta.
Berdasarkan dugaan aparat, aksi tawuran tersebut ternyata hanyalah sebuah konten untuk menghasilkan uang di sosial media. Pasalnya, selain para pelaku saat diidentifikasi bukanlah merupakan warga setempat, juga terdapat bukti-bukti yang memperkuat bahwa aksi tawuran tersebut hanyalah sebuah konten belaka, seperti adanya perjanjian dari para pelaku melalui media sosial juga ada bukti siaran langsung yang sedang dilakukan. (republika.co.id, 30-6-2024).
Sebelumnya, kasus serupa yakni tawuran dijadikan sebagai bahan konten media sosial juga dilakukan oleh para remaja di Surabaya. Para remaja yang menyebut genk mereka dengan sebutan "Pasukan Angin Malam" itu terbukti melakukan perjanjian antar anggota kelompok untuk melaksanakan tawuran di sekitar Sidotopo Dipo Surabaya pada Kamis, 27 Juni 2024 lalu, serta adanya live streaming yang dilakukan jelang melakukan aksinya. Sejumlah senjata tajam seperti celurit, gergaji, dan parang pun berhasil diamankan pihak kepolisian (radarsurabaya.jawapos.com, 27-6-2024).
Aksi tawuran sebelumnya juga bukanlah kasus asing yang terjadi. Faktanya kasus tawuran antar remaja genk motor di berbagai daerah sudah kerap terjadi dan cukup meresahkan masyarakat. Hanya saja, kini penyebab tawuran bukan cuma dilatarbelakangi oleh persaingan antar genk, gengsi, ego, harga diri, maupun faktor psikologis berupa krisis identitas diri. Tetapi juga faktor terbaru yang melatarbelakangi adanya tawuran adalah demi konten untuk menghasilkan keuntungan materi.
Apa yang dilakukan para remaja yang kerap terlibat tawuran, utamanya yang dijadikan konten itu menunjukan bahwa generasi saat ini makin sangat tidak baik-baik saja. Karena sadar atau tidak, adanya tawuran yang dijadikan konten demi mendapatkan cuan, hal ini menandakan bahwa cara pandang pada pemuda ini dalam mengukur kebahagiaan adalah berdasarkan materi. Semakin banyak uang maka akan dianggap semakin bahagia. Termasuk di dalamnya rela melakukan apapun, tidak peduli apakah itu halal atau haram, mendidik atau tidak, dan bermanfaat atau malah menyesatkan, hal itu tidak penting. Karena yang terpenting adalah bisa menghasilkan uang.
Yang lebih miris dari ini semua adalah, para pelaku merupakan generasi muda umat Islam. Mayoritas pelaku adalah muslim dan berasal dari orangtua yang beragama Islam. Sungguh suatu hal yang tidak ideal ketika Islam yang dipandang memiliki ajaran yang sempurna malah faktanya banyak umat bahkan generasi mudanya justru kehilangan jati diri. Idealnya menjadi individu yang taat pada Allah, malah menghamba kepada uang dan rela melakukan apapun.
Dari fakta ini, artinya bahwa umat Islam saat ini tidak banyak memahami agamanya sendiri hingga tidak paham apa tujuan hidup mereka di dunia ini. Semua hal tersebut tidak lain disebabkan karena sistem sekuler kapitalisme yang tak hanya telah tersistem di pemerintahan, tetapi juga di dunia pendidikan, lebih jauh bahkan telah merasuki pemikiran mereka.
Sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan sehari-hari, menganggap agama hanya sebatas ritual peribadatan semata, pada akhirnya anak-anak remaja ini menjadi liberal dengan melakukan apapun yang mereka mau dan suka serta menghalalkan segala cara demi keuntungan materi.
Banyaknya kasus tawuran ini, lebih-lebih yang dilakukan untuk konten media sosial, menandakan bahwa sistem kapitalisme yang sudah tersistem di pemerintahan Indonesia telah gagal dalam mencetak generasi yang berkualitas. Karena pendidikan yang seharusnya bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik untuk bisa lebih memahami dirinya dan menemukan jati dirinya yang hakiki malah menjadi individu-individu yang sekuler liberal.
Generasi yang seharusnya menjadi cerdas dan bisa bermanfaat untuk masyarakat, karena pemikiran sekuler-liberal ini, justru memanfaatkan media sosial demi kepentingan mencari keuntungan materi semata. Bukan tidak mungkin meski tawuran tersebut hanya bertujuan konten, malah akan terjadi tindakan kekerasan. Selain itu baik penonton maupun follower dari konten tersebut alih-alih bukannya melaporkan kepada pihak berwenang atas konten kekerasan yang mereka tonton, justru ikut menikmati setiap adegan tawuran di depan mata.
Selain dampak buruk bagi pelaku dan masyarakat sekitar TKP, konten tawuran ini juga memiliki dampak sangat buruk bagi penontonnya, utamanya jika yang menonton adalah anak-anak. Selain bisa ditiru, aksi tawuran yang ditonton itu malah dianggap keren dan kekinian. Lebih-lebih bila hal itu bisa menghasilkan cuan. Orang malah berlomba untuk melakukan itu demi uang.
Berbeda jika yang diterapkan oleh negara dan pendidikan adalah sistem Islam. Islam yang merupakan suatu agama yang tak hanya mengurus tentang hubungan dengan Tuhan semata, tetapi juga mengurus semua hal dalam hidup manusia mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Mencakup pemikiran, perbuatan dan niat seseorang dalam melakukan sesuatu.
Sistem pendidikan Islam yang menanamkan akidah yang kuat, rasa takut kepada Allah akan mampu mengontrol hidup seorang hamba untuk senantiasa berjalan di jalurnya serta terikat oleh syariat yang ada. Dimulai dari pendidikan di rumah, yakni di bawah pengasuhan orangtuanya, anak akan lebih banyak mendapatkan perhatian. Karena nyatanya salah satu faktor penyebab adanya tawuran antar pelajar atau remaja adalah tidak adanya perhatian dari orangtua.
Orangtua yang sibuk bekerja akan melalaikan tugasnya dalam mendidik, merawat dan menjaga anak-anaknya. Apalagi di tengah perekonomian yang sulit dalam sistem kapitalisme. Dan pastinya ketiadaan orangtua dalam perhatian anak-anak mereka ini adalah penyebab anak mencari perhatian di luar.
Dalam sistem Islam, ekonomi pun menjadi konsentrasi utama pemerintah. Karena berawal dari ekonomi inilah timbul berbagai permasalahan sosial. Dua di antaranya adalah anak-anak yang mencari perhatian di luar akibat kesibukan orangtuanya hingga akhirnya terjerumus dalam dunia genk motor. Termasuk anak-anak remaja yang menggunakan tawuran sebagai konten demi bisa menghasilkan uang untuk membeli apapun yang mereka inginkan sebagai bagian dari mengejar kebahagiaan.
Kemudian pendidikan di sekolah, bagaimana para guru mendidik peserta didik tak hanya soal bagaimana cara sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah spiritual lain, tetapi mampu memberikan jawaban pasti dan memuaskan, siapa Allah, mengapa harus menyembah Allah, tentang tujuan hidup manusia, hendak kemana setelah mati, serta pemahaman terhadap setiap ibadah-ibadah yang Allah perintahkan itu mengapa harus dikerjakan.
Dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan di dalam Islam tidak memproduksi individu-individu yang mengejar materi sebagai poin penting atau tolok ukur kesuksesan seseorang, tetapi memproduksi individu-individu yang berupaya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun lingkungan masyarakat sebagai bagian dari pemahaman akan tujuan hidupnya. Sehingga ketika hendak memikirkan membuat konten sosial media, tentu akan dipikirkan matang-matang tentang tema apa yang diangkat dan menimbang tentang baik-buruk, halal-haram, maupun yang bermanfaat untuk umat atau bukan.
Masyarakat harus berperan membina genberasi dan dituntut menjadi pengontrol. Sehingga jika ada hal yang negatif muncul di tengah masyarakat, peran merekalah yang menjadi senjata pertama menghentikan hal negatif itu. Terakhir adalah peran negara,Viral Konten Tawuran, Sistem Kapitalisme Rusak Generasi
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Aksi tawuran antar genk motor yang digawangi para remaja kembali terjadi. Kali ini aksi tawuran tersebut terjadi di Ciamis, Jawa Barat. Sebanyak delapan pelaku pun berhasil diciduk pihak berwajib saat aksi hendak berlangsung pada Minggu, 30 Juni 2024 pagi-pagi buta.
Berdasarkan dugaan aparat, aksi tawuran tersebut ternyata hanyalah sebuah konten untuk menghasilkan uang di sosial media. Pasalnya, selain para pelaku saat diidentifikasi bukanlah merupakan warga setempat, juga terdapat bukti-bukti yang memperkuat bahwa aksi tawuran tersebut hanyalah sebuah konten belaka, seperti adanya perjanjian dari para pelaku melalui media sosial juga ada bukti siaran langsung yang sedang dilakukan. (republika.co.id, 30-6-2024).
Sebelumnya, kasus serupa yakni tawuran dijadikan sebagai bahan konten media sosial juga dilakukan oleh para remaja di Surabaya. Para remaja yang menyebut genk mereka dengan sebutan "Pasukan Angin Malam" itu terbukti melakukan perjanjian antar anggota kelompok untuk melaksanakan tawuran di sekitar Sidotopo Dipo Surabaya pada Kamis, 27 Juni 2024 lalu, serta adanya live streaming yang dilakukan jelang melakukan aksinya. Sejumlah senjata tajam seperti celurit, gergaji, dan parang pun berhasil diamankan pihak kepolisian. (radarsurabaya.jawapos.com, 27-6-2024).
Aksi tawuran sebelumnya juga bukanlah kasus asing yang terjadi. Faktanya kasus tawuran antar remaja genk motor di berbagai daerah sudah kerap terjadi dan cukup meresahkan masyarakat. Hanya saja, kini penyebab tawuran bukan cuma dilatarbelakangi oleh persaingan antar genk, gengsi, ego, harga diri, maupun faktor psikologis berupa krisis identitas diri. Tetapi juga faktor terbaru yang melatarbelakangi adanya tawuran adalah demi konten untuk menghasilkan keuntungan materi.
Apa yang dilakukan para remaja yang kerap terlibat tawuran, utamanya yang dijadikan konten itu menunjukan bahwa generasi saat ini makin sangat tidak baik-baik saja. Karena sadar atau tidak, adanya tawuran yang dijadikan konten demi mendapatkan cuan, hal ini menandakan bahwa cara pandang pada pemuda ini dalam mengukur kebahagiaan adalah berdasarkan materi. Semakin banyak uang maka akan dianggap semakin bahagia. Termasuk di dalamnya rela melakukan apapun, tidak peduli apakah itu halal atau haram, mendidik atau tidak, dan bermanfaat atau malah menyesatkan, hal itu tidak penting. Karena yang terpenting adalah bisa menghasilkan uang.
Yang lebih miris dari ini semua adalah, para pelaku merupakan generasi muda umat Islam. Mayoritas pelaku adalah muslim dan berasal dari orangtua yang beragama Islam. Sungguh suatu hal yang tidak ideal ketika Islam yang dipandang memiliki ajaran yang sempurna malah faktanya banyak umat bahkan generasi mudanya justru kehilangan jati diri. Idealnya menjadi individu yang taat pada Allah, malah menghamba kepada uang dan rela melakukan apapun.
Dari fakta ini, artinya bahwa umat Islam saat ini tidak banyak memahami agamanya sendiri hingga tidak paham apa tujuan hidup mereka di dunia ini. Semua hal tersebut tidak lain disebabkan karena sistem sekuler kapitalisme yang tak hanya telah tersistem di pemerintahan, tetapi juga di dunia pendidikan, lebih jauh bahkan telah merasuki pemikiran mereka.
Sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan sehari-hari, menganggap agama hanya sebatas ritual peribadatan semata, pada akhirnya anak-anak remaja ini menjadi liberal dengan melakukan apapun yang mereka mau dan suka serta menghalalkan segala cara demi keuntungan materi.
Banyaknya kasus tawuran ini, lebih-lebih yang dilakukan untuk konten media sosial, menandakan bahwa sistem kapitalisme yang sudah tersistem di pemerintahan Indonesia telah gagal dalam mencetak generasi yang berkualitas. Karena pendidikan yang seharusnya bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik untuk bisa lebih memahami dirinya dan menemukan jati dirinya yang hakiki malah menjadi individu-individu yang sekuler liberal.
Generasi yang seharusnya menjadi cerdas dan bisa bermanfaat untuk masyarakat, karena pemikiran sekuler-liberal ini, justru memanfaatkan media sosial demi kepentingan mencari keuntungan materi semata. Bukan tidak mungkin meski tawuran tersebut hanya bertujuan konten, malah akan terjadi tindakan kekerasan. Selain itu baik penonton maupun follower dari konten tersebut alih-alih bukannya melaporkan kepada pihak berwenang atas konten kekerasan yang mereka tonton, justru ikut menikmati setiap adegan tawuran di depan mata.
Selain dampak buruk bagi pelaku dan masyarakat sekitar TKP, konten tawuran ini juga memiliki dampak sangat buruk bagi penontonnya, utamanya jika yang menonton adalah anak-anak. Selain bisa ditiru, aksi tawuran yang ditonton itu malah dianggap keren dan kekinian. Lebih-lebih bila hal itu bisa menghasilkan cuan. Orang malah berlomba untuk melakukan itu demi uang.
Berbeda jika yang diterapkan oleh negara dan pendidikan adalah sistem Islam. Islam yang merupakan suatu agama yang tak hanya mengurus tentang hubungan dengan Tuhan semata, tetapi juga mengurus semua hal dalam hidup manusia mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Mencakup pemikiran, perbuatan dan niat seseorang dalam melakukan sesuatu.
Sistem pendidikan Islam yang menanamkan akidah yang kuat, rasa takut kepada Allah akan mampu mengontrol hidup seorang hamba untuk senantiasa berjalan di jalurnya serta terikat oleh syariat yang ada. Dimulai dari pendidikan di rumah, yakni di bawah pengasuhan orangtuanya, anak akan lebih banyak mendapatkan perhatian. Karena nyatanya salah satu faktor penyebab adanya tawuran antar pelajar atau remaja adalah tidak adanya perhatian dari orangtua.
Orangtua yang sibuk bekerja akan melalaikan tugasnya dalam mendidik, merawat dan menjaga anak-anaknya. Apalagi di tengah perekonomian yang sulit dalam sistem kapitalisme. Dan pastinya ketiadaan orangtua dalam perhatian anak-anak mereka ini adalah penyebab anak mencari perhatian di luar.
Dalam sistem Islam, ekonomi pun menjadi konsentrasi utama pemerintah. Karena berawal dari ekonomi inilah timbul berbagai permasalahan sosial. Dua di antaranya adalah anak-anak yang mencari perhatian di luar akibat kesibukan orangtuanya hingga akhirnya terjerumus dalam dunia genk motor. Termasuk anak-anak remaja yang menggunakan tawuran sebagai konten demi bisa menghasilkan uang untuk membeli apapun yang mereka inginkan sebagai bagian dari mengejar kebahagiaan.
Kemudian pendidikan di sekolah, bagaimana para guru mendidik peserta didik tak hanya soal bagaimana cara sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah spiritual lain, tetapi mampu memberikan jawaban pasti dan memuaskan, siapa Allah, mengapa harus menyembah Allah, tentang tujuan hidup manusia, hendak kemana setelah mati, serta pemahaman terhadap setiap ibadah-ibadah yang Allah perintahkan itu mengapa harus dikerjakan.
Dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan di dalam Islam tidak memproduksi individu-individu yang mengejar materi sebagai poin penting atau tolok ukur kesuksesan seseorang, tetapi memproduksi individu-individu yang berupaya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun lingkungan masyarakat sebagai bagian dari pemahaman akan tujuan hidupnya. Sehingga ketika hendak memikirkan membuat konten sosial media, tentu akan dipikirkan matang-matang tentang tema apa yang diangkat dan menimbang tentang baik-buruk, halal-haram, maupun yang bermanfaat untuk umat atau bukan.
Masyarakat harus berperan membina generasi dan dituntut menjadi pengontrol. Terakhir adalah peran negara, negara banyak memiliki peran untuk menghentikan adanya kasus tawuran ini. Mulai menghukum pelakunya, mengedukasi pelakunya, memperbaiki ekonomi dan pendidikan yang menjadi sumber masalah, juga menutup segala akses informasi yang terkait dengan tawuran tersebut.
Via
Opini
Posting Komentar