Opini
Gen Z Menganggur, Bukti Ketidaksiapan Pemerintah Menghadapi Bonus Demografi
Oleh: Ayu Winarni
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2045, di mana usia produktif (15-64 tahun) akan mencapai puncaknya. Bonus demografi ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk mencapai kemajuan nasional. Tapi, hal ini dapat menjadi ancaman jika tidak dimanfaatkan dengan optimal.
Berdasarkan laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari Detiknews(5-6-2024) mengungkapkan situasi yang mengkhawatirkan. Sebanyak 9,9 juta generasi Z di Indonesia tidak kuliah dan tidak bekerja. Dengan sangat tingginya angka generasi Z tidak kuliah dan tidak kerja ini dapat menjadi batu sandungan dalam mewujudkan bonus demografi dan visi Indonesia Emas 2045.
Dampak
Tingginya angka gen Z tidak kuliah dan tidak bekerja ini patut dikhawatirkan, pasalnya, ini dapat menambah angka kemiskinan. Sementara kemiskinan ini menjadi sebab masyarakat sulit mengakses berbagai kebutuhan dan pelayanan, di antaranya: Pertama, sulitnya mengakses pendidikan. Kemiskinan menjadi salah satu sebab banyak anak putus sekolah dan tidak melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi (PT) dikarenakan biaya yang mahal dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Sementara di sisi lain, gen Z dengan usia yang produktif ini harus dioptimalkan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 yang salah satu pilarnya mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas. Jika tidak berpendidikan, jelas tidak akan tercetak SDM yang unggul.
Kedua, sulitnya mengakses layanan kesehatan. Kemiskinan juga menyebabkan masyarakat susah memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal. Di tengah situasi yang serba dikapitalisasi, pelayanan kesehatan pun tak luput turut di perdagangkan. Selain berpendidikan, kesehatan juga berpengaruh terhadap produktivitas. Generasi yang sakit-sakitan, tentu tidak mampu memaksimalkan usia produktifnya untuk bersaing bahkan berkarya.
Ketiga, sulit mengakses keadilan dan keamanan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana keadilan di negeri ini memihak yang berduit dan berkuasa. Keadilan selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Institusi penegak hukum di negeri ini selalu tegak bersama pemodal. Ketidakadilan ini juga terjadi dalam persaingan dunia kerja, di mana pelamar kerja yang berasal dari masyarakat biasa sangat susah memasuki dunia kerja untuk sektor formal, meskipun pelamar tersebut sudah memenuhi link and match. Juga sebaliknya, bagaimana kemudahan yang diperoleh oleh orang-orang bermodal meskipun terjadi mis match dengan perusahaan atau industri. Tak heran jika banyak para alumni perguruan tinggi yang memilih berkarya di sektor informal.
Kamuflase
Menjadi pertanyaan kita semua, apa faktor dari tingginya angka Gen Z tidak bekerja? Terkait ini, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menilai salah satu permasalahan dari masih tingginya angka pengangguran ialah kurang cocoknya kebutuhan industri dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang didapat dari dunia pendidikan. Oleh karenanya, diperlukan penguatan link and match antara dunia pendidikan dengan industri. "Perlu dipikirkan bagaimana mendorong penciptaan lapangan kerja baru serta ‘link and match’ ini benar-benar bisa berjalan dengan baik," ujar Teguh dikutip dari Kompas.com (3-7-2024).
Ketidaksesuaian link and match dunia pendidikan dengan industri ini menjadi alasan para pelamar kerja dinilai rendah akan skill sehingga tidak bisa diterima industri. Namun, alasan ini tentu mengonfirmasikan bahwa tengah terjadi gap yang lebar antar lapangan kerja dengan angkatan kerja. Dikutip dari Kompas.com (24-5-2024) menyampaikan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Apalagi untuk sektor yang menyerap banyak tenaga manusia, Indonesia sangat rendah dalam pembangunan.
Masalah gen Z yang susah cari kerja karena belum memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh industri adalah bahasa kamuflase untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan bukti ketidakpedulian terhadap nasib rakyat. Kekhawatiran sebenarnya adalah pendapatan para elite politik yang menurun akibat generasinya tidak produktif.
Jika sebelumnya, pemerintah juga membuka sebesar-besarnya keran investasi bagi para investor yang katanya dalam rangka membuka lapangan kerja nyatanya nihil. Faktanya, para investor memang datang berinvestasi, tapi selain membawa dana, para investor juga membawa sekaligus tenaga kerjanya, bahkan sampai pada pekerja kasar.
Penerapan Sistem yang Batil
Masalah pengangguran tidak terlepas dari tata kelola negara yang salah akibat penerapan sistem yang salah. Saat ini, negara dengan sistem kapitalis sekuler menjadi biang dari segala kerusakan yang terjadi dari hulu hingga ke hilir. Sistem ini hanya berlandaskan pada asas manfaat semata. Atas dasar asas inilah, negara kemudian tak segan menjual sumber daya alam (SDA) yang depositnya melimpah ruah kepada asing dan swasta. Akibatnya, SDA yang seharusnya dikelola oleh negara dan mampu menciptakan lapangan kerja bagi rakyat justru dipenuhi oleh tenang kerja asing (TKA).
Selain itu, sistem ini hanya menghendaki orang-orang bermodal yang berkuasa. Akibatnya, orang-orang yang menguasai sektor-sektor formal negeri ini hanya diisi dari kalangan mereka saja. Slogan "kekuasaan" di tangan rakyat itu hanya ilusi, padahal faktanya kekuasaan ada di tangan pemilik modal.
Dalam sistem kapitalis, penetapan kebijakan mengikuti kepentingan pemilik modal karena kekuasaan sendiri lahir dari support pemodal dan pemerintah yang berkuasa sebagai bentuk representasinya atau menjalankan perintah. Untuk menciptakan citra positif di tengah rakyat, pemerintah tak segan membangun berbagai proyek infrastruktur mewah yang sejatinya didanai investor sebagai hutang yang tentu syarat dengan supervisi dan manfaat jangka panjang dari pemberi hutang.
Sayangnya, masih banyak rakyat tertipu dengan kebaikan semu ini, menganggap ini adalah bentuk kepedulian pada rakyat. Padahal rakyat harus membayar mahal semua itu melalui pajak, pemangkasan subsidi dan juga anggaran diberbagai sektor termasuk pendidikan yang hari ini mahal.
Solusi
Termasuk tugas dari pemerintah adalah menghapuskan kemiskinan bagi rakyatnya. Bagaimana caranya? Dengan memastikan segala kebutuhan pokok setiap individu rakyat dapat terpenuhi, baik dengan menyediakan lapangan kerja atau pemberian modal usaha. Tentu ini juga tidak terlepas dari penerapan sistem yang benar.
Memenuhi kebutuhan pokok per individu kadang terdengar tidak mungkin jika dihadapkan pada fakta dan kondisi saat ini. Tapi, itu bukan hal yang sulit bagi sebuah negara yang menjadikan asas Islam sebagai sistem bernegara. Negara yang berasaskan Islam akan menstandarkan segala kebijakan berdasarkan halal dan haram. Memberikan sumber daya alam (SDA) kepada asing atau swasta jelas hukumnya adalah haram. Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslimin bersekutu dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR.Abu Dawud dan Ibn Majah).
Apabila SDA seperti tambang misalnya dikelola oleh negara, maka hasilnya akan mampu digunakan untuk membangun industri-industri yang menyerap banyak tenaga manusia sehingga rakyat bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok atau negara juga bisa memberikan modal usaha kepada rakyat secara gratis atau pinjaman yang bebas bunga ribawi. Sayangnya, tambang-tambang dengan deposit yang besar itu kini sudah dikuasai asing dan swasta.
Pemimpin negara yang berasas Islam akan menyadari tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat dan hisab terhadap apa yang diurus. Rasulullah saw. bersabda: "Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya." (HR. Bukhari).
Pemimpin yang seperti inilah yang benar-benar mementingkan nasib rakyat, tidak sebatas mengentaskan kemiskinan atas rakyat tapi juga mencetak generasi unggul dan berkualitas yang berkepribadian islami (syakhshiyah Islamiyah) dengan penerapan hukum-hukum Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan. Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar