Opini
Karut-marut Pilkada Wajah Asli Demokrasi
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi Untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Pada sebuah kesempatan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengunggah sebuah komentar. Hal ini terkait gonjang-ganjing hubungan PKS dan Anies yang tampak pecah kongsi di Pilgub Jakarta 2024. Hal itu nampak dari foto headline sejumlah portal berita yang ditampilkan di Instagram pribadinya. Adi memberi kesimpulan bahwa politik kita itu sederhana. Jangan pernah baper. Jangan dibawa ke hati. Hari ini lawan besok bisa kawan (Liputan6, 11-8-2024).
Dalam Pilkada Jakarta 2024 misalnya, gerbong parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) sering kali menyebutkan, bahwa penentuan calon kepala daerah akan ditentukan para ketua umum. KIM merupakan wadah parpol saat mengusung presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, ada ide akan menggaet parpol lain di luar pendukung Prabowo-Gibran dengan membentuk KIM Plus di daerah pilkada strategis.
Elite partai politik yang mendominasi penentuan calon kepala daerah membuat ruang partisipasi publik semakin menyempit. Kesepakatan petinggi parpol pada level pusat dikhawatirkan memberi andil tidak mementingkan suara kader-kader di level daerah (tirto.id, 10-9-2024).
Kelemahan Sebuah Partai yang terlahir dari Sekularisme
Dalam sistem demokrasi kekuasaan menjadi tujuan utama. Segala macam cara dilakukan. Sehingga menghalalkan segala macam cara demi meraih kekuasaan. Sebuah partai yang terlahir dari ayah demokrasi dan ibu sekularisme bisa memudarkan ideologi partai demi sebuah pemenangan. Di sinilah letak kelemahan ideologi partai, membentuk koalisi sebagai jalan tengah guna mendulang kekuatan suara.
Padahal dengan membentuk koalisi, menunjukkan lemahnya ideologi partai. Mereka lupa saat mendirikan partai tujuannya untuk apa? Jika demikian bisa dipastikan, ujung-ujungnya pragmatisme partai.
Disadari atau tidak pragmatisme menjadikan melemahnya sikap politik yang tegas terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Demi mendapatkan posisi, dukungan terhadap seseorang sewaktu-waktu dapat berubah sesuai situasi dan kondisi. Jika telah terpenuhinya jabatan serta posisi, ideologi yang kala itu diemban hilang dan memudar.
Demikian pula dengan pemilihan figur hanya dilandasi semata-mata suara terbanyak. Perhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Di sinilah politik uang yang bicara. Alhasil, akan sulit mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar memenuhi segala kebutuhan umat. Seorang pemimpin yang pro terhadap rakyat, bukan kepada korporasi yang makin tidak punya nalar dalam menguasai harta rakyat.
Itulah corak demokrasi, koalisi adalah napas perjuangan sebuah partai. Guna menguasai legislasi dengan tujuan legalitas undang-undang. Tujuannya apalagi jika bukan melanggengkan kekuasaan. Karena di dalam sistem demokrasi fungsi partai adalah membuat aturan atau disebut legislasi, dengan suara terbanyak.
Beda Demokrasi dan Islam dalam Kekuasaan
Partai dalam sistem demokrasi dengan partai dalam sistem Islam jelas berbeda sama sekali. Partai dalam sistem Islam harus berasaskan akidah Islam serta dalam menetapkan kekuasaan adalah Amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Kekuasaannya berfungsi menerapkan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Pemimpin wajib memiliki kapabilitas dan integritas, karena menjadi pengurus rakyat yang bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan rakyat dan mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan dengan syariat Islam adalah asasnya.
Oleh sebab itu dalam mendirikan partai napas dan tujuannya adalah amar makruf nahi munkar. Bukankah Allah Swt. memerintahkan kaum muslim mengajak manusia kepada kebaikan (Islam) menyuruh perbuatan makruf, dan mencegah perbuatan munkar? Di sinilah keberadaan kelompok atau partai diperintahkan oleh Allah Swt. menyeru pada Islam, serta melaksanakan amar makruf nahi munkar. Karena standar dalam menjalankan amar makruf nahi munkar adalah hukum Allah.
Allah Swt. berfirman dalam surat Ali-Imron 104 yang artinya: "Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung".
Harusnya partai Islam dalam menjalankan fungsi kepartaian tujuannya tidak lain adalah amar makruf nahi munkar. Agar umat dan penguasa bersama-sama menjalankan perintah Allah dan Rasulnya. Di sinilah fungsi ulil amri yang sebenarnya. Pemimpin telah menjalankan fungsi kekuasaannya mengurusi umat karena Allah semata.
Partai politik juga menjalankan tugas dan aktivitas lain di antaranya adalah membina dan mendidik umat. Dengan melakukan kajian-kajian umum, atau pun kajian intensif guna meraih kecerdasan umat. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh aktivis partai politik Islam. Peran partai politik memiliki peran yang sangat sretegis dalam mengawal pelaksanaan pemerintahan agar senantiasa berada dalam hukum Allah.
Dalam Islam seluruh aturan kehidupan bermuara pada Al Quran dan Sunah. Bukan pada suara mayoritas anggota partai koalisi. Karena, partai tidak mempunyai tugas sebagai legislasi. Walau terdapat banyak partai asasnya tetaplah sama yakni akidah Islam. Fungsi partai mewujudkan sistem pemerintahan serta masyarakatnya senantiasa menjalankan hukum Allah. Sehingga tercipta sebuah negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur di seluruh pelosok negeri. Sehingga suasana kehidupan fastabiqul khairat terwujud dalam suasana kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Umat pun beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Sehingga rakyat paham hanya pemimpin yang taat kepada Syariat Islam yang harus dipilih.
Demikianlah, sejatinya tugas partai politik Islam adalah membimbing umat untuk mengenal dan memahami Islam. Menjadikan umat merindukan Islam dan siap berkorban dalam mewujudkan dan melanjutkan kehidupan Islam di tengah-tengah mereka sehingga kembali menjadi umat terbaik. Wallahu'alam Bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar