Opini
Legalisasi Aborsi Hanya Sensasi Tanpa Solusi
Oleh: R. Raraswati
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
TanahRibathMedia.Com—Dilansir dari detik.com (3-8-2024), Presiden Jokowi telah menetapkan PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang kesehatan. PP yang ditandatangani presiden pada 26 Juli 2024 tersebut berisi berbagai aturan penyelenggaraan kesehatan termasuk tindakan aborsi. Pada pasal 116 dinyatakan bolehnya aborsi bagi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Ketetapan ini dibuat setelah angka kehamilan akibat pemerkosaan atau tindakan kekerasan seksual pada anak-anak dan remaja semakin tinggi. Namun, mampukah kebijakan ini memberi solusi?
Sebelum menjawab mampu atau tidaknya legalisasi aborsi memberi solusi, perlu tahu bagaimana respon masyarakat terkait kebijakan ini. Pro dan kontra akan selalu ada ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan. PP yang melegalisasi aborsi ini pun mendapat dukungan dari Komnas Perempuan. Mereka menganggap aturan tersebut mampu mempercepat pengadaan dan memperkuat akses layanan atas tersedianya hak pada pemulihan korban (komnasperempuan.go.id, 3-8-2024).
Selain itu, MUI juga menyampaikan dukungannya pada PP tersebut. K.H. Muhammad Cholil Nafis menyampaikan bahwa MUI menyatakan sepakat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tentang Aborsi beserta ketentuannya. Menurutnya, aborsi pada dasarnya dilarang, bukan dianjurkan dan bukan dibolehkan. Namun, dalam keadaan darurat medis dibolehkan melakukan aborsi (rri.co.id, 2-8-2024)
Berbeda dengan Komnas Perempuan dan MUI, Ketua Komnas Perlindungan Anak justru menolak PP tersebut. Menurutnya, aborsi bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, bahwasannya anak berusia 0-18 tahun bahkan ketika masih di dalam kandungan mendapatkan perlindungan dari undang-undang (rri.co.id, 2-8-2024).
Selain karena dilindungi undang-undang, aborsi bisa menimbulkan dampak yang lebih serius. Dampak yang mungkin terjadi bagi orang yang menjalani aborsi di antaranya terjadinya infeksi pada rahim, saluan tuba dan panggul. Dampak lainnya adalah bisa mengalami kerusakan rahim, syok sepsis, pendaharan hebat hingga kehilangan nyawa. Maka, tindakan aborsi pada korban kekerasan seksual atau pemerkosaan justru bisa menambah masalah, terlebih jika masih usia remaja bahkan anak-anak.
Maka, jelas kebijakan legalisasi aborsi hanya memberikan sensasi seolah pemerintah telah berusaha menyelesaikan permasalahan, tetapi ternyata belum memberi solusi tepat. Solusi yang diambil belum menyentuh akar permasalahannya, bahkan bisa menumbuhkan persoalan baru. Pasalnya legalisasi ini dikhawatirkan bisa meningkatkan kekerasan seksual atau pemerkosaan karena menganggap ada jalan aborsi jika terjadi kehamilan. Kebijakan tersebut juga menunjukkan lemahnya pemerintah dalam melindungi keselamatan dan kesehatan korban pemerkosaan.
Itulah kebijakan yang lahir dari pemerintahan penganut sistem sekuler kapitalisme. Kebijakan hanya diambil berdasarkan untung-rugi, bukan halal-haram. Tindakan aborsi dianggap telah mengurangi beban dengan menghilangkan bakal makhluk. Pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan menganggap aborsi sebagai solusi mudah agar korban pemerkosaan tidak dibebani dengan anak yang dikandungnya.
Miris, ketika negara dengan penduduk mayoritas Muslim mengeluarkan PP yang jauh dari syariat Islam. Dalam Islam, negara wajib menerapkan syariat dalam sistem pemerintahannya. Negara adalah rain (pengatur) urusan rakyat dan bertanggung jawab penuh atas kesejahteraannya. Negara harus menjamin kesehatan dan keselamatan rakyat termasuk perempuan korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan.
Dalam sistem Islam, aborsi hanya boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan darurat. Selain alasan itu, aborsi haram untuk dilakukan. Sanksi tegas juga akan diberlakukan jika ada yang melanggar ketentuan tersebut. Sanksi dalam Islam bagi pelaku aborsi adalah membayar diat (tebusan) bagi janin yang digugurkan. Besarnya diat adalah seorang budak laki-laki/perempuan atau sepersepuluh diat manusia sempurna yakni 10 ekor unta.
Kalaupun terpaksa dilakukan aborsi, harus memperhatikan usia janin yang tidak boleh lebih dari 40 hari atau 40 malam. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw yang artinya, "Jika nutfah (zigot) lewat dari empat puluh dua malam (dalam riwayat lain, empat puluh malam), maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu Dia membentuk nutfah tersebut. Dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu Malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah ia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan… " (HR Muslim dari Ibnu Mas'ud r.a)
Artinya, ketika kehamilan sudah berusia 40 hari atau 40 malam, maka janin telah memiliki nyawa (hidup). Jika tetap dilakukan aborsi di usia kehamilan tersebut berarti telah menghilangkan nyawa, dengan kata lain telah melakukan pembunuhan. Maka dari itu, sistem Islam melarang aborsi pada kehamilan di usia lebih dari 40 hari.
Negara yang menerapkan sistem Islam tidak hanya melakukan tindakan represif, tetapi juga preventif. Untuk mencegah terjadinya kehamilan di luar nikah, negara mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan dengan syariat Islam. Menguatkan akidah masyarakat sehingga memiliki pemikiran, perbuatan, dan kepribadian Islam. Hal ini menjadikan masyarakat melaksanakan syariat Islam dengan dorongan ketaatan kepada Allah, bukan paksaan. Masing-masing menutup aurat dengan sempurna ketika di tempat umum, sehingga dapat mencegah terjadinya syahwat yang mendorong terjadinya kekerasan seksual dan pemerkosaan.
Dengan menguatkan akidah masyarakat, bisa meminimalisir adanya I’tilat (bercampur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) juga khalwat (seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram). Maka, inshaa Allah pemerkosaan atau kekerasan seksual bisa dihindari. Umat akan berusaha menjauhi zina sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 32 yang artinya,"Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan buruk.”
Ayat tersebut akan tertanam di benak kaum Muslimin dan berusaha mentaatinya. Dengan demikian, kasus hamil akibat kekerasan seksual atau pemerkosaan bisa ditekan bahkan dihilangkan. Secara otomatis undang-undang aborsi tidak perlu dibuat oleh pemerintah. Wallahualam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar