Opini
Menguak Fakta Viralnya Puluhan Siswa SMP Tidak Bisa Membaca, Salah Siapa?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Netizen Indonesia gempar oleh viralnya berita tentang puluhan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tidak bisa membaca alias buta huruf di sosial media. Berita berawal dari cuitan seorang guru dengan nama akun Sarah yang mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 30an siswa di sekolah tempatnya mengajar itu tidak bisa membaca hingga membuat pihak sekolah memberikan tambahan kewajiban kepada para guru untuk mengajari anak-anak ini membaca.
"Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Anak SMP banyak yang tidak bisa membaca dan tidak tahu huruf," cuit Sarah dalam sosial medianya dan dikutip dalam akun Instagram @undercover.id. Dalam cuitan ini, Sarah menyinggung pihak orangtua dan guru SD untuk lebih jeli dan peka akan kondisi siswanya (Suara.com, 3-8-2024).
Selain membuat gempar netizen di dunia maya, banyak dari mereka juga beramai-ramai menyalahkan orangtua dari si anak murid yang tidak bisa membaca. Selain menyalahkan orangtua, tidak sedikit dari netizen juga menyalahkan kurikulum baru sekolah yang kurang cocok diterapkan di Indonesia.
Kemudian, fakta mengenai viralnya berita tersebut terungkap oleh portal berita kompas bahwa video tersebut merupakan video lama, yakni pada tahun 2023 lalu dan merupakan peserta didik dari SMP Negeri 1 Mangunjaya, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Adapun total dari siswa yang tidak bisa membaca itu adalah sebanyak 29 siswa dengan rincian, 11 orang dari kelas 7, 16 siswa dari kelas 8, dan sisanya dari kelas 9.
Mengenai alasan mengapa puluhan siswa SMP tersebut tidak bisa membaca adalah karena anak-anak tersebut merupakan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Tidak adanya sekolah khusus untuk anak-anak ABK inilah yang membuat anak-anak tersebut akhirnya masuk ke sekolah negeri umum. Sementara itu, dari pihak Sekolah Luar Biasa (SLB) sebelumnya, para pelajar itu telah memenuhi kriteria kelulusan secara khusus juga karena alasan usia, fisik, dan karakter atau perilaku murid.
"Lulusnya juga lulus khusus. Meskipun sekolah di SD enam tahun lagi pasti tetap seperti itu (tidak bisa membaca)," ungkap Maman, Ketua Kegiatan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kabupaten Pangandaran. Selain itu, Maman juga mengatakan bahwa alasan lain yang membuat sebanyak 29 siswa tidak bisa membaca lantaran tidak adanya guru ABK di tingkat SD dan SMP di wilayahnya.
Kemudian juga soal kategori kebutuhan khusus siswa yang beraneka ragam yang tak tampak dari ciri-ciri fisik juga menjadi kendala tersendiri bagi guru biasa untuk mengajarkan siswa-siswa tersebut membaca, seperti contohnya anak berkebutuhan khusus di bidang linguistik yang pusing saat melihat huruf atau bacaan, yang menurut Maman, siswa tersebut tidak harus dimasukkan ke sekolah SLB (kompas.com, 2-8-2024).
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negara kita. Hal pertama adalah mengenai viralnya berita tentang puluhan siswa SMP yang tidak bisa membaca hingga menjadi bulan-bulanan netizen untuk saling menyalahkan. Baik itu menyalahkan pihak sekolah, menyalahkan guru SD, menyalahkan sekolah, dan menyalahkan pemerintah melalui kurikulum baru yang tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Padahal apa yang dipersalahkan oleh netizen merupakan satu kesatuan. Terlebih jika melihat dari fakta yang sebenarnya bahwa puluhan siswa yang tidak bisa membaca itu merupakan anak-anak ABK. Jika benar demikian, seharusnya sejak awal negara sudah peduli dengan adanya anak-anak berkebutuhan khusus ini, lebih-lebih sejak dalam kandungan.
Anak-anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus tentu tidak bisa hanya mengandalkan orangtuanya saja untuk mengurus anak tersebut hingga mereka bisa mandiri. Diperlukan peran negara dalam hal ini. Namun sayangnya, seringnya negara bersikap abai dengan keberadaan anak-anak ABK.
Fakta mengenai tidak adanya guru ABK baik di tingkat SD dan SMP di wilayah terkasus, merupakan salah satu bukti bahwa negara abai dalam menangani mereka. Juga fasilitas terapi gratis untuk anak ABK yang tidak tersedia di banyak wilayah kecuali hanya di kota-kota besar saja. Serta mahalnya biaya terapi mandiri juga menjadi fakta yang membuktikan bahwa negara abai dan menyalahi undang-undang untuk mengurus keperluan orang-orang berkebutuhan khusus.
Yakni UU Pasal 156 yang isinya: "Negara bertugas untuk menjamin biaya hidup dari orang yang tidak memiliki uang, tidak ada pekerjaan dan tidak ada keluarga yang bertanggung jawab atas pemeliharaan keuangannya. Negara bertanggung jawab untuk memberikan tempat tinggal dan memelihara orang-orang tidak mampu dan cacat."
Itulah yang terjadi jika sebuah negara yang menerapkan sistem kufur sekuler-kapitalisme dalam pemerintahan. Orang-orang dengan kebutuhan khusus hanya dianggap sebagai beban negara dan sangat sedikit atau hampir tak ada yang mendapatkan pemeliharaan dengan baik dari negara. Jangankan ABK, bahkan ibu-ibu hamil yang berpotensi mengandung bayi yang memiliki cacat bawaan pun terabaikan kesehatannya oleh pemerintah.
Keberadaan posyandu dan bantuan nutrisi berupa biskuit-biskuit ibu hamil pun tak menjadi solusi untuk mencukupi nutrisi ibu hamil hingga menyehatkan kandungannya. Sehingga tak jarang, anak-anak dengan kebutuhan khusus ini lahir dari ibu yang kekurangan nutrisi akibat kesulitan ekonomi. Kalaupun anak-anak ABK lahir dari keluarga kaya, biasanya terlahir dari ibu-ibu yang mengalami keadaan mental yang tidak sehat.
Begitupun dengan kasus puluhan siswa SMP yang tidak bisa membaca alias buta huruf, yang ternyata faktanya merupakan anak berkebutuhan khusus. Kebutaan mereka akan huruf dan masuknya mereka ke dalam SMP normal juga merupakan bentuk sikap abai negara. Anak ABK jelas tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan anak normal di sekolah yang normal dan belajar bersama-sama dengan anak normal. Harus ada sekolah atau kelas khusus untuk menangani mereka yang hanya berisi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Sayangnya lagi-lagi negara tidak menjamin itu. Negara tidak menyediakan layanan-layanan bagi ABK untuk bisa menikmati pendidikan dengan layak seperti orang-orang pada umumnya.
Ketiadaan guru ABK di luar kota besar tentu juga diiringi oleh minimnya gaji yang diterima oleh mereka, serta fasilitas pendukung untuk terapi anak-anak ini, rentu menjadi beban berat bagi guru ABK apabila negara juga tidak memfasilitasi serta mengayomi kehidupan mereka sebagai guru. Guru biasa saja gajinya minim, apalagi guru ABK. Maka tidak heran jika para terapis atau guru ABK lebih memilih membuka terapi jalur mandiri untuk memenuhi kebutuhan mereka pribadi. Inilah pokok akar masalahnya jika negara terus-menerus menggunakan sistem sekuler-kapitalisme dalam mengurus negara.
Berbeda dengan sistem Islam dalam bernegara. Islam memandang bahwa pemerintah atau negara adalah ra'in atau pengurus umat. Dari segi individu, negara memberikan pendidikan dan penanaman akidah yang kuat, sehingga ketika menjalani kehidupan, umat akan senantiasa terkoneksi dengan Allah, apapun masalahnya. Termasuk jika ketika ia ditakdirkan dikaruniai anak berkebutuhan khusus. Orang-orang dengan pemahaman akidah yang kuat tentu memandang anak ABK bukanlah suatu beban, tetapi suatu keistimewaan yang patut disyukuri.
Kemudian dari segi kesehatan, pemerintah dengan penerapan sistem Islam memberikan jaminan layanan kesehatan gratis. Memastikan setiap ibu hamil berada dalam kondisi sehat baik fisik maupun mentalnya. Negara juga memudahkan ekonomi setiap warganya serta membuat harga pangan murah dan stabil agar yang hamil bisa memenuhi asupan nutrisi untuk kesehatan janinnya dengan mudah. Termasuk juga layanan kelahiran dan pelayanan pasca melahirkan dan menyusui. Negara akan selalu memantau setiap ibu hamil di masyarakat hingga mereka memberikan kewajiban menyusui pada anaknya minimal enam bulan. Baik itu yang lahir secara prematur maupun yang cukup bulan.
Hal ini dilakukan agar negara dapat melihat mana saja bayi-bayi yang berpotensi memiliki kebutuhan khusus. Sehingga apabila telah terdeteksi ada yang memiliki kelainan bawaan yang akhirnya bisa menjadikan si bayi kelak menjadi ABK, maka negara sejak awal telah mengetahuinya dan segera melakukan tindakan agar tidak memperparah kondisi bayi tersebut.
Selain itu, dari segi pendidikan, pemerintah sejak awal pasti akan mendampingi para orangtua untuk secara bersama-sama merawat ABK. Ada pendampingan dari ahli dalam menangani dan memberikan terapi sejak dini dari negara. Anak-anak berkebutuhan khusus ini juga hanya dikumpulkan oleh sesamanya sebelum akhirnya dirasa mampu untuk dilepas di lingkungan umum.
Semua itu tentunya hanya dapat di-backup oleh negara dengan sistem Islam dan menjalankan sistem ekonomi Islam yang di dalamnya mengatur konsep-konsep kepemilikan dalam Islam. Seperti sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, haram hukumnya untuk dikelola swasta atau asing dan wajib dikelola oleh negara. Kemudian, hasil dari pengelolaan tersebut akan dikembalikan kepada rakyat berupa layanan pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, bahan pangan murah, transportasi murah, dan lain sebagainya.
Maka, kesimpulan yang dapat diambil dari viralnya puluhan anak SMP buta huruf yang ternyata merupakan anak-anak berkebutuhan khusus, maka yang patut disalahkan adalah peran negara yang abai akan masalah tersebut. Karena mau bagaimanapun, orangtua dengan ABK tidak akan mampu berdiri sendiri merawat dan mendidik dengan maksimal ABK ini.
Oleh karenanya, sudah saatnya umat menyadari bahwa penyebab dari semua kericuhan yang terjadi dalam masalah pendidikan adalah efek diterapkannya sistem sekuler-kapitalisme. Sehingga, sudah saatnya umat berbondong-bondong mendukung dan mengambil sistem Islam sebagai solusi dari berbagai problem kehidupan yang terjadi hari ini.
Via
Opini
Posting Komentar