Opini
Minyak yang Tak Selaras Dengan Namanya
Oleh: Rokayah
(Mahasiswi Tarbiyah)
TanahRibathMedia.Com—Diketahui pemerintah telah menaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) MinyaKita menjadi Rp15.700 per liter yang akan mulai berlaku pada pekan depan (19-8-2024). Penyesuaian HET MinyaKita di tingkat konsumen menunggu penerbitan revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 49 Tahun 2022 di mana beleid itu mengatur HET minyak goreng subsidi seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram.
Awalnya HET MinyaKita diusulkan sebesar Rp15.500, namun karena nilai dolar AS menguat maka dipilih jalan tengah sebesar Rp 15.700 per liter. Kenaikan tersebut juga disebut menyesuaikan dengan kenaikan harga bahan pokok lainnya, seperti beras yang saat ini sudah mengalami kenaikan harga.
Harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. Mendag Zulkifli Hasan mengumumkan bahwa kenaikan harga minyak goreng rakyat tersebut sudah berlaku dan aturan resminya akan dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) (CNBC Indonesia, 19-7-2024).
Ada dua alasan mengapa kebijakan tersebut diputuskan: Pertama, penyesuaian harga eceran minyak goreng dengan biaya produksi yang terus naik. Kedua, pergerakan nilai mata uang rupiah yang fluktuatif.
MinyaKita ternyata bukan milik kita ataupun untuk kita. Kenaikan harga MinyaKita tentu menimbulkan spekulasi. Mengapa negeri penghasil sawit terbesar di dunia malah menaikkan harga minyak goreng? Seperti diketahui, sawit merupakan bahan baku produksi minyak goreng. Jadi, sangat aneh kebijakan ini diambil ketika produksi crude palm oil (CPO)/minyak kelapa sawit mentah pada 2023 mencapai 50,07 juta ton, naik 7,15% dibandingkan 2022. Namanya MinyaKita, tetapi realitasnya bukan milik kita, kok bisa?
Asal Mula Kenaikan
Program MinyaKita mulanya dibuat untuk menekan harga minyak goreng yang melambung tinggi dan langka pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022. Pada Oktober 2021, minyak goreng mengalami lonjakan harga yang tidak wajar. Awalnya, HET satu liter minyak goreng adalah Rp11.000, lalu mengalami kenaikan hingga Rp20.000 per liter. Operasi pasar besar-besaran digelar oleh pemerintah, tetapi tidak cukup mengatasi tingginya harga minyak. Sudahlah mahal, sulit pula untuk didapatkan. Kala itu, minyak goreng seakan menjadi primadona yang keberadaannya dicari-cari oleh masyarakat.
Tingginya harga minyak goreng saat itu dipengaruhi oleh tingginya harga CPO yang melonjak menjadi US$1.340/mT atau setara dengan Rp19.291.243 (kurs waktu itu). Faktor inilah yang ditengarai membuat produsen sawit lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Pada April 2022, Presiden Jokowi menetapkan kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Berkat kebijakan tersebut, minyak goreng kembali beredar di pasar. Pada waktu yang sama, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka mafia minyak goreng dari Kemendag dan pengusaha sawit.
Lalu, pada Juli 2022, pemerintah melalui Kemendag meluncurkan minyak goreng rakyat merek MinyaKita dengan HET Rp14.000 per liter. Kini, setelah dua tahun MinyaKita membersamai rakyat di dapur, Mendag kembali menetapkan kebijakan kenaikan HET minyak goreng yang membuat semua orang bingung, heran, dan bertanya-tanya. Alasannya bukan lagi karena harga CPO tinggi lalu ramai-ramai diekspor ke luar negeri, tetapi karena biaya produksi dan fluktuasi nilai tukar rupiah.
Rakyat Terdampak
Kenaikan HET MinyaKita pasti berdampak pada ekonomi rakyat. Meski pemerintah mengeklaim ada timbal balik ekonomi, kondisi ekonomi rakyat akan tertekan dengan kenaikan minyak goreng yang menjadi kebutuhan asasi rakyat. Beberapa pengamat ekonomi juga prihatin dan sangat menyayangkan kebijakan ini keluar pada saat harga-harga pangan masih tinggi. Mereka mengatakan kebijakan ini diperkirakan akan menaikkan inflasi sebesar 0,34%.
Hampir semua harga bahan pokok rakyat naik secara signifikan dan fluktuatif. Mulai dari harga beras, ayam, telur, bawang merah, bawang putih hingga yang lainnya. Haruskah rakyat menelan pil pahit lagi demi mengamini kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka saat beban ekonomi kian sulit?
Kelompok masyarakat yang paling terdampak kebijakan ini jelas para pelaku usaha kuliner, baik mikro maupun makro. Imbasnya, harga makanan pasti mengalami kenaikan yang mengakibatkan pengeluaran rumah tangga makin besar. Masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk sekadar membeli makanan ringan.
Imbas Kapitalisme
Kenaikan harga minyak goreng di negeri penghasil sawit terbesar adalah ironi yang tidak terelakkan. Pasalnya, Indonesia adalah negara pengekspor minyak sawit mentah terbesar di dunia. Ia menjadi komoditas unggulan dan andalan bagi Indonesia. Sebab, pada 2023, ekspor CPO menyumbang 33,72 persen devisa negara. Mengutip data dari United States Foreign Agricultural Service, produksi CPO Indonesia mencapai 47 juta metrik ton.
Dengan potensi sebanyak itu, mengapa ketersediaan minyak goreng di dalam negeri harus ditetapkan dengan HET yang tidak ramah bagi kantong rakyat menengah dan akar rumput? Ini alasannya:
Pertama, pemerintahan bercorak kapitalistik sangat memungkinkan menetapkan aturan sesuka hati. Buktinya, aturan HET MinyaKita dengan harga Rp14.000 per liter yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat masih bisa direvisi demi aturan HET yang baru. Ketika ingin mengganti kebijakan, aturannya yang diubah, bukan patuh pada aturan yang dibuat sebelumnya. Inilah karakter pemerintahan kapitalis, yaitu mengubah aturan demi kepentingan tertentu.
Kedua, pemerintahan kapitalis selalu berhitung untung dan rugi kepada rakyat. Indikasinya ada pada alasan yang dikemukakan pemerintah, yaitu biaya produksi naik dan pengaruh nilai tukar rupiah. Pemerintah seakan telah bersiap jika terjadi kemungkinan naiknya biaya produksi dan nilai tukar rupiah melemah yang akan memengaruhi harga distribusi minyak goreng. Seakan tidak mau rugi, semua hitungan kerugian tersebut sudah disiapkan dan dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan HET minyak goreng.
Ketiga, absennya peran negara dalam melakukan tata kelola sawit, baik dalam aspek produksi maupun distribusi. Besarnya peran swasta dalam pengelolaan sawit sangat berpengaruh pada rantai pasokan minyak goreng serta distribusinya.
Pada aspek produksi, kepemilikan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh perusahaan swasta dengan lahan seluas 7,7 juta ha atau 54 persen dari total luas lahan sawit di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2023 total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta ha. Sebanyak 50,1 persen atau 8,4 juta ha di antaranya dikelola oleh perkebunan besar swasta. Sementara itu, perkebunan rakyat 37 persen (6,3 juta ha), perkebunan besar negara 3 persen (0,57 juta ha), dan lahan belum dikonfirmasi 9 persen (1,5 juta ha). Selama satu dekade terakhir, kebun sawit milik swasta tumbuh paling pesat.
Pada aspek distribusi, dominasi peran swasta dalam produksi minyak sawit memengaruhi rantai distribusi minyak goreng sawit. Penguasaan sawit oleh swasta memperpanjang perjalanan distribusi minyak goreng yang mengakibatkan harga minyak makin mahal. Dari produsen lalu disebarkan melalui distributor, kemudian diedarkan melalui agen-agen di wilayah, berlanjut ke reseller hingga pembeli tingkat akhir, yaitu konsumen. Berapa biaya operasional dan pengiriman untuk mengedarkan minyak goreng kemasan ke pasar tradisional dan modern? Jelas ini membutuhkan biaya yang lebih besar.
Akan berbeda jika pengelolaan sawit diserahkan kepada negara. Dengan kekuasaan dan kemampuannya, negara akan mendistribusikan pasokan minyak goreng kemasan dengan biaya yang minimalis dan negara tidak boleh membebankan biaya operasional distribusi kepada rakyat. Sementara itu, jika pengelolaan sawit diserahkan pada swasta, mereka tidak akan mau rugi dengan menanggung biaya distribusi secara cuma-cuma. Ini sebagaimana watak kapitalisme, “Tidak ada makan siang gratis”.
Solusi Islam
Dalam Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan cara yang mudah dan murah. Dalam pengelolaan sawit, negara akan menetapkan kebijakan dari aspek produksi, distribusi, hingga konsumsi. Pada aspek produksi, negara akan menetapkan kebijakan sebagai berikut:
Pertama, setiap individu boleh memiliki lahan dengan syarat status lahan tersebut bukan terkategori milik umum. Sistem kapitalisme hari ini telah melegalkan pengalihan lahan hutan menjadi perkebunan sawit secara membabi buta. Menurut catatan Greenpeace Indonesia, luas hutan yang terkonversi menjadi perkebunan sawit seluas 278.000 ha dengan total cadangan karbon yang hilang sebanyak 34,7 juta ton atau setara 127 juta ton emisi karbondioksida. Hal ini memicu deforestasi yang menyebabkan emisi serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Islam melarang upaya apa pun yang berpotensi merusak alam serta mengalihfungsikan lahan milik umum menjadi kebun milik swasta atau individu yang merusak keseimbangan lingkungan. Diriwayatkan dari Tsauban, khadim Rasulullah ï·º yang mendengar Rasulullah ï·º berpesan, “Orang yang membunuh anak kecil, orang tua renta, membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah, dan memburu kambing untuk diambil kulitnya itu akan merugikan generasi berikutnya.” (HR Ahmad).
Kedua, negara boleh memberikan status tanah mati (tanah yang tidak dikelola atau dibiarkan pemiliknya selama tiga tahun) kepada orang yang mampu menghidupkan atau mengelolanya. Hal ini memberikan kesempatan bagi pencari nafkah untuk menanami atau mengelolanya menjadi kebun sawit atau pertanian lainnya.
Ketiga, negara menyediakan sarana pertanian yang memudahkan petani memenuhi kebutuhan pertanian mereka, termasuk petani sawit. Penguasaan lahan sawit oleh swasta saat ini banyak merugikan petani sawit. Jika negara berperan aktif dalam pengelolaan sawit, negara akan memastikan harga TBS (Tandan Buah Sawit) stabil dan petani tidak akan dipermainkan oleh korporasi.
Pada aspek distribusi dan konsumsi, negara akan menetapkan kebijakan sebagai berikut: pertama, negara tidak akan melakukan ekspor sawit sebelum kebutuhan minyak sawit dalam negeri tercukupi. Kedua, negara bertanggung jawab memastikan distribusi minyak goreng hingga menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat.
Ketiga, memastikan setiap pasar terpenuhi stok bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Negara dapat menunjuk hakim pasar (kadi hisbah) untuk mengawasi jalannya perekonomian di pasar dan menegakkan hukum bagi pelanggar muamalah, seperti pedagang curang, mafia atau kartel pangan, dan lainnya.
Demikianlah, penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan mewujudkan akses pangan yang mudah dan murah serta memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Ini karena negara menjadi pihak pengendali distribusi kebutuhan pangan rakyat, salah satunya minyak goreng. Wallahu'alam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar