Opini
Obral Remisi: Solusi Pragmatis Sistem Sekuler
Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Aktivis Muslimah Tangerang)
TanahRibathMedia.Com—Peringatan HUT ke-79 RI pada Sabtu, 17 Agustus 2024 lalu menjadi hari bahagia bagi 176.984 narapidana dan anak binaan lapas karena mereka mendapatkan Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU) 2024 (Tempo.Co, 18-8-2024).
Pemberian remisi dan pengurangan masa pidana ini menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly bukanlah hadiah melainkan sebagai bentuk apresiasi negara kepada mereka yang menunjukkan prestasi, dedikasi, dan disiplin tinggi selama mengikuti program pembinaan.
Kepala Lembaga Permasyarakatan Kelas I Cipinang, Enget Prayer Manik, berharap narapidana yang mendapatkan remisi dan langsung bebas tidak kembali lagi karena kondisi lapas yang sudah penuh sesak (overcrowded) (Antaranews.com, 17-8-2024).
Adanya remisi ini menjadikan negara bisa berhemat untuk biaya makan narapidana dan anak binaan hingga Rp 274,36 miliar. Sejatinya obral remisi ini hanyalah solusi pragmatis dalam sistem sekuler karena terbukti tidak mampu mengurangi angka kejahatan karena tidak menyentuh akar permasalahan. Pemerintah belum serius memutus rantai kejahatan sehingga angkanya terus meningkat dan modusnya makin beragam.
Indonesia masuk dalam 10 negara teratas dengan populasi penjara terbesar di dunia dan peringkat ke-22 negara yang kelebihan kapasitas (Data Institut for Crime and Policy Justice Research 2021). Pada Maret 2023, lapas di Indonesia sudah melebihi kapasitas hingga 89 persen. Bahkan terdapat enam lapas yang over kapasitas di atas 500 persen dan kepadatan tertinggi terjadi di Lapas Kelas II A Bagansiapiapi, Provinsi Riau yang overkapasitasnya mencapai 813 persen.
Jumlah orang yang dipenjara pun makin hari makin bertambah. Sejak tahun 2000 hingga 2020 jumlahnya meningkat hampir lima kali lipat atau terjadi peningkatan hampir 10.000 orang per tahunnya. Sehingga dibutuhkan tambahan kapasitas penjara untuk 10.000 orang per tahun yaitu sekitar 34.000 meter persegi ruang tidur baru di penjara. Anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp3,5-5 triliun. Belum termasuk anggaran pengadaan lahan, pengawasan baik SDM dan peralatan, makan, pembinaan serta anggaran lainnya.
Semua ini tentu akan menjadi beban bagi anggaran belanja negara. Faktanya banyak orang hari ini keluar masuk penjara baik karena kasus yang sama atau pun berbeda. Hal ini tidak lagi menjadi aib, bahkan ada yang bangga karena bisa keluar masuk penjara. Bukannya jera, sebagian malah makin jahat.
Semua realita ini membuktikan bahwa sanksi yang diberlakukan hari ini tidak mampu menekan angka kejahatan apalagi memberikan efek jera pada pelaku. Akibatnya negara mengalami kerugian yang besar karena generasi terancam dampak maraknya kriminalitas. Baik sebagai korban maupun pelaku. Besarnya anggaran untuk pemeliharaan narapidana dan lapas tidak mampu membina warga binaan secara efektif. Sistem sanksi hari ini tidak memberi keadilan. No viral no justice alias sebuah kejahatan atau kasus baru akan direspon ketika sudah viral. Itu pun tidak sampai tuntas. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Hukum bisa diotak-atik sesuai kepentingan. Bahkan terjadi praktek jual beli hukum.
Akar Masalah
Maraknya kasus kejahatan salah satunya karena lemahkan kepribadian individu. Kepribadian ditentukan oleh tingkat ketakwaan seseorang. Ketakwaan dipengaruhi oleh sistem pendidikan. Sistem pendidikan hari ini melekat dengan kapitalisasi dan komersialisasi. Diperburuk dengan adanya sekularisme, liberalisme, materialisme, hedonisme, permisif, dan konsumtif. Sekolah hanya sekadar rutinitas tanpa adanya pengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Alhasil generasi jauh dari agama, jauh dari sosok generasi unggul.
Sementara di sisi lain banyak angka putus sekolah dan pekerja anak kian marak akibat himpitan ekonomi. Mereka terpaksa berjuang bertahan hidup sehingga tidak sempat merasakan pendidikan layak. Kondisi diperburuk dengan adanya sistem sosial yang buruk. Ketahanan keluarga makin rapuh, adanya generasi sandwich, korban broken home dan KDRT.
Akibat semua ini kaum yang lemah rawan menjadi korban kejahatan, kadang terpaksa melakukan kejahatan. Ketika dipenjara mereka bukannya jera, dan taubat, malah makin menjadi seolah penjara mengajarkan mereka untuk berbuat lebih jahat.
Sementara pemerintah tidak maksimal menciptakan suasana hidup yang kondusif bagi masyarakat. Sehingga tidak mampu mencegah terjadinya tindak kejahatan. Ketika kejahatan makin marak, penjara makin tak layak, remisi seolah jadi solusi.
Butuh Solusi Sistemik
Berbagai fakta di atas menegaskan pada kita bahwa untuk menyelesaikan permasalahan ini tidak bisa hanya dari satu aspek melainkan keseluruhan. Butuh solusi sistemik yaitu dengan penerapan aturan Islam dalam segala aspek kehidupan.
Sistem Islam akan memiliki sistem pendidikan yang mampu melahirkan generasi tangguh berkepribadian Islami. Unggul dalam berbagai bidang kehidupan. Output sistem pendidikan Islam akan memberikan kontribusi positif untuk negara.
Sistem Islam akan menjaga suasana kehidupan masyarakat agar selalu terikat dengan syariat. Adanya pemikiran, perasaan dan aturan yang sama di tengah-tengah masyarakat akan melahirkan masyarakat yang kondusif. Amar makruf nahi mungkar senantiasa terjaga, tidak individualis.
Islam juga memiliki sistem ekonomi yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Memudahkan mereka memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Kesejahteraan akan lebih mudah terwujud sehingga akan berdampak pada menurunnya angka kejahatan. Tidak dapat dipungkiri kemiskinan mendekatkan pada kejahatan.
Terakhir dan yang paling penting Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan mampu memberikan efek jera serta penebus dosa. Sistem sanksi Islam sangat adil, tidak mengenal kompromi apalagi jual beli hukum.
Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya telah binasa umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukum). Namun, ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan hukuman had. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad yang mencuri, Aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR Bukhari Muslim).
Dalam Islam ada yang namanya uqubat (hukuman) atas semua manusia secara adil, tidak ada perbedaan baik muslim atau non-muslim. Semuanya sama di mata hukum. Sistem sanksi Islam juga sebagai pencegah dan pemberi efek jera/ kuratif. Oleh karena ini menerapkan sistem Islam sangat penting dilakukan. Obral remisi hanya solusi pragmatis dan tidak menyentuh akar masalah.
Dengan adanya penerapan sistem Islam, anggaran fantastis untuk pemeliharaan narapidana dan warga binaan akan bisa diminimalisir karena tidak semua kejahatan dalam Islam hukumannya dipenjara. Seperti kasus pembunuhan jika telah terbukti bersalah maka wajib dikisas atau membayar diyat (tebusan) pada keluarga korban jika dimaafkan. Begitu pula kasus pencuri yang telah memenuhi syarat akan dipotong tangan. Dan bentuk kejahatan dan kemaksiatan lainnya yang hukumannya bisa berupa takzir (tergantung keputusan qadhi). Wallahua'lam bishawab
Via
Opini
Posting Komentar