Opini
Pajak Naik Kok Bangga?
Oleh: Huda Adilla
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara peringatan Hari Pajak,14 Juli yang lalu mengatakan bahwa penerimaan pajak Indonesia terus naik sejak 1983 hingga 2024. Pada 1983 penerimaan pajak mencapai Rp13 triliun, sementara pada 2024 penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.988,9 triliun. Adapun penerimaan pajak nasional pada Januari 2024 mencapai Rp149,25 triliun atau setara 7,5 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini disampaikan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Februari 2024 yang diadakan secara virtual, Kamis, 22 Februari 2024.
Penerimaannya pajak terbesar berasal dari pajak penghasilan (PPh) nonmigas yang tercatat sebesar Rp83,69 triliun atau 7,87 persen dari target. Kemudian, disusul oleh pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang tercatat sebesar Rp 57,76 triliun atau 7,12 persen dari target. Realisasi pajak bumi dan bangunan (PBB) serta pajak lainnya tercatat sebesar Rp810 miliar atau 2,14 persen dari target. Sementara itu, untuk realisasi penerimaan dari PPh migas tercatat sebesar Rp 6,99 triliun atau setara dengan 9,15 persen dari target.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa pajak merupakan salah satu sumber utama pemasukan keuangan negara di samping sumber pemasukan yang lainnya, seperti Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) dan hibah (Undang-Undang Nomor 20/2019 tentang APBN tahun anggaran 2020). Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung yang digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat (www.pajakku.com, 22-11-2023).
Karena pajak merupakan sumber utama pemasukan negara, maka pemerintah berusaha agar sumber pemasukan yang berasal dari pajak tidak mengalami kendala. Untuk itu dibuatlah berbagai peraturan pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan maka per 1 Januari 2023 pemerintah secara resmi menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi atau karyawan.
Sebagaimana diketahui Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia sudah mengalami perubahan sejak adanya UU HPP pada 1 Januari 2022. Pemerintah pun memberlakukan tarif pph karyawan secara progresif, artinya semakin besar penghasilan wajib pajak, maka pajak yang dikenakan bakal lebih besar (Investor.id, 28-12-2022).
Tidak hanya itu pemerintah juga berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sebesar 11 persen saat ini menjadi 12 persen, paling lambat 1 Januari 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan tidak ada penundaan atas kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut dan akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 pada bulan April 2024. Data yang dihimpun dari PricewaterhouseCoopers (PwC) menunjukkan bahwa PPN Indonesia sebesar 11 persen saat ini merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan negara ASEAN lainnya atau sedikit lebih rendah dibandingkan Filipina dengan PPN 12 persen.
Sungguh miris, di tengah himpitan ekonomi yang semakin sulit lagi-lagi pemerintah menjadikan rakyat sebagai ‘sapi perah’ untuk membiayai roda pemerintahan negeri ini. Padahal sejatinya negeri ini memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah yang tersebar hampir di seluruh wilayah, mulai dari Sabang hingga Merauke.
Namun, penerapan sistem kapitalisme sekuler telah menjadikan adanya salah kelola sumber daya alam (SDA) yang dimiliki negeri ini. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi sumber pemasukan keuangan terbesar, pengelolaannya justru diserahkan kepada asing dan swasta atas nama investasi.
Sementara untuk membiayai roda pemerintahan, penguasa hanya mengandalkan pajak yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan jika pemerintah mengelola sendiri SDA yang dimiliki negeri ini. Wajar apabila keuangan negeri ini kerap mengalami goncangan. Dan pada akhirnya rakyat kembali yang menjadi korban. Rakyat dipaksa ‘merogoh kocek’ lebih dalam lagi untuk membayar pajak agar roda pemerintahan bisa berjalan.
Pajak dalam Pandangan Islam
Sebagai sebuah mabda, Islam memiliki seperangkat aturan yang paripurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari ibadah ritual seperti salat, puasa,zakat, haji, hingga masalah pemerintahan, salah satunya mengenai sumber pemasukan keuangan negara. Sejatinya Islam melarang siapa pun, baik individu maupun negara mengambil harta orang lain tanpa adanya sebab yang dibenarkan.
Sebab hal ini termasuk dalam tindakan kezaliman yang diharamkan dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka kelak akan dikalungkan kepada dirinya tujuh lapis bumi." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam Islam pajak termasuk ke dalam perbuatan menarik pungutan dari rakyat tanpa ada kerelaan dan sebab-sebab yang diperbolehkan, sehingga termasuk dalam tindakan kezaliman. Karenanya, Islam menetapkan kondisi-kondisi di mana negara boleh menarik pajak dari rakyatnya: pertama, pajak hanya akan dipungut di saat kondisi kas negara (baitul mal) negara mengalami kekosongan atau tidak mampu mencukupi untuk membiayai urusan-urusan rakyat. Sehingga akan menyebabkan kemudharatan bagi rakyat atau akan menyebabkan terhambatnya urusan rakyat. Namun, apabila kondisi baitul mal sudah normal maka pungutan pajak akan dihentikan.
Kedua, pajak tidak dibebankan kepada rakyat, melainkan pajak hanya akan dipungut dari orang-orang Muslim yang memiliki kelebihan harta. Sementara rakyat yang kekurangan secara finansial dan orang-orang non-Muslim tidak akan dikenai pajak.
Ketiga, di dalam Islam, pajak bukan sumber utama pemasukan keuangan negara. Pajak hanya bersifat sebagai pelengkap karena sistem Islam memiliki sumber utama pemasukan keuangan negara yang beragam dan tetap seperti kharaj, jizyah, fa’i, ghanimah, zakat dan lain-lain.
Inilah pandangan Islam mengenai pajak. Pajak bukanlah sumber utama pemasukan keuangan negara. Pajak hanya sebagai pilihan terakhir di saat kondisi keuangan negara (baitul mal) mengalami kekosongan sehingga bisa berakibat buruk kepada rakyat. Alhasil tidak seharusnya Menteri Keuangan Sri Mulyani berbangga dengan perolehan pajak yang terus meningkat.
Pajak naik kok bangga? Padahal sejatinya peningkatan perolehan pajak merupakan hasil memalak harta rakyat. Di samping itu menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan keuangan negara hanya akan menjadikan kehidupan rakyat makin sulit.
Via
Opini
Posting Komentar