Opini
Bertambahnya Kementerian, atas Nama Kesejahteraan?
Oleh: Nabilah Nursaudah Mulyadi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei kedaiKOPi Ibnu Dwi Cahyo menilai pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan dilantik pada Oktober mendatang layak memiliki puluhan kabinet yang banyak atau gemuk. Dengan syarat kabinet gemuk tersebut harus diisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan latar belakang pengalamn yang sama dan kementerian yang akan dipimpin.
“Prabowo harus menempatkan orang-orang terbaik dan professional yang sesuai denagn kebutuhan kementerian,” kata Ibnu dalam siaran persnya.
Ibnu menilai 44 posisi menteri itu harus diisi oleh kalangan professional agar dapat memberikan kinerja yang nyata dalam membangun kementerian tersebut.Selain dari kalangan professional dan partai politik, penting pula menempatkan menteri-menteri muda di jajaran kabinet (antarnews.com, Jakarta, 18-09-2024).
Di sisi lain, Herdiansyah Hamzah “Castro” menyatakan bahwa jumlah kementerian 34, sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak. Ia menggunakan logika efektif atau tidak pemerintahan.
Senada, Direktur Indonesi Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat, menambah pos kementerian merupakan langkah yang keliru. Menurut dia, seharusnya yang ditambah adalah kantor-kantor dinas. Ia juga mengatakan bahwa memahami karakter Indonesia, dari sisi sistem negara, kultur masyarakat dan geografis, Indonesia tidak memerlukan banyak kementrian atau jabatan di tingkat pusat, justru yang dibutuhkan pertambahan adalah kantor dinas ditingkat provinsi-provinsi (cnnindonesia.com, 17-09-2024).
Benarkah Demi Kesejahteraan?
Banyak pro dan kontra dalam rencana penambahan kementerian pada periode pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nanti. Para politikus bahkan mengemukakan pendapat-pendapat mereka terkait rencana penyusunan kabinet-kabinet yang banyak dan gemuk itu. Katanya, banyak dan gemuk dalam segi kuantitas dan kualitas.
Jika kita amati, 34 menteri di masa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin kemarin pun belum menghasilkan kinerja yang maksimal. Kebijakan yang diputuskan oleh masing masing kementerian nyatanya tidak membawa perubahan besar ke arah kemajuan bangsa Indonesia. Penerapannya belum merata di semua kalangan, apalagi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan dan sarana prasarana yang memadai untuk menunjang aktivitas.
Pos-pos kementerian koordinator pun faktanya membuat komunikasi antar presiden dan menteri terhambat, panjang, dan ruwetnya birokrasi di pemerintahan Indonesia membuat pemutusan kebijakan terbilang cukup lama dan bertele-tele. Ditambah kementerian-kementerian saat ini justru didominasi kerja-kerja “event organizer.” Hal tersebut sangat memprihatinkan dan menimbulkan hasil kerja yang minim. Sebab, sebanyak apapun kementrian yang ada tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan jika hanya sebatas mengerjakan event.
Banyaknya kementerian tidak membawa pada kesejahteraan. Sebanyak apapun menteri yang menjabat, dan berapa besar kualitas mereka tidak akan pernah bisa membawa Indonesia ke arah yang maju dan sejahtera, jika menteri yang ada bekerja di bawah kekangan sistem demokrasi yang makarnya kian terlihat jelas.
Sistem demokrasi. Lagi, lagi, dan lagi adalah sumber utama permasalahan yang ada. Kekuasaan dijadikan profesi, duduk di kursi pemerintahan diperebutkan demi tumpukan cuan, kementerian pun dijadikan celah untuk mencari penghasilan. Pantas saja, peluang korupsi akan jauh lebih besar dengan adanya rencana penambahan kementerian ini. Ditambah para pemangku kebijakan mayoritas adalah para pengusaha pemilik modal. Jadi tak heran jika kebijakan yang ada dijadikan komoditas perdagangan yang dapat menghasilkan keuntungan.
Makin banyak pejabat yang menjabat di bawah presiden dan wakilnya, bisa juga menjadi salah satu indikasi ketidakmampuan dan ketidakmauan presiden serta wakilnya dalam mengurus dan melayani rakyat. Sehingga, apapun yang berkaitaan dengan rakyat diserahkan kepada para menteri yang menjabat. Padahal sebagai kepala negara seharusnya menjadi oknum utama yang bertanggung jawab atas kondisi dan pengaturan rakyatnya. Lantas, apakah pemerintahan yang berjalan dengan prinsip demokrasi dapat membawa umat ini kearah kesejahteraan?
Islam, Struktur Pmerintahan, dan Urgensi Penerapannya
Lain halnya dengan Islam, memiliki seperangkat aturan yang manusiawi mampu memiliki struktur pemerintahan yang sangat baik. Dan hal itu terbukti selama 13 abad lamanya. Sistem Islam mengatur rakyat dengan sedemikian rupa hingga kesejahteraan merata dirasakan oleh seluruh umat manusia. Sistem Islam berdiri atas landasan akidah Islam. Allah-lah yang membuat peraturan hidup, bukan manusia yang notabenya sebagai makhluk atau ciptaan.
Islam memiliki struktur pemerintahan dengan pemimpin utama yang disebut khalifah. Kemudian diikuti oleh mu’awin tanfidzh dan mu’awin tafwidh sebagai pembantu khalifah dalam menjalankan amanah kepemimpinan dan bergerak bertanggung jawab untuk melayani umat. Pemerintahan dalam Islam mencakup wilayah yang sangat luas. Namun struktur pemerintahan tidak terlalu panjang dan bertele-tele seperti pemerintahan dan birokrasi pada sistem demokrasi saat ini.
Dalam sistem Islam yang disebut khilafah, jobdesk serta tanggung jawab tiap “pejabat” (dalam versinya) akan benar-benar jelas, efektif, dan efesien, baik itu dalam wilayah kekuasaan atau non kekuasaan. “Pejabat” (dalam versinya) akan benar-benar bekerja untuk melayani umat, bertanggug jawab penuh akan amanat kepemimpinan yang tertumpu padanya. Sebab, mereka sadar dan tahu betul bahwa amanat dan tanggung jawab yang mereka pikul pertanggung jawabannnya bukan hanya sekadar di dunia, melainkan sampai di akhirat kelak pula.
Maka dari itu, penerapan syariat Islam secara total dalam bingkai khilafah merupakan hal yang bersifat urgen. Bertumpuknya problematika hanya dapat dituntaskan hingga musnah dengan diterapkannya hukum Islam. Sebab, hanya Islam lah yang mampu mewujudkan kesejahteraan dengan struktur pemerintahan yang jelas, efektif, dan efisien. Wallahu a’lam bish shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar