Opini
Kasih Ibu, Masihkah Sepanjang Masa?
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Nasib pilu dialami seorang remaja perempuan di Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Dia dicabuli kepala sekolahnya berinisial J (41) yang juga seorang PNS. Mirisnya, pencabulan ini disetujui dan diketahui ibu kandungnya yang juga seorang PNS berinisial E dengan alasan untuk ritual penyucian diri. Padahal sebenarnya, sang ibu juga menjadi selingkuhan oknum kepala sekolah. Ironisnya, pencabulan terhadap korban telah dilakukan sebanyak lima kali (Kumparan, 1-9-2024).
Dewasa ini, siapa saja bisa berpotensi melakukan tindakan keji. Jika sebelumnya perempuan kerap diberitakan menjadi korban pelecahan atau kekerasan hingga menyebabkan kematian, kini perempuan justru menjelma menjadi monster menyeramkan dan tak segan menjadi dalang tindakan tak bermoral. Bahkan untuk anaknya sendiri.
Jika beberapa waktu anak laki-laki berusia 6 tahun tewas di tangan ibu tiri, sekarang giliran anak perempuan yang menjadi tumbal matinya naluri ibu kandung. Dengan kesadaran penuh, si gadis diserahkan ke kepala sekolahnya untuk dicabuli. Dalihnya sebagai ritual pensucian diri.
Bila kembali pada fitrahnya, maka sejatinya perempuan/ibu adalah sosok pertama yang menaburkan cinta pada darah dagingnya. Bahkan sejak masih menjadi segumpal darah. Terbukti dengan nyawa yang rela dipertaruhkan demi menghadirkannya ke dunia. Secara fitrah pula, ibu juga menjadi pendidik pertama yang menghantarkan dan membersamai buah hati tumbuh hingga teraih apa yang dicitakan. Ibarat malaikat tanpa sayap, ia tak segan berdiri di garda terdepan menghalau berbagai ancaman. Ia yang pertama merasakan sakit, saat buah hati tersakiti.
Karenanya jika menoleh pada berbagai peristiwa belakangan, patutlah menjadi sebuah tanya, apakah peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah sudah tak relevan? Hilangkah perasaan cinta yang dulu pernah membuncah saat si anak masih bersemayam di dalam rahim? Benarkah waktu yang mengikis perasaan itu? Atau justru ada hal lain yang menjadi biang kerok segala kerusakan?
Matinya naluri keibuan tentu menambah panjang deretan potret buram rusaknya pribadi ibu. Dan hal tersebut tentu bukan tanpa sebab. Ada persoalan sistemis yang sejak dulu mengintai dan menuntut segera dicarikan solusi hakiki agar kerusakan tak membabi buta. Persoalan sistemis tersebut adalah keberadaan sistem sekuler kapitalis yang hingga kini masih menggagahi seluruh lini kehidupan.
Dari sisi individu, terkoyaknya keimanan akibat jauhnya peran agama menghasilkan manusia manusia yang miskin akal, nalar apalagi ketakwaan. Hawa nafsu dominan menguasai, hingga kemaksiatan terasa ringan dilakukan sebab dosa dan neraka jauh dari angan angan.
Tatanan sosial pun turut bobrok di bawah sistem ini. Di mana kebebasan dijunjung begitu tinggi, termasuk mempertontonkan aurat, khalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), dan ikhtilat (campur baru). Tak heran bila zina merajalela karena segalanya terfasilitasi.
Kondisi semakin parah ketika negara antipati terhadap agama, dan enggan mengimplementasikannya sebagai pijakan dalam mengelola negara. Termasuk dalam menerapkan sanksi. Alhasil, sanksi tak pernah menjerakan, dan kejahatan terus saja berulang.
Dari sisi pendidikan pun, negara hanya fokus mencetak manusia yang siap kerja dan berprestasi. Namun lupa membekali mereka dengan landasan keimanan karena kurikulum yang ada pun tidak mendukung. Alhasil, pendidikan tinggi tak menjamin seseorang bermoral tinggi. Pun, tatkala tiba saatnya mereka menjalani biduk rumah tangga dengan segala tanggung jawab baru yang harus diemban, mereka kosong ilmu akan hal itu. Dan tak sedikit berakhir pada pengabaian kewajiban, bahkan terparah matinya naluri keibuan seperti yang terjadi pada kasus ini.
Dari sini maka kita tahu, bahwa bukan waktu yang menggerus kasih sayang seorang ibu, melainkan sekularisme. Karenanya, solusi atas hal ini tak bisa jika sekedar solusi pragmatis yang penuh tambal sulam.
Sungguh, sudah terlalu jauh umat tersesat dalam labirin-labirin busuk sekulerisme. Sudah saatnya umat kembali pada fitrahnya sebagai Muslim. Berbalik melihat Islam sebagai agama yang utuh dan sempurna. Membuang pemikiran bahwasanya Islam tidak pantas diterapkan dalam berkehidupan termasuk bernegara. Pemikiran ini akan membawa umat pada pandangan yang jernih bahwasanya Islam memiliki solusi konkrit atas segala permasalahan dengan melibatkan peran negara. Termasuk mengembalikan fitrah, peran dan fungsi seorang ibu sebagai pendidik generasi yang pertama dan utama.
Mekanismenya melalui sistem pendidikan berbasis Islam untuk membentuk kepribadian Islam pada setiap insan. Negara tidak sekedar memanfaatkan instansi resmi lembaga pendidikan, namun juga media elektronik/digital sebagai sarana dakwah. Kepribadian Islam yang sudah tertanam dalam pribadi ibu, secara otomatis akan tersalurkan kepada anak dengan penanaman akidah secara terus menerus dan pembiasaan taat.
Perhatian besar terhadap keberlangsungan generasi oleh negara berbasis Islan juga tampak pada jaminan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Baik dengan dibukanya lapangan kerja luas untuk laki-laki maupun dengan pemberian bantuan modal usaha. Hal ini semata agar ibu tidak dibebani perihal ekonomi dan menyebabkannya mengabaikan tugas mendidik generasi demi ikut mencari nafkah.
Dari aspek sosial, maka pengaturan kehidupan antara laki-laki dan perempuan juga diatur sebagaimana ketetapan syariat. Hal ini untuk meminimalisir terjadinya perzinaan sebagaimana yang marak terjadi hari ini.
Adapun terkait sanksi, maka jelas Islam tegas atas hal tersebut. Zina yang dilakukan oleh mereka yang sudah terikat pernikahan, maka sanksi rajam ditegakkan atasnya tanpa kompromi. Ketegasan ini berfungsi untuk memutus mata rantai perzinaan agar tak berulang. Penegakan sanksi ini juga berlaku untuk setiap pelanggaran syariat yang lain, sebagai bentuk perlindungan dan jaminan negara atas kehormatan dan keselamatan rakyatnya.
Demikian sempurnanya Islam. Tengah menanti diperjuangkan untuk diterapkan kembali setelah lebih dari satu abad diabaikan. Demikian sempurnanya Islam, tengah merindukan kembalinya sosok bidadari bumi yang sehat secara fisik maupun psikis. Sehingga dengannya, siap pula menyirami generasi dengan limpahan kasih juga bekal taqwa untuk mengisi masa depan peradaban.
Via
Opini
Posting Komentar