Opini
Level Tertinggi Mencintai Nabi ﷺ
Oleh: Eci Aulia
(Aktivis Muslimah Bintan)
TanahRibathMedia.Com—Tepat pada 12 Rabiul Awal 571 Masehi atau dikenal dengan tahun Gajah lahirlah sosok manusia mulia utusan Allah Swt. yaitu Nabi Muhammad saw.. Beberapa peristiwa luar biasa turut mengiringi detik kelahirannya. Api sesembahan Majusi yang selalu menyala, tiba-tiba padam oleh cahayanya. Istana Kisra yang berdiri megah, terguncang oleh tangisannya.
Kota Mekkah yang sebelumnya kering kerontang menjadi hijau oleh tumbuhan subur dan pepohonan yang rimbun. Hari kelahirannya seolah mengisyaratkan peringatan akan hancurnya kebatilan.
Makna Meneladani Nabi ﷺ
Semua mata tertuju pada sosok Nabi Muhammad saw. penerang di tengah gelapnya peradaban masyarakat jahiliah. Beliau diutus ke dunia untuk menyampaikan risalah Islam bukan hanya kepada bangsa Arab dan zaman beliau saja, melainkan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Karena tujuan Rasulullah saw. diutus ke dunia tidak lain adalah menjadi rahmatan lil alamin.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).
Sampai detik ini, kaum muslim senantiasa memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. dalam momentum Maulid Nabi. Hal ini merupakan wujud cinta pada beliau. Namun, cukupkah mencintai Nabi hanya dengan seremonial tahunan dan ungkapan lisan semata.
Mencintai tentu harus direfleksikan dengan perbuatan. Yaitu dengan menerapkan semua syariat yang beliau bawa. Menjadikan beliau satu-satunya teladan terbaik dalam segala hal. Karena level tertinggi mencintai Nabi adalah meneladaninya secara totalitas, bukan setengah-setengah.
Keteladanan paripurna yang beliau miliki sangat layak menjadikan beliau sebagai uswatun hasanah atau teladan terbaik sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah Swt.,
اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Dampak Kepemimpinan Kapitalis Global
Sayangnya, umat Islam hari ini belum meneladani Nabi secara totalitas. Di antara keteladanan beliau adalah saat menjadi ayah dalam memimpin keluarga. Keteladanan beliau sebagai panutan dalam masyarakat. Kemudian, keteladanan beliau sebagai seorang kepala negara tatkala mendirikan negara Islam pertama di Madinah.
Setelah berhasil memantapkan daulah Islam di Madinah, Rasulullah saw. memusnahkan kebatilan Arab jahiliah yang masih menganut paganisme. Salah satunya, menghancurkan semua berhala di setiap sudut kota Mekah. Lalu menggantinya dengan cahaya Islam. Kemudian, menjadikan kota Madinah sebagai mersucuar untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh Jazirah Arab.
Sepeninggal beliau dan kepemimpinan para sahabat di masa Khulafaur Rasyidin, Islam terus mengepakkan sayapnya ke seluruh dunia di bawah kekhalifahan Bani Ummayyah, Bani Abbasiyah, dan Turki Utsmaniyah. Hingga berhasil menjadi negara adidaya yang menguasai 2/3 dunia selama 13 abad.
Namun, di akhir abad ke-19 cahaya Islam mulai redup. Tergantikan oleh peradaban jahiliah modern dalam wujud sekularisme, yaitu menghilangkan peran agama dalam sendi kehidupan. Sejak saat itulah Islam mulai kehilangan eksistensinya di segala bidang. Tangan dan kakinya seolah terpasung oleh kapitalisme global yang telah membidani lahirnya sekularisme.
Akibatnya, berbagai persoalan tak henti mendera. Umat Islam semakin mengalami keterpurukan dalam aspek keagamaan, politik, ekonomi, hukum, pemerintahan, sosial budaya, pendidikan, dan kesehatan.
Kepemimpinan Ideal ala Rasulullah saw.
Hal ini menjadi bukti bahwa kepemimpinan ideal itu ada tatkala meneladani Nabi secara totalitas. Termasuk dalam membangun sebuah negara. Ada tiga kunci kesuksesan Rasulullah saw. sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Pertama, beliau adalah seorang kepala negara yang berakhlak mulia. Seorang pemimpin yang mengayomi dan bekerja keras mengurus segenap urusan masyarakat. Meskipun beliau manusia utusan langit, namun beliau tidak pernah bertindak seperti raja yang haus penghormatan dan pelayanan dari rakyat. Justru beliau menjadi pelayan bagi masyarakat. Inilah akhlak pemimpin yang sejatinya pelayan umat.
Kedua, Rasulullah saw. menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam membangun masyarakat dan negara. Beliau mengajak umat manusia menauhidkan Allah sekaligus tunduk pada syariah-Nya.
Ketiga, Rasulullah saw. hanya menerapkan Islam secara keseluruhan (kafah). Beliau tidak pernah bernegosiasi dengan siapapun saat menjalankan seluruh hukum-hukum Allah Swt. Ketika ada yang terbukti mencuri, maka beliau dengan tegas menjatuhkan sanksi. Bahkan beliau mengatakan, andai Fatimah putrinya mencuri, pasti akan beliau potong tangannya.
Jadi aneh rasanya, kalau ada umat Islam yang mengaku cinta Nabi, senantiasa memperingati Maulid Nabi, tapi hanya mau mengambil keteladanan Nabi dalam berakhlak saja. Sementara keteladanan beliau dalam memimpin keluarga, masyarakat, dan negara dicampakkan. Tentu ini bukan merupakan bukti kecintaan pada Nabi, melainkan bentuk kedurhakaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Nauzubillah min zalik. Wallahu alam Bissowwab.
Via
Opini
Posting Komentar