Opini
Mengagungkan Pemimpin Non Muslim Bukan Toleransi, Tapi Kefasikan
Oleh: Erlike Handayani, S.H.I
(Pemerhati Remaja)
TanahRibathMedia.Com—Warga Indonesia dihebohkan oleh kunjungan Paus Fransiskus pada tanggal 3-6 September 2024 lalu. Kedatangan Paus disambut hangat oleh Presiden Joko Widodo, serta tokoh-tokoh muslim lainnya. Bahkan Imam Masjid Istiqlal pun juga antusias menyambut kedatangan Paus tersebut.
Kedatangan Paus ke istana negara untuk menyampaikan pesan akan pentingnya toleransi, serta perbedaan sebagai kekuatan dalam memperkuat persatuan. Kemudian pentingnya menyuarakan perdamaian di tengah meningkatnya konflik global. Kekagumannya terhadap semboyan Bhineka Tunggal Ika di mana Indonesia sebagai negara yang mencerminkan perbedaan yang tidak berpecah belah, tetapi justru menjadi kekuatan yang menyatukan (presidenri.co.id, 04-09-2024).
Media asing pun ikut menyoroti pertemuan Paus dengan Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar di Jakarta. Tampak foto Paus mencium mesra tangan imam mesjid tersebut. Sebaliknya Nasaruddin pun juga mendekap pundak kepala negara Vatikan tersebut (cnbcindonesia.com 05-09-2024).
Sungguh bablas, toleransi yang dianggap biasa justru meracuni akidah seorang muslim. Banyaknya statement yang bertentangan dengan Islam justru dianggap hal yang wajar. Contohnya kasus usulan azan running text. Tentu ini menjadi suatu yang patut dipertanyaan.
Ironinya lagi, semua statement Paus direspon positif oleh para pemimpin dan masyarakat muslim. Kepemimpinan sekuler yang memenangkan program moderasi beragama sejatinya justru menggerus akidah umat. Umat Islam harus kritis dan punya sikap yang benar sesuai tuntunan syariat, terkait bahaya toleransi dan moderasi beragama yang dibawa oleh Paus dan diberi jalan oleh rezim sekuler. Kebijakan-kebijakan yang tak sepadan dengan Islam membuktikan betapa sekulernya pemimpin negeri ini. Harga diri umat muslim seakan diinjak-injak dan terzalimi.
Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya surat Al-Fath ayat 29:
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗ...
Artinya: "Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud."
Perintah Allah untuk bersikap keras terhadap orang-orang kafir adalah perintah yang tidak bisa ditawar-tawar, apalagi dengan toleransi.
Islam tidak membolehkan menyamakan agama, baik masalah akidah, ibadah, aturan, pakaian, kebiasaan dan lainnya. Toleransi dalam Islam hanya sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan agama lain beribadah sesuai dengan keyakinannya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Artinya: "Untukmu agamamu, untukku agamaku."
Umat Islam seharusnya mengagungkan pemimpinnya yaitu Baginda Rasulullah saw. yang memperjuangkan Islam secara kafah, serta mengatur hubungan muslim dengan non muslim dengan baik. Dan mengutamakan aturan dari Allah Swt. bukan malah mengutamakan kepentingan non muslim dengan kedok toleransi, lalu mengagungkannya. Karena hal ini bisa mengantarkan pada kefasikan. Wallahu 'Alam Bishshawab
Via
Opini
Posting Komentar