Opini
Menyoal Air Kemasan Sebagai Penyebab Kemiskinan
Oleh: Irohima
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—“Buruk muka cermin dibelah", peribahasa ini sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Ketika angka kemiskinan makin membengkak dan pihak yang bertanggung jawab justru mengelak, bahkan menyalahkan orang atau hal lain secara sepihak, sungguh sebuah perilaku yang tidak layak.
Baru-baru ini mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memberikan pernyataan yang membuat banyak orang tak habis pikir. Beliau menyebut bahwa konsumsi air galon atau air kemasan menjadi salah satu penyebab jutaan warga kelas menengah di Indonesia jatuh miskin selain faktor pandemi, kenaikan suku bunga, dan fenomena judi online. Beliau juga menyebut bahwa di negara maju, masyarakat kelas menengah mengonsumsi air minum langsung dari kran bukan kemasan.
Seperti diketahui, menurut Badan Pusat Statistik, sejak masa pandemi Covid -19 , tahun 2019, jumlah kelas menengah di Indonesia menurun dari 21,45 persen total jumlah penduduk atau sekitar 57,33 juta orang menjadi 57,85 juta orang atau sekitar 17,13 persen saja, dan berarti terdapat 9,48 juta warga Indonesia kelas menengah turun kelas. Sementara itu angka kelompok masyarakat rentan miskin turut menggelembung, dari jumlah 54, 97 juta orang atau 20,56 persen menjadi 67,69 juta orang atau 24,23 persen dari total jumlah penduduk Indonesia di tahun 2024 (CNBC Indonesia, 31-08-2024 ).
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, menilai pernyataan dan pendapat Bambang Bodjonegoro adalah pernyataan yang absurd, tidak masuk akal dan menyedihkan. Menurut Anthony, pernyataan demikian terlihat jelas sebagai upaya mencari kambing hitam atas ketidakmampuan dan kegagalan pemerintahan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sangat aneh jika kebiasaan masyarakat mengonsumsi air kemasan disebut sebagai penyebab naiknya angka kemiskinan.
Kegagalan dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan adalah fakta yang tak terelakkan. Pernyataan sang mantan menteri justru memperjelas kegagalan pemerintah dalam penyediaan fasilitas air yang layak bagi masyarakat. Rakyat mengalami kekurangan air bersih karena musim kemarau yang menyebabkan kekeringan atau dikarenakan kurangnya kualitas air bersih. Kekeringan yang melanda memaksa masyarakat mengonsumsi air galon yang berdampak pada penambahan pengeluaran, dan menjadikan kelompok menengah menjadi miskin, sementara saat ini, air justru banyak dikemas dan dijual oleh banyak perusahaan. Inilah bentuk kapitalisasi air, padahal seharusnya kita bisa menikmati fasilitas air tanpa mengeluarkan biaya mengingat negara kita yang memiliki sumber daya air yang lebih dari cukup.
Air merupakan kebutuhan vital bagi kebutuhan makhluk hidup termasuk manusia. Air diminum untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan cairan, di sisi lain air digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Sejak satu dekade terakhir, milyaran orang di seluruh dunia termasuk Indonesia mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan terhadap air. Organisasi PBB bahkan mencatat bahwa terdapat 2,2 miliar orang yang kesulitan mengakses layanan air minum yang dikelola dengan aman dan terdapat 4,2 miliar orang yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai. Dari tahun ke tahun persoalan seputar air seperti bencana kekeringan dan hidrometeorologi makin bertambah.
Hidrometeorologi bukanlah satu-satunya yang menjadi penyebab sulitnya mendapatkan air yang layak. Banyak faktor yang ikut menyebabkan hal tersebut terjadi salah satunya kebijakan pemerintah itu sendiri, seperti kebijakan pengelolaan air yang diserahkan kepada pihak swasta atau pemilik modal oleh negara tetapi menggunakan skema komersialisasi layaknya korporasi, akibatnya terjadi kapitalisasi dalam sektor air. Seperti Kewenangan mengelola dan mendistribusikan air kepada masyarakat secara berbayar yang diberikan negara kepada PT PAM (swasta) atau PDAM (pelat merah). Di sisi lain, banyak juga perusahaan–perusahaan yang melihat kurangnya air minum yang layak sebagai peluang besar mendapat keuntungan, maka tidak mengherankan jika air kemasan dalam berbagai merek bertebaran karena sumber-sumber mata air telah dikuasai oleh banyak perusahaan. Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme yang hanya akan memprioritaskan keuntungan perusahaan tanpa pernah peduli akan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Dalam Islam, air adalah kebutuhan dasar manusia hingga negara dalam Islam akan melarang keras adanya privatisasi air, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah saw. bahwa “Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang gembalaan, air, dan api."(HR. Abu Dawud ).
Hadis ini bermakna tiga hal yang disebutkan tersebut merupakan harta milik umum, bukan milik individu atau golongan tertentu, jadi berdasarkan hadis ini harta milik umum tidak boleh diprivatisasi apalagi dikomersialisasi seperti yang marak terjadi saat ini. Dalam Islam, negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang, pangan, papan dan juga air secara layak.
Dalam upaya menjamin kebutuhan rakyat akan air, negara dalam Islam akan berupaya secara optimal dan mengerahkan teknologi dalam mengelola air agar masyarakat dapat memperoleh air yang layak dan bersih. Pengelolaan sumber daya air yang dilakukan sendiri oleh negara dan didistribusikan secara merata juga akan mampu meminimalisir terjadinya kekurangan air. Wallahualam bis shawab.
Via
Opini
Posting Komentar