Opini
Deflasi Menghantui, di Manakah Peran Negara?
Oleh: Izma Adiba
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Perekonomian Indonesia terindikasi sedang mengalami gejolak, ditandai dengan deflasi lima bulan secara berturut-turut. Deflasi lima bulan berturut-turut sudah seperti kondisi pasca krisis 1998. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen. Deflasi beruntun di alami Indonesia sejak Mei 2024 lalu.
Menurut Plt kepala BPS Amalia Widyasanti, RI juga pernah alami deflasi berkepanjangan, tujuh bulan berturut-turut pada Maret - September 1999. Tapi itu karena sebelumnya inflasi meroket, harga harga barang turun kemudian kembali ke normal. Kata Amalia, deflasi 5 bulan pada 2024 ini di dorong oleh penurunan harga, terutama komoditas pangan, mulai dari cabai, kentang, telur ayam sampai daging ayam. Itu terjadi karena pasokan meningkat di masa panen, juga turunnya biaya produksi. Meski deflasi sering dikaitkan dengan penurunan daya beli, Amalia menekankan tak ada kesimpulan pasti yang bisa di ambil cuma berdasarkan inflasi atau deflasi. Perlu kajian lebih komprehensif (kumparan.com, 3-10-2024).
Deflasi ini artinya harga barang dan jasa turun terus menerus. Penyebab deflasi adalah, penurunan harga pangan, daya beli pun ikut menurun, dan kondisi ekonomi global. Dampak deflasi ialah, penurunan pendapatan produser, pengangguran, penurunan investasi. Pedagang keluhkan pasar sepi hingga omset menurun.
Nailul Huda, Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Celios mengatakan bahwa, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia menurun karena kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Saat ini masyarakat sedang mengalami penurunan daya beli, salah satunya karena pendapatan yang di belanjakan juga menurun.
Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam kondisi deflasi saat ini. Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang diberikan hanya menambah beban bagi masyarakat. Akibat impor pangan, pakaian dan lain-lain, membuat banyak perusahaan gulung tikar dan akhirnya terpaksa mem-PHK para karyawannya. Impor bahan pokok di saat para petani panen raya juga menjadi sebab para petani merugi, karena biaya yang di keluarkan tak sebanding dengan pendapatan akibat harga-harga hasil panen menurun. Sehingga daya beli masyarakat sekarang semakin menurun, mencari pekerjaan juga semakin sulit.
Dampak lain dari deflasi adalah pendapatan minim sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Akibatnya, kesejahteraan keluarga termasuk ibu dan anak gagal terealisasi. Mengingat sebagian besar belanja rumah tangga saat ini dikeluarkan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Maka jika untuk belanja kebutuhan pokok saja di kurangi konsumsinya, apalagi untuk mengeluarkan biaya pendidikan dan kesehatan yang lebih mahal. Alih-alih terpenuhi, sangat mungkin akan dikorbankan mengingat rendahnya kemampuan daya beli rumah tangga dan tingginya biaya jasa pendidikan dan kesehatan. Jika keadaannya demikian, generasi akan mengalami penurunan kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan.
Hal ini juga pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Al-Khattab pernah mengalami krisis ekonomi yang hebat. Rkyat Daulah Islam kelaparan massal. Yang sakitpun ribuan, roda ekonomi berjalan terseok-seok. Bahkan sudah sampai level membahayakan. Diantara masyarakat ada yang berani menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan, bahkan binatang buaspun sampai berani masuk ke perkotaan.
Walhasil, krisis ekonomi ini, sungguh adalah sunnatullah, bisa dialami oleh sebuah negara termasuk Daulah Islam. Yang menjadi pembedanya adalah bagaimana kholifah peduli dan memikirkan jalan keluar yang tepat dan cepat dalam mengatasi krisis ekonomi ini. Solusi yang tuntas dan menyeluruh bukan tambal sulam. Apalagi hanya basa-basi dan penuh pencitraan.
Syariah Islam telah menuntun Khalifah Umar dengan jelas hingga ia mampu mengatasi krisis ekonomi yang hebat tersebut dengan baik dan cepat. Hal pertama yang dilakukan adalah tidak bergaya hidup mewah. Sosok Umar menjadi teladan yang baik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi ini. Makanan yang beliau makan seadanya sama dengan yang paling miskin atau bahkan yang paling rendah lagi.
Pada masa krisis ekonomi itu Khalifah Umar diberi hadiah roti dengan mentega, ia kemudian mengajak kaum Badui untuk makan bersama. Kemudian orang Badui pun menyantap roti berlemak. Khalifah Umar berkata "Sepertinya kau membutuhkan roti berlemak itu." Si badui menjawab, "Benar, saya tidak pernah memakannya sejak lama hingga hari ini". Seketika Umar bersumpah untuk tidak merasakan daging dan mentega hingga orang-orang sejahtera. Umar berkata "Bagaimana saya bisa memperhatikan kondisi rakyat Jika saya tidak tertimpa apa yang menimpa mereka."
Ini adalah sikap kepedulian yang luar biasa dari seorang pemimpin terhadap penderitaan rakyatnya. Khalifah Umar tahu bahwa tanggung jawab atas kepemimpinanya dalam melayani rakyatnya sangat lah besar. Dalam krisis ekonomi itu, Khalifah Umar ikut menderita begitu pula keluarganya. Mereka juga harus lebih menderita dari apa yang dirasakan rakyatnya.
Beginilah sikap yang dilakukan oleh Khalifah Umar dalam mengatasi krisis ekonomi. Ia menjadi orang yang pertama merasakan penderitaan rakyatnya secara langsung, ia juga memerintahkan keluarganya bersikap yang sama. Ia sungguh menjalankannya bukan semata-mata basa-basi politik. Dengan sikap seperti itu, Umar mengetahui betul betapa beban yang diderita oleh rakyatnya. Ia bersungguh-sungguh memeras otak dan banting tulang mencari solusi yang tepat lagi cepat dalam mengatasi krisis ekonomi.
Adakah rezim saat ini bersikap seperti itu ketika ada krisis? Wajar jika tidak ada, karena mereka tidak menjalankan perintah syariat Islam, sebagaimana Khalifah Islam menjalani itu semua. Dengan penetlrapan Sistem Islam secara kaffah akan memungkinkan terwujudnya kesejahteraan. Sistem Ekonomi Islam menetapkan sumber - sumber pemasukan negara, sehingga negara akan mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, tanpa mengantungkan pada utang dan pajak, sebagaimana negara kapitalisme saat ini. Wallahu a'lam bi Ash-showab.
Via
Opini
Posting Komentar