Opini
Demokrasi: Pemenang Mengambil Segalanya
Oleh: Ummu Fifa
(MIMÙ…_Muslimah Indramayu Menulis)
TanahRibathMedia.Com—Apa yang terjadi tatkala manusia menjadikan akal sebagai pemutus persoalan. Bahkan dijadikan pijakan bagi sistem pemerintahannya. Lalu dipadupadankan dengan nash syara' untuk menormalisasikannya. Sejatinya itu seperti kereta yang dilajukan ke luar dari relnya. Seperti halnya demokrasi. Satu sistem yang dipilih dan diharapkan mampu membawa manusia menuju kemajuan, namun mari kita lihat dengan saksama, bagaimana perjalanannya.
Fakta Demokrasi di Indonesia
Perjalanan demokrasi di Indonesia makin memperlihatkan kesuramannya. Bahkan sebagian kalangan berpandangan tengah terjadi fenomena kemunduran demokrasi (democratic backsliding). Betapa tidak, seringkali kita saksikan tingkah para pejabat negara beserta keluarga yang bangga terhadap statusnya, dan cenderung mempertontonkan kehidupan glamor di tengah kehidupan rakyat jelata.
“Bancakan kabinet” pun kerap terjadi di tubuh demokrasi. Sulit rasanya penguasa menerapkan zaken kabinet, yaitu kabinet yang diisi oleh kalangan profesional. Secara kasatmata, kabinet seringnya didominasi oleh para kolega dan pendukung, baik dari sesama anggota koalisi maupun pihak-pihak lain. Bancakan kekuasaan ini juga membuka peluang besar terjadinya korupsi. Sebab, banyak proyek di pemerintahan akhirnya dikuasai oleh golongan tertentu untuk kepentingan kelompok sendiri. Pengawasan dan penindakan pun menjadi sulit untuk dilakukan karena terjadi konflik kepentingan di antara legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif.
Terbukti bahwa dalam sistem demokrasi, kekuasaan bukanlah di tangan rakyat, tetapi di tangan segelintir elit penguasa dan partai politik. Demokrasi meniscayakan prinsip “pemenang mengambil segalanya”. Terjadilah bancakan kekuasaan secara konstitusional.
Di tengah-tengah kegalauan berdemokrasi ala Indonesia, muncul harapan agar kaum muda khususnya mahasiswa bisa menjadi agen perubahan demokrasi. Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL), Iding Rosyidin, menyebutkan salah satu solusi kemunduran demokrasi itu, yakni adanya reformasi di tubuh partai politik dengan adanya perubahan pola rekrutmen, kaderisasi dan distribusi kader (bangka.tribunnews.com, 18-09-2024).
Benarkah Baik Buruk Demokrasi Hanya Bertumpu Pada Manusia?
Sepanjang perjalanan berdemokrasi setelah kemerdekaannya, Indonesia telah memiliki tujuh orang presiden yang dilengkapi dengan jajaran kabinetnya. Namun kehidupan masyarakat tidak pernah mengalami perbaikan, bahkan cenderung mengalami kemunduran. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikasi layanan terhadap pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat, semakin sulit terjangkau.
Ini disebabkan oleh pola pengelolaan sektor ekonomi yang dijalankan pemerintahan demokrasi bernuansa kapitalistik. Konsekuensinya adalah keuntungan dari pengolaan SDA tidak mampu menjangkau kalangan rakyat jelata, namun terhenti hanya pada kalangan elit tertentu. Merekalah segelintir orang yang menikmati sebanyak-banyak keuntungan SDA. Kata-kata “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” hanya sebatas slogan yang melenakan. Faktanya tak pernah satu pun kebijakan penguasa yang sejalan dengan aspirasi rakyat.
Di sinilah akar masalah sebenarnya, yaitu penerapan ideologi kapitalis yang berlandaskan paham sekularisme. Manusia diposisikan sebagai “maha dewa” untuk mengatur hidupnya dengan menegasikan peran pencipta. Tanpa bimbingan pencipta, terbukti manusia adalah makhluk yang sangat memenangkan hawa hafsu tanpa batas. Maka tak heran bancakan kekuasaan secara konstitusional sangat kental pada negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Rakyat hanya dijadikan alat legalisasi bagi berjalannya demokrasi. Mereka hanya diperhatikan pada masa-masa kampanye menjelang pergantian pemimpin. Daya pikir mereka kerap dimatikan hanya dengan iming-iming janji semu kesejahteraan. Sehingga ketika politik demokrasi itu menampakkan berbagai kerusakan yang diindera pemuda saat ini, sejatinya itu bukanlah kemunduran demokrasi. Namun lebih tepat, demokrasi disebut sebagai sebuah sistem yang rusak dan merusak.
Sangat tepat kiranya melibatkan pemuda untuk ikut berpartisipasi dalam perubahan politik Indonesia. Dengan segenap potensi yang dimiliki serta ditunjang dengan pesatnya perkembangan IT, Gen Z diharapkan mampu membawa perubahan dengan cepat. Namun perlu diperhatikan kesahihan politik yang harus mereka pahami dan perjuangkan. Sehingga tidak terjebak pada ungkapan “Gen Z dan Politik: Siapa yang Mengubah Siapa?”.
Arah Politik Perubahan Gen Z
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merelah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imran: 104)
Pada ayat ini Allah memerintahkan orang mukmin agar mengajak manusia kepada kebaikan, menyuruh perbuatan ma’ruf, dan mencegah perbuatan munkar. Dan hendaklah di antara orang mukmin tersebut, ada segolongan orang yang secara terus menerus menyeru kepada kebajikan yaitu petunjuk-petunjuk Allah. Menyuruh (berbuat) yang ma’ruf yaitu akhlak, perilaku dan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mencegah dari yang munkar, yaitu sesuai yang dipandang buruk oleh nilai-nilai agama. Dan karenanya Allah memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang beruntung yaitu segolongan orang yang mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.
Segolongan orang yang secara terus menerus menyeru kepada kebajikan yang dimaksud haruslah dalam bentuk partai politik. Partai politik yang berkarakter kuat dalam aktivitasnya menuju kebangkitan umat manusia ke arah Islam, sebagaimana tersurat dalam QS Ali-Imran: 104. Partai politik yang tidak akan pernah membelokkan arah perjuangannya demi meraih harta, jabatan serta kedudukan dunia.
Rasulullah saw., telah memberi petunjuk bagaimana meraih kemenangan melalui perjuangan politik. Dengan mempelajari perjuangan politik Rasulullah, maka akan didapati bahwa partai politik sahih harus memiliki beberapa kriteria, di antaranya:
1. Memiliki ideologi sahih (Islam) sekaligus menjadi ikatan yang menghimpun para anggotanya
2. Memiliki konseptual politik yang dipilih untuk menjalankan perubahan (mengadopsi fikroh politik tertentu yaitu Islam)
3. Memiliki metode langkah perubahan yang relevan dengan problem sistem (metode perubahan yang teruji)
4. Memiliki para anggota yang memiliki kesadaran yang benar (bukan sekadar karena ketokohan, kepakaran, jabatan).
Kecerdasan Gen Z yang berpolitik dalam partai politik sahih akan meniscayakan terwujudnya penguasa-penguasa amanah yang takut terhadap Allah Swt. Mewujudkan tata dunia baru dalam memperbaiki masyarakat dan negara, yang jelas sangat berbeda dengan model politik demokrasi. Karena berpolitik saat ini, baik secara keimanan maupun realita adalah suatu kebutuhan. Dan umat Islam termasuk Gen Z wajib berpolitik sesuai dengan tuntutan Islam.
Wallahu a’lam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar