Opini
Di Tengah Peringatan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional, Kemiskinan Makin Meningkat
Oleh: Fenti
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tiap tanggal 17 Oktober, dunia memperingati Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional. Berbagai aktivitas dilakukan baik oleh organisasi dunia maupun pemerintah setempat. Misalnya UNESCO dan UNICEF menyediakan akses pendidikan gratis, khususnya bagi perempuan-perempuan yang sering menjadi korban ketidakadilan gender dalam dunia pendidikan.
Sedangkan di beberapa negara, pemerintah setempat meluncurkan kebijakan mendukung akses masyarakat miskin akan layanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan yang layak. Ada juga yang pemerintah setempatnya menerapkan program jaminan sosial yang mencakup tunjangan pengangguran, asuransi kesehatan dan bantuan perumahan bagi rakyat miskin.
Lain halnya di negara yang berkembang seperti misalnya di Indonesia menerapkan program subsidi pangan, akses air bersih, dan BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk membantu masyarakat miskin.
Berdasarkan data laporan Program Pembangunan PBB lebih dari 1 miliar orang, hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia. 584 juta orang dibawah umur 18 tahun mengalami kemiskinan ekstrim dimana 27,9 persen adalah anak-anak dan 13,5 persen orang dewasa. Laporan ini pun menunjukkan 83,7 persen orang termiskin di dunia tinggal di Afrika Sub Sahara dan Asia Selatan.
Negara yang mengalami kemiskinan ekstrem adalah India dengan jumlah orang miskin sebanyak 234 juta dari 1,4 miliar penduduknya. Kemudian diikuti negara Pakistan, Etiopia, Nigeria dan Republik Demokrasi Kongo.
Walaupun telah banyak upaya yang dilakukan untuk menghapus kemiskinan ini, namun masyarakat miskin tidak kunjung sejahtera, malah jumlahnya semakin meningkat.
Sementara itu negara-negara yang penduduknya mengalami kemiskinan yang tinggi, adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). India yang merupakan negara dengan kemiskinan yang ekstrim, namun mempunyai SDA di antaranya bijih besi berkualitas tinggi, mangan, kromit dan yang lainnya.
Begitu juga dengan Indonesia, yang memiliki berbagai komoditas tambang, seperti batu bara, minyak bumi, emas, bijih besi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Menurut laporan World Inequality Report (WIR), tahun 2022 ada ketimpangan pendapatan di antara masyarakat Indonesia. Pendapatan kelompok 50 persen terbawah hanya Rp25,11 juta per tahun pada 2022. Sementara itu, kelompok 10 persen teratas memiliki pendapatan sebesar Rp333,77 juta per tahun. Sedangkan kelompok 1 persen terkaya punya pendapatan lebih tinggi lagi, yakni mencapai US$1,2 miliar per tahun.
Hal ini mengakibatkan kemiskinan struktural, karena baik orang-orang terkaya di dunia maupun negara-negara yang mengalami kemiskinan ekstrem, hidup dalam naungan sistem yang sama, yakni kapitalisme, dimana sistem ini lebih mementingkan kepentingan individu atau diri sendiri dibandingkan kepentingan negara, sehingga memunculkan sikap individualis yang sangat tinggi.
Sejatinya kita menyadari akar permasalahan dari kemiskinan ekstrem ini, adalah dari diterapkannya sistem kapitalisme, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan yang sangat jauh. Dengan diterapkannya sistem kapitalisme dalam sebuah negara hubungan antara pemerintah dan rakyat menjadi antara pedagang dan pembeli.
Pemerintah dalam mengelola kekayaan alamnya diberikan kepada pihak swasta sehingga pemilik modal akan menjual kepada konsumen, dalam hal ini masyarakatnya, dengan harga yang tinggi karena ingin mendapatkan keuntungan yang banyak. Namun karena daya beli masyarakat yang berpenghasilan sangat minim, akhirnya kebutuhan pokok masyarakatnya tidak terpenuhi. Masyarakat yang tidak memenuhi kebutuhan pokok ini menduduki peringkat tinggi di negeri ini, bahkan di dunia.
Sistem kapitalisme memberi kebebasan pada ekonomi, hingga pemodal menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk menguasai sumber daya alamnya.
Problem kemiskinan tidak akan selesai jika masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme dalam sebuah negara, karena sistem yang digunakan tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang tidak bisa menjaga amanah, juga menjadi salah satu faktor kemiskinan menjadi lebih buruk lagi.
Lain halnya apabila syariat Islam diterapkan dalam menjalankan negara. Dengan menerapkan syariat Islam akan diwujudkan kesejahteraan rakyatnya individu per individu. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakatnya, sehingga para lelaki bisa memberikan nafkah yang cukup pada keluarganya. Begitu juga dengan SDA , negara akan mengelola secara mandiri, tidak akan diberikan pengelolaannya kepada pihak swasta atau pihak luar.
Negara juga akan bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan dan keamanan, dan tentu saja semua pelayanan tersebut diberikan secara gratis kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sejarah mencatat keberhasilan negara yang menerapkan syariat Islam, dimana masyarakatnya sejahtera di 2/3 belahan bumi selama lebih dari 14 abad.
Wallahualam.
Via
Opini
Posting Komentar