Opini
Hari Guru Sekadar Seremoni?
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—World's Teacher Day atau Hari Guru Sedunia baru saja diperingati 5 Oktober lalu. Di tahun ini, UNESCO mengusung tema "Valuing teacher voices: Towards a new social contract for education" yang artinya "Menghargai suara guru: Menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan".
Peringatan kali ini akan menekankan pada peran penting yang dimainkan oleh para guru dalam membentuk masa depan pendidikan dan kebutuhan mendesak untuk memasukkan perspektif mereka ke dalam kebijakan pendidikan. UNESCO sendiri menilai bahwa peringatan ini sebagai bentuk dari pemahaman, apresiasi, dan kepedulian terhadap para guru (Detiknews, 5-10-2024).
Sementara itu di balik peringatan yang berlangsung tiap tahun, potret pilu ternyata masih menyelimuti kehidupan para guru. Mereka dihadapkan pada berbagai persoalan.
Di antaranya adalah masalah kesejahteraan khususnya bagi mereka yang berstatus honorer. Banyaknya media yang mengulas nasib guru dengan pendapatannya dibawah rata rata, ternyata belum cukup mengetuk nurani penguasa untuk memperhatikan nasib mereka. Pengabdian puluhan tahun, benar benar hanya berakhir sebagai pengabdian tanpa penghargaan, tanpa jaminan kesejahteraan. Tak heran bila fokus mereka sebagai tenaga pendidik terpecah karena nekad mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Persoalan lainnya adalah masalah kurikulum yang membingungkan. Di negeri ini, gonta ganti kurikulum sudah menjadi tradisi seiring dengan pergantian menteri. Mungkin maksud hati menorehkan gebrakan, namun sayangnya tak di iringi konsep yang matang sehingga yang terjadi dilapangan justru bertolak belakang. Output generasi tetap tak sesuai harapan, guru pun turut menjdi korban karena dituntut mampu beradaptasi dengan perubahan kurikulum yang terus berganti.
Infrastruktur serta fasilitas pendidikan yang tidak merata juga menjadi problem menahun yang tak kunjung selesai. Contoh kecil saja ketika guru dituntut menghasilkan generasi melek digital, namun fasilitas tak disediakan. Jangankan fasilitas digital, infrastruktur lapuk dan hampir ambruk pun tidak hanya satu dua. Belum lagi sulit nya akses jalan ke sekolah.
Kemudian, kompetensi dan kepribadian guru. Keduanya menjadi aspek krusial yang harus dimiliki mengingat guru adalah ujung tombak pendidikan dan penentu kualitas generasi masa depan. Sayangnya fakta dilapangan tak menunjukkan demikian. Guru kehilangan jati dirinya sebagai sosok yang patut digugu dan ditiru. Alih alih menjadi teladan, mereka justru menjadi penghuni rutan karena terlihat kasus kekerasan baik fisik maupun seksual.
Peliknya problem yang harus dihadapi para pahlawan ini tentu menambah daftar panjang kegagalan sistem kapitalisme. Di mana sistem ini mensetting agar peran negara dibatasi sekedar sebagai regulator yang menggoalkan kebijakan-kebijakan tanpa memikirkan imbasnya. Sistem ini pula yang menjadikan negara mengabaikan fungsinya sebagai penjamin kesejahteraan rakyat termasuk guru.
Ketiadaan peran negara juga tampak pada nihilnya upaya pembentukan kepribadian guru. Yang jika ditarik kebelakang, maka sejatinya tenaga pendidik tersebut adalah produk dari pendidikan sebelumnya dengan sistem yang sama. Sehingga bisa dikatakan bahwa inilah lingkaran setan yang tak akan berujung.
Oleh karena itu, bertahan dalam kubangan kapitalisme hanya akan membuat sosok guru menderita dan terhina. Padahal, merekalah tulang punggung pendidikan yang akan menentukan nasib bangsa.
Dalam Islam, pendidikan menjadi salah satu sektor penting yang mendapat perhatian utama oleh negara. Sebab, dari sanalah peradaban agung akan dibangun.
Jika dalam kapitalisme peran guru terbajak oleh target pendidikan berparadigma kapitalis sekuler yang menjauhkan peserta didik dari nilai nilai Islam, dan hanya fokus pada cepatnya penyerapan kerja, maka dalam Islam tentu tidak berlaku demikian. Metode pembelajaran tidak sekedar transfer ilmu, melainkan juga memadukan antara ilmu dan iman. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan ala Islam, yaitu untuk membentuk pendidik dan peserta didik yang memiliki syaksiyah Islam (pola pikir dan pola sikap sebagaimana yang ditetapkan Islam). Karenanya, dasar kurikulum pembelajaran harus disandarkan pada akidah IsIam saja.
Sejarah telah mencatat bagaimana prestasi guru guru di masa Islam mampu melahirkan generasi berkualitas secara ilmu maupun keimanan. Dan keberhasilan inilah yang sejatinya tengah diperjuangkan agar bisa terulang kembali. Agar generasi tak hanya berorientasi mengejar materi.
Menilik pada pentingnya peran guru tersebut, maka Islam mengatur bahwa negara harus hadir sebagai penyelenggara utama pendidikan. Termasuk dalam menjamin kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan yang cukup dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Tujuannya, agar mereka bisa fokus menjalankan amanah tanpa dihantui perasaan was was dengan persoalan ekonomi.
Demikian nasib guru di tangan Islam. Mereka tidak sekedar merasakan euforia dari peringatan hari guru yang berlangsung tiap tahun, tapi benar benar merasakan profesi nya dimuliakan.
Via
Opini
Posting Komentar