Opini
Menyoal Sertifikasi Halal Produk Khamr Hingga Penggunaan Nama Tuyul, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh: Ashima Adzifa
(Pengiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Akhir-akhir ini jagat maya dihebohkan dengan adanya video yang viral di berbagai platform sosial media yang menjelaskan adanya produk-produk dengan nama tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH) Kemenag. Selain itu, muncul berbagai respon masyarakat terkait persoalan halal. Terlebih, hal ini merupakan persoalan yang sensitif di tengah umat. Salah satunya adalah munculnya perbandingan antara MUI dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal saat ini.
Lempar Tangan BPJHP dan MUI
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan pihaknya sudah mengonfirmasi, mengklarifikasi, dan mengecek perihal tersebut, setelah beredarnya video terkait produk tersebut yang mendapat sertifikat halal BPJPH Kementerian Agama. Asrorun menyebutkan dari hasil investigasi dan pendalaman, terkonfirmasi bahwa informasi tersebut valid.
“Produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur self declare tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI, dan penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” katanya, Selasa (wartabanjar, 12-10-2024).
Sementara itu, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin membenarkan adanya produk dengan nama-nama yang tidak sesuai aturan. Ia menjelaskan, produk menggunakan kata “wine” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa Kemenag. Contoh yang lain, produk dengan nama menggunakan kata “beer” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah delapan produk. Sebanyak 14 produk, sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa (kumparan,12-10-2024).
Sehingga produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain (kumparan,12-10-2024).
BPJPH menegaskan bahwa persoalan tersebut hanya berkaitan dengan penamaan produk, bukan soal kehalalan produk. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal telah terjamin pula kehalalannya. Produk tersebut diklaim telah melalui proses sertifikasi dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.
Paparan data yang disampaikan oleh Mamat seakan membantah apa yang sebelumnya disampaikan Asrorun bahwa MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk. Bahwasanya ketetapan halal produk-produk tersebut juga berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI tidak hanya berdasarkan dari Komite Fatwa Kemenag.
Demi Kepentingan Bisnis?
Polemik sertifikasi halal kali ini sebenarnya merupakan persoalan teknis terkait penamaan yang belum diterapkan secara sempurna, terutama produk yang mendapatkan sertifikat halal melalui mekanisme self declare. Self declare sendiri merupakan salah satu skema pengajuan permohonan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikat halal melalui BPJPH di Indonesia. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Kemenag dan mulai berlaku pada 2021. Harapannya dengan adanya self declare ini dapat mepermudahkan pelaku usaha, terutama UMKM dalam mendapatkan sertifikat halal.
Kebijakan ini sejak awal pun telah menuai pro-kontra karena dinilai berpotensi untuk disalahgunakan. Dan kini terbukti dengan didapati berbagai produk yang mengandung nama minuman keras dan mengandung nama setan bisa mendapatkan sertifikat halal.
Tentu saja hal ini semakin mengikis kepercayaan publik pada pemerintah sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Masyarakat menilai Pemerintah kurang teliti dalam memberikan sertifikat halal tersebab tidak satu-dua kali kasus produk yang ternyata haram malah dilabeli halal. Lebih dari itu, publik menilai pemerintah lebih mengedepankan persoalan ekonomi ketimbang perlindungan rakyatnya dari pangan yang nonhalal. Ini terlihat dari narasi yang terus digembor-gemborkan pemerintah terkait sertifikasi halal, bukan agar rakyat terhindar dari minuman haram tersebut, melainkan karena Indonesia adalah konsumen terbesar pangan halal dunia. Sehingga berbagai cara pun mereka lakukan agar punya sertifikat halal meski dengan cara self declare yang pada akhirnya memosisikan label halal hanya untuk mendongkrak penjualan, alih-alih petunjuk bagi kaum muslim.
Jaminan Makanan dan Minuman Halal Pada Masa Islam
Persoalan sertifikasi produk halal ini merupakan persoalan yang penting bagi umat karena terkait dengan jaminan aman dalam mengonsumsi produk, baik secara agama (halal dan tayib) maupun secara kesehatan. Islam telah menggariskan bahwa urusan umat semacam ini adalah tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap agama.
Rasulullah saw. bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Oleh karenanya pemimpin memiliki fungsi pengatur dan pelindung umat. Pemimpin wajib menjamin ketersediaan makanan dan minuman halal hingga tingkatan individu per individu. Selain itu ia juga berkewajiban menjaga rakyatnya untuk terus berada dalam suasana ketakwaan. Sehingga orientasi pengusaha juga mendapatkan perhatian negara. Hal ini tidak akan ditemukan pada sistem sekuler kapitalisme, pengusaha sering kali mengupayakan sertifikasi bagi produknya hanya untuk mendongkrak pembelian oleh masyarakat yang notabene mayoritas muslim. Sehingga memungkinkan pengusaha melakukan semacam “manipulasi” terhadap kehalalan produk, seperti mengganti bahan baku setelah sertifikasi selesai, menyembunyikan bahan-bahan yang memiliki titik kritis keharaman, dan sebagainya. Sedangkan dalam Islam, pengusaha wajib disadarkan bahwa ia mempertanggungjawabkan kehalalan produknya bukan hanya pada umat, tetapi kepada Allah Swt.
Mekanisme ini hanya bisa diwujudkankan penerapan sistem Islam secara kaffah. Negara Islam memiliki berbagai sumber pendapatan terutama dari pemanfaatan sumber daya alam yang tidak boleh diprivatisasi, melainkan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang hanya mengandalkan pajak sehingga tidak mampu menanggung biaya-biaya besar pengurusan urusan umat.
Wallahualam bissawab
Via
Opini
Posting Komentar