Opini
Menyoal Tunjangan Rumah Dinas Anggota DPR
Oleh: Riza Maries Rachmawati
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sungguh miris, di saat rakyat kesulitan untuk memiliki rumah karena harganya yang mahal, anggota DPR periode 2024-2029 akan mendapatkan tunjangan rumah dinas. Dengan alasan kondisi rumah dinas anggota parlemen yang ada saat ini sudah rusak parah dan butuh perawatan yang tidak murah. Indra Iskandar selaku Sekretaris Jenderal Dewan perwakilan mengatakan tidak lagi menyediakan rumah dinas. Dilansir dari detik.com, besar tunjangan rumah untuk anggota DPR mencapai Rp 50 juta per bulan.
Pemberian tunjangan rumah dinas anggota DPR ini tentu menambah panjang fasilitas yang diterima anggota dewan selama menjalani tugasnya sebagai wakil rakyat. Peneliti ICW Siera Tamara mengatakan total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp 1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Belum lagi persoalan lain yang muncul akibat mekanisme pembayaran tunjangan ini.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan mekanisme pebayarannya akan menyatu dengan komponen gaji angora DPR. ICW menilai mekanisme ini akan menyulitkan pengawasan atas penggunaan tunjangan tersebut karena akan ditransfer secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. Sehingga tidak salah jika dapat disimpulkan bahwa kebijakan tunjangan rumah dinas untuk DPR hanya untuk memperkaya angota DPR (www.icw.or.id, 10-10-2024).
Tunjangan rumah dinas ini adalah kebijakan yang ironis bila dibandingkan dengan kenyataan yang menimpa rakyat saat ini. Rumah yang merupakan kebutuhan dasar rakyat sulit untuk didapatkan karena mahalnya harga rumah. Saat ini terdapat 12,71 juta backlog perumahan (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan) di Indonesia. Sementara, harga property terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2022 kenaikannya tercatat sebesar hampir 4% dari tahun sebelumnya (theconversation.com, 21-09-2023)
Bahkan ada pula rakyat yang tidak memiliki rumah dan harus tinggal dijalanan. Ada sekitar 3 juta tunawisma di Indonesia, dengan 28.000 berada di Jakarta. Sebanyak 77.500 gepeng (gelandangan dan pengemis) tersebar di banyak kota besar di seluruh Indonesia pada tahun 2019. Indonesia ada di urutan ke-11 di dunia sebagai negara dengan jumlah tunawisma terbanyak. Diperkirakan kurang lebih sebanyak tiga juta jumlah populasi tunawisa pada tahun 2024.
Melalui fasilitas dan berbagai tunjangan yang ada diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Hanya saja harapan tidak sesuai dengan kenyataan, anggota dewan periode sebelumnya sekalipun mereka mendapat berbagai tunjangan kenyataannya mereka tidak bekerja menyalurkan aspirasi rakyat. Namun bekerja untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Buktinya DPR justru bergerak cepat mengesahkan RUU yang mewakili penguasan dan pengusaha seperti RUU Dewan Pertimbanngan Presiden dan RUU Kementerian Negara.
Bukti lain DPR lebih memihak pengusaha daripada rakyat adalah saat rakyat menjerit dan menolak adanya UU Ciptaker, DPR justru tetap mengesahkannya. Sementara Undang-Undang terkait kepentingan masyarakat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat belum tersentuh DPR. Pragmatisme dalam menyusun legislasi DPR juga terlihat saat DPR menganulir keputusan MK terkait RUU Pilkada dalam waktu sehari demi menjada eksistensi kekuasaan pihak tertentu.
Tidak bisa dipungkiri dalam sistem demokrasi saat ini para anggota dewan bukan bekerja untuk rakyat akan tetapi hanya demi uang, tunjangan, dan berbagai fasilitas mewah lainnya. Mengembalikan modal yang dulu mereka keluarkan demi untuk melenggang menuju kursi di Senayan menjadi prioritas utama saat mereka mulai menjalankan tugasnya. Mengeruk keuntungan dari posisinya sebagai dewan rakyat pun tidak mereka sia-siakan, karena mereka menyadari dengan keterbatasan jatah jabatan yang singkat. Semua itu merupakan konsekuensi logis atas politik transaksional dala sistem politik demokrasi yang saat ini diterapkan di negeri ini.
Disamping itu, realita anggota DPR periode ini sangat kental dengan dinasti politik. Pasalnya sebagian besar anggota DPR memiliki relasi. Pasalnya sebagian besar anggota DPR memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat publik yang beragam. Mulai dari suami istri, anak, keponakan, dan lain-lain. Demikianlah kondisi masyarakat yang diwakili oleh wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitallisme. Sistem ini meniscayakan adanya politik dinasti, politik balas budi, hingga politik memperkaya diri dan golongan. Sebab sistem ini hadir sebagai legalisasi penjajahan ekonomi atas nama hukum oleh para kapital yang memiliki simbiosis mutualisme dengan pejabat, termasuk wakil rakyat.
Sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem Islam, Majelis Ummah sebutan untuk wakil rakyat dalam Islam memiliki peran yang strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Mereka terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasehat mereka dalam berbagai urusan. Saat Rasulullah saw. menjadi pemimpin negara Islam pertama di Madinah, Rasulullah sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. Sehingga keberadaan majelis umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw tersebut.
Majelis Umat mewakili umat dalam melakukan muhasabah yakni mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah. Berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem demokrasi yang berperan untuk melegalisasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Sementara dalam sistem Islam legalisasi hukum dalam konteks mengadopsi hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dan penetapan anggaran merupakan wewenang dari Khilafah. Dari konsep wakil rakyat seperti ini, keberadaan Majelis Umat dengan DPR sangat berbeda dalam segi peran dan fungsinya.
Majelis umat murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Mereka bergerak berdasarkan landasan amar makruf nahi mungkar, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt.. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan, sebab status sebagai Majelis Umat merupakan amanah yang akan dipertanggung jawabkan kepada Allah Swt. dan bukan pada keistiewaan yang diberikan negara.
Majelis Umat sebagai wujud dari perwakilan rakyat tidaklah berstatus sebagai pegawai negara yang berhak menerima gaji. Untuk menunjang kinerjanya, bila ada hal-hal yang perlu dianggarkan maka mereka mendapatkan santunan dalam jumlah yang secukupnya. Adapun fasilitas yang mereka terima dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang setiap individu warga mendapatkan hak yang sama untuk memperolehnya. Seperti jaminan keumudahan dari negara untuk rakyatnya dalam memperoleh rumah untuk tempat tinggal. Yang akan sangat mudah dipenuhi oleh negara ketika negara menerapkan sistem ekonomi Islam.
Wallahu’alam bi shawab.
Via
Opini
Posting Komentar