Feature News
Pantaskah Aku Bersedih?
Oleh: L. Nur Salamah
(Sahabat Feature News)
TanahRibathMedia.Com—"Innalilahi wa inna ilaihi Raji'un, hanya diriku yang tidak lulus," ucapku dalam hati dan kutulis dalam sebuah pesan WhatsApp, saat mengetahui aku tidak lulus ujian teori, latihan menulis feature news yang digawangi Tinta Media September 2024.
**
Menjadi PJ (Penanggung Jawab) kelas kepenulisan FN (Feature News) atau karangan khas yang digawangi oleh Tinta Media, bagiku menjadi pengalaman pertama. Kelas ini terbatas hanya untuk kru Tinta Media dan Tanah Ribath Media. Latihan ini dimentori langsung oleh jurnalis senior Joko Prasetyo atau akrab dipanggil Om Joy.
Amanah menjadi PJ yang ditawarkan Ustaz Ahmad Mu’it Pimred Tinta Media ini aku terima semata-mata untuk belajar banyak hal, antara lain: bisa merengkuh kesempatan untuk belajar menulis FN, belajar membuat jadwal kegiatan, belajar mengkoordinir peserta, belajar memberikan AKS (apresiasi, kritik, saran) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Awalnya jumlah peserta ada 20 orang, karena memang dibatasi paling banyak 20 orang. Hal itu dimaksudkan oleh Om Joy supaya maksimal dalam membimbing peserta. Harapannya setelah mereka lulus bisa mengajarkan kembali kepada masyarakat luas dan sebagai uslub dalam menyampaikan dakwah Islam lewat tulisan.
Adapun program kelas tersebut berjalan selama dua bulan membahas tuntas satu buku karya Om Joy “Teknik Menulis Karangan Khas (Feature News/Cerpen Kisah Nyata)”. Peserta yang sudah memiliki buku diminta membaca buku tersebut. Bagi yang belum memiliki buku, diberikan makalah dari Om Joy untuk dibaca tuntas sebelum pertemuan via zoom meeting.
Bagi peserta yang tidak membaca makalah maupun tidak hadir saat pertemuan via zoom, dianggap tidak serius dalam mengikuti kelas ini sehingga dipersilakan agar keluar dari group atau dikeluarkan oleh admin.
Seiring berjalannya waktu, satu persatu peserta gugur. Tinggal 10 peserta yang bertahan sampai ujian dilaksanakan. Ujian terdiri dari teori dan praktik. Soal ujian diberikan secara bersamaan. Namun deadline pengumpulannya berbeda.
Sifat ujian boleh membuka buku atau makalah. Secara logika jelas lebih leluasa dan pasti mendapatkan nilai yang bagus. Tapi tidak seperti yang aku bayangkan. Ternyata dari hasil ujian teori yang diberikan, nilaiku hancur alias tidak lulus.
Seperti makanan gado-gado perasaanku saat itu. Lelah, karena sejak pagi mengikuti kajian Mutu (Mutiara Ummat) mengkaji Kitab Adab Tazkiratus Sami' dan Bahasa Arab Al-Kafi, Sarah Nazom As-Syanqiti dari jam 08.30-09.45. Kemudian dilanjutkan kajian Tahsin metode UMMI dari jam 10.00-11.30 dengan membawa dua jagoan yang cukup aktif, jelas menguras energi dan emosi.
Sesampainya di rumah, anak-anak sudah teriak minta makan. Rencana hendak masak nasi goreng saja, yang praktis. Namun, karena bersamaan dengan waktu jemput sekolah, akhirnya masak nasi goreng tertunda. Benar-benar ambyar konsentrasiku saat itu. Sehingga, ketika menghadapi kenyataan bahwa aku tidak lulus ujian teori FN, aku tak kuasa membendung air mata yang tertumpah membanjiri kedua pipiku.
Aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku harus bersedih dan menangis. Tak dipungkiri ada sedikit perasaan malu. “Masak PJ tidak lulus!” gumamku dalam hati.
Namun kesedihan itu terasa agak ringan saat membaca motivasi dari teman-teman di grup WhatsAp.
"Enggak apa-apa, enggak dosa juga. Malah dapat pahala menuntut ilmu," tulis guru kami Om Joy dalam pesannya di grup
"Iya ya. Benar juga. Mengapa aku harus malu. Tidak ada dosa yang aku perbuat. Bahkan menuntut ilmu adalah sesuatu yang Allah Swt. ridai," bisikku dalam hati.
Tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Aku belum bisa mengendalikan perasaan. Aku masih dengan perasaanku yang tidak karuan. Merasa bodoh. Merasa lemah dan tidak berarti.
"Hanya sukses yg tertunda Mbak Nur. Makin banyak belajar makin faham, Insya Allah," pesan dari Bu Irianti, wanita berusia senja yang juga peserta latihan.
"Dapat pahalanya 0, Insyaa Allah," ucap peserta lain, namanya Erlina. Namun teman-teman biasa memanggil Ummu Enzy. Wanita yang aktif dalam dakwah ini juga menjadi editor di Tanah Ribath Media.
"Semangat Mbak Nur, saya yakin bukan karena njenengan tidak bisa, tetapi karena kesibukan njenengan yang luar biasa sehingga belum sempat mengerjakan secara optimal," motivasi dari teman yang lain. Aku memanggilnya dengan sebutan Cikgu Ida, karena dia guruku di KAM (Komunitas Aktif Menulis) sekaligus foundernya.
"Semangat ustazah, masih ada satu perjuangan lagi. Ujian praktik," kata salah satu peserta laki-laki di kelas itu. Dia asli suku Minang. Namun teman-teman reporter memanggilnya Mas Nur.
"Astaghfirullahhal azim. Pantaskah aku bersedih? Bukankah aku kerap memberikan motivasi kepada teman-teman dan anggota kajian, serta para pelajar yang aku bina. Bahwa ketetapan Allah Swt. adalah yang terbaik. Meskipun terkadang tidak mengenakkan dan bahkan menyesakkan dada. Tapi semua bentuk dari kasih sayang Allah. Bisa jadi kalau aku lulus, aku belum bisa menjaga hati. Bisa jadi aku akan angkuh, ujub dan takabur," kataku dalam hati, menyemangati diri dan terus mengingat nasihat-nasihat dalam kitab-kitab adab yang aku kaji.
Meskipun demikian, aku tetap menyadari akan kealpaan diriku. Aku memang orang yang sebenarnya lemah. Tetapi aku punya semangat yang cukup tinggi dalam menggapai setiap mimpi.
"Kalau teman-teman yang lain bisa memahami ilmu dengan sekali belajar atau sekali baca, mungkin aku harus lima atau sepuluh kali. Tidak masalah. Allah Swt. tidak melihat hasil. Menuntut ilmunya saja Allah Swt. insya Allah rida. Belum lagi usaha yang sungguh-sungguh, semangat disertai kesabaran. Insya Allah banyak keberkahan," hatiku terus berbicara di tengah kerempongan mengurus bocah-bocah.
Tak lama dari itu, ada suara notifikasi pesan masuk. Segera aku raih benda persegi panjang warna hitam di atas lemari yang sempat parkir beberapa saat. Karena si bungsu paling tidak bisa kalau melihat handphone pasti langsung disabotase. Untuk menghindarkan mereka dari gadget aku harus pandai-pandai meletakkan benda itu.
"Bun, sore ini kajian?" Pertanyaan melalui pesan WhatsApp dari Bu Dahlia, PJ Pengajian Umum di Perumahan Buana Indah 2, Batu Aji, Batam.
Sempat berpikir hendak diliburkan saja, namun seketika aku tersadar. Kalau libur, perasaanku makin tidak karuan. Akhirnya kuputuskan kajian tetap jalan. Meskipun dengan suasana hati yang sedikit galau.
Sembari menyiapkan anak-anak mandi dan segala macamnya, aku masih terus menyemangati diri. Mengingat nasihat-nasihat para ulama. Termasuk mengingat kisah Ibnu Hajar Al-Asqolani, pengarang Kitab Fathul Bari'. Sampai dijuluki Ibnu Hajar (anak batu) karena saking bebalnya. Tapi akhirnya menjadi ulama besar.
Sambil terus beraktivitas, tak terasa kesedihanku perlahan berkurang dan hampir hilang. Masih ada sedikit tersisa, tetapi tidak begitu mengganggu. Alhamdulillahiladzi bini'matihi tatimmusshalihat.
Selesai
Via
Feature News
Posting Komentar