Opini
Penerimaan Pajak Digenjot, Siap-Siap Ekonomi Rakyat Semakin Merosot!
Oleh: Ummu Ahnaf
(Pemerhati Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Dari pajak kita berpijak. Orang bijak taat pajak. Ayo peduli pajak. Ayo bantu pemerintah dengan sadar pajak. Bayarlah pajak tepat waktu. Begitulah seruan-seruan untuk membayar pajak dan masih banyak lagi yang terpampang di baliho-baliho atau reklame.
Tujuan dari seruan-seruan ini tak lain adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak yang pada tahun 2025 mendatang ditargetkan sebesar Rp. 2.189,3 triliun. Angka ini lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Di mana penerimaan pajak tahun 2023 sebesar 1.869,2 triliun dan 1.988,9 triliun di tahun 2024.
Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) juga diperkiraakan naik pada tahun 2025 yaitu masing-masing sebesar Rp 945,1 triliun dan Rp 1209,3 triliun (www.cnbcindonesia.com, 16-08-2024)
Presiden menyampaikan jika target penerimaan pajak tersebut terpenuhi maka pemerintah dapat menjalankan berbagai program tahun depan dengan leluasa. Program jangka pendek yang terdiri dari program makan bergizi gratis (MBG), pemberdayaan UMKM dan mendukung ekonomi masyarakat kecil di daerah.
Sementara program jangka menengah yaitu salah satunya melanjutkan pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, seolah-olah sudah tepat slogan "Dari pajak kita berpijak". Sebab, pajak merupakan sumber utama pendapatan negara yang memiliki peranan penting. Bahkan, sumber pendapatan dari pajak angkanya jauh lebih besar dari sumber pendapatan non pajak yang hanya sebesar Rp 505,4 triliun.
Beban Rakyat Kian Berat
Dengan dinaikkannya target penerimaan pajak di RAPBN tahun 2025, sudah dapat diprediksi akan adanya kenaikan pajak di semua lini, baik pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, PPH maupun PPN yang pasti berimbas pada naiknya harga barang-barang. Bahkan, ketika makan di rumah makan pun bisa jadi jauh lebih mahal tersebab naiknya PPN ini.
Kebijakan menggenjot pajak di tengah sulitnya mencari pekerjaan dan sedang terjadi badai PHK di mana-mana, diikuti naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, BBM, listrik, serta biaya pendidikan dan kesehatan merupakan kebijakan yang sulit dinalar.
Kondisi perekonomian saat ini sudah cukup mengancam rakyat ekonomi menengah jatuh menjadi miskin. Sungguh, beban rakyat akan semakin berat dan siap-siap saja, bahwa perekonomian rakyat akan kian merosot akibat pajak yang digenjot.
Salah Kaprah Kebijakan Fiskal ala Kapitalisme
Ketika rakyat dipaksa membayar pajak, disaat yang lain pemerintah justru membuat kebijakan kelonggaran pajak bagi golongan tertentu. Kebijakan tersebut antara lain tax holiday atau pengurangan Pph badan bagi 18 perusahaan pionir yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 130/2020, pembebasan PPN dan PPnBM untuk Badan Internasional dan perwakilan negara asing, pembebasan PPN bagi suku cadang dan avtur pesawat.
Tidak hanya itu, menteri koordinator bidang kemaritiman dan inventasi, Luhut Binsar Panjaitan berwacana membentuk family office bebas pajak di Indonesia untuk menarik para investor. Inilah potret buram penerapan sistem kapitalis yang hanya berpihak kepada para pemilik modal dan pengusaha.
Dalam sistem ini pajak merupakan sumber pemasukan bagi negara, maka tidaklah heran jika semua lini dikenai pajak. Bahkan, kebutuhan pokok yang seharusnya dijamin oleh negara justru dikenai pajak. Rakyat yang seharusnya mendapatkan jaminan kesejahteraan justru merasa "dipalak" pajak. Sementara para pengusaha yang kekayaannya melimpah malah mendapatkan berbagai fasilitas bebas pajak. Semua ini atas nama meningkatkan investasi dan perekonomian.
Kebijakan Fiskal Daulah Islam
Islam adalah agama sekaligus seperangkat aturan yang datang dari Allah Swt. Sang Pencipta sekaligus pengatur alam semesta. Untuk itu, aturan Islam dalam hal ini ekonomi Islam akan mampu membawa kebaikan bagi seluruh manusia.
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Akan tetapi Islam menetapkan kepemilikan umum, yaitu berbagai sumber daya alam (SDA) yang ada sebagai sumber pemasukan. Dengan demikian, Islam mengharamkan pengelolaan SDA oleh swasta, kelompok, atau individu tertentu. SDA wajib dikelola oleh negara dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat seluruhnya.
Selain dari kepemilikan umum, pemasukan negara didapat dari ghanimah, jizyah, kharaj, dan lain-lain. Inilah pos-pos pendapatan dalam Islam yang akan digunakan oleh baitul mal untuk biaya operasional negara seperti membayar gaji pegawai, membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sarana prasarana pendidikan, akses jalan, dan lain-lain serta menjamin pemenuhan kebutuhan primer, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap individu rakyatnya tanpa ada pungutan pajak.
Memang benar, di dalam Islam juga terdapat pajak atau dharibah. Namun, konsep pajak dalam Islam jauh berbeda dengan konsep pajak dalam Kapitalisme. Pajak dalam Islam hanya akan diberlakukan ketika negara mengalami krisis dan baitul mal dalam kondisi kosong. Sementara kewajiban negara untuk meri'ayah kebutuhan umat harus tetap dilaksanakan.
Dalam kondisi demikian negara boleh mengambil pajak dari kalangan pengusaha dan konglomerat yang berlebihan harta. Itupun hanya kepada muslim yang laki-laki saja, sehingga pajak dalam Islam hanya bersifat insidental saja. Ketika baitul mal sudah memiliki pemasukan, secara otomatis pajak tidak lagi diberlakukan.
Langkah tersebut bukan merupakan satu-satunya alternatif, karena selain pajak masih ada alternatif lain yang bisa ditempuh negara, yaitu meminjam atau berhutang kepada para aghniya (golongan kaya).
Semua itu hanya akan terlaksana ketika Islam diterapkan dalam naungan Daulah Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang tegak di atas keimanan kepada Allah Swt.. Penerapan Islam tidak tegak di atas asas manfaat materi duniawi sebagaimana kapitalisme. Di dalam Islam, seorang khalifah adalah penggembala atas semua urusan rakyat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Rosulullah saw bersabda,
"Imam itu laksana penggembala yang dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang digembalakannya" (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad ).
Wallahu'alam Bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar