Opini
Realitas Parpol Islam dalam Pesta Demokrasi
Oleh: Rahmi
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Gemuruh pemilu dari pesta demokrasi usai sudah, berlanjut dengan pilkada serentak yang penuh dengan drama. Mulai dari usaha perubahan undang-undang pilkada hingga penjegalan salah satu paslon yang diduga oleh penguasa. Berbagai strategi dan taktik dilakukan demi membuka jalan untuk berkuasa.
Dalam pesta demokrasi, partai politik merupakan salah satu elemen penting penunjang suksesnya pesta. Keberadaan partai politik (parpol) Islam sering kali menjadi sorotan. Sebab, Indonesia merupakan negeri mayoratis penduduknya Muslim. Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai keterlibatan Islam dalam politik. Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi nyata partai-partai politik Islam di Indonesia saat ini? Apa saja tantangan yang mereka hadapi, serta bagaimana mereka menyesuaikan diri di tengah dinamika politik yang semakin kompleks?
Partai politik Islam bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sejak era kemerdekaan, partai-partai berbasis Islam sudah memainkan peran penting dalam memperjuangkan aspirasi umat Muslim. Pada era Orde Lama, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) muncul sebagai partai politik Islam terbesar dan memiliki pengaruh yang luas. Setelah Masyumi dibubarkan pada 1960 oleh Soekarno, peran politik Islam sempat meredup, tetapi tetap hadir dalam bentuk partai-partai kecil yang muncul kemudian.
Sejak Reformasi, dilihat dari sisi pergerakan, partai-partai Islam telah mengalami berbagai perkembangan. Dalam pemilu-pemilu pasca-Reformasi, khususnya pada periode awal, beberapa partai Islam berhasil meraih dukungan yang cukup signifikan. Namun, seiring waktu, tren elektoral menunjukkan penurunan dukungan bagi partai-partai Islam secara keseluruhan.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, pada Pemilu 2004 mendapatkan momentum besar dan dianggap sebagai representasi baru politik Islam yang lebih modern, bersih, dan berorientasi pada kepentingan umat. Namun, PKS juga mengalami penurunan dukungan di beberapa pemilu berikutnya, sebagian besar disebabkan oleh kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa tokoh partai. Hal ini menjadi salah satu titik penting dalam perubahan persepsi masyarakat terhadap parpol Islam.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu partai tertua dengan akar kuat dalam basis umat Islam, juga menghadapi tantangan besar. PPP yang pada masa lalu selalu menjadi representasi kelompok Islam tradisional, terutama dari kalangan Nahdliyin, kini menghadapi friksi internal serta kompetisi dengan partai-partai Islam lain yang lebih modern atau lebih progresif. Dalam beberapa dekade terakhir, PPP juga cenderung kehilangan daya tariknya, terutama di kalangan pemilih muda yang lebih tertarik pada isu-isu kebangsaan atau platform yang lebih inklusif.
Partai-partai lain seperti PBB dan PKB juga menghadapi tantangan serupa. PBB, misalnya, meskipun tetap berkomitmen pada platform politik Islam yang lebih konservatif, belum mampu meraih dukungan yang signifikan dalam pemilu-pemilu terakhir. Sementara PKB, meskipun berakar kuat pada basis Nahdlatul Ulama, cenderung lebih dilihat sebagai partai nasionalis daripada partai Islam murni.
Realitas partai politik Islam di Indonesia saat ini diwarnai oleh berbagai tantangan yang cukup kompleks, baik dari faktor internal partai maupun dari kondisi eksternal politik dan sosial. Pertama, krisis identitas dan ideologi. Dalam era globalisasi dan modernisasi, banyak pemilih, terutama kalangan muda, cenderung lebih peduli terhadap isu-isu ekonomi, lapangan kerja, dan pendidikan daripada ideologi agama. Partai-partai Islam sering kali kesulitan menyeimbangkan antara mempertahankan nilai-nilai Islam tradisional dengan memenuhi harapan pemilih yang menginginkan kebijakan yang lebih pragmatis.
Selain itu, banyak partai Islam menghadapi dilema dalam menentukan sikap terhadap isu-isu kontemporer seperti pluralisme, kebebasan beragama, dan HAM. Di satu sisi, mereka harus tetap menjaga basis pendukung konservatif yang ingin mempertahankan nilai-nilai syariah dalam kebijakan publik. Di sisi lain, mereka perlu memperluas dukungan dengan merangkul kelompok-kelompok yang lebih inklusif.
Kedua, korupsi dan kredibilitas. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh dari partai Islam juga merusak kredibilitas mereka di mata publik. Seperti yang dialami PKS, yang pada awalnya diidentifikasi sebagai partai bersih dan antikorupsi, kini harus menghadapi kenyataan bahwa beberapa kadernya terjerat kasus korupsi. Hal ini menyebabkan krisis kepercayaan dan membuat masyarakat semakin skeptis terhadap partai-partai yang membawa label ‘Islam’.
Ketiga, keterbelahan internal. Partai-partai Islam sering kali juga dilanda konflik internal, baik dalam hal kepemimpinan maupun ideologi. Friksi ini menyebabkan partai-partai tersebut kehilangan fokus dan daya tarik di mata publik. PPP, misalnya, sering terpecah dalam faksi-faksi yang saling bersaing, yang pada akhirnya melemahkan posisi partai di kancah politik nasional.
Keempat, persaingan dengan partai nasionalis. Partai Islam juga harus bersaing dengan partai-partai nasionalis yang lebih mampu memosisikan diri sebagai representasi seluruh rakyat, bukan hanya kelompok agama tertentu. Partai seperti PDI-P atau Golkar cenderung lebih diminati karena dianggap mewakili kepentingan lebih luas, termasuk isu-isu ekonomi dan kesejahteraan yang lebih relevan bagi banyak pemilih.
Kelima, perubahan preferensi pemilih. Generasi muda yang lebih melek media sosial dan lebih kritis terhadap ideologi politik, cenderung tidak lagi mengidentifikasi diri mereka hanya dengan agama dalam memilih partai politik. Mereka cenderung lebih memilih partai yang dapat memberikan solusi konkret bagi permasalahan keseharian seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan ketimpangan ekonomi. Partai Islam yang masih terlalu fokus pada agenda-agenda berbasis agama sering dianggap kurang relevan.
Realitas partai politik Islam di Indonesia saat ini adalah kombinasi dari harapan dan tantangan. Partai-partai Islam, meskipun pernah menjadi kekuatan besar di era Reformasi, kini harus berjuang keras untuk tetap relevan di tengah perubahan dinamika politik dan sosial yang cepat. Krisis identitas, kasus korupsi, konflik internal, dan persaingan dengan partai-partai nasionalis menjadi hambatan besar bagi mereka untuk mendapatkan dukungan luas.
Di sisi lain, ada upaya dari beberapa partai untuk beradaptasi dengan zaman, dengan memperluas agenda mereka dari sekadar isu-isu agama menjadi isu-isu kesejahteraan sosial, ekonomi, dan pemberantasan korupsi. Meski pada kenyataannya partai-partai Islam ini masih kesulitan menemukan cara untuk menyatukan basis tradisional mereka dengan aspirasi generasi muda yang lebih pragmatis dan inklusif.
Dampak Demokrasi, Membenturkan Idealisme Parpol Islam dengan Realitas
Bagi partai politik Islam, demokrasi menawarkan peluang besar untuk memengaruhi kebijakan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sistem demokrasi memungkinkan adanya representasi yang adil bagi semua kelompok, termasuk umat Islam, melalui jalur politik formal. Namun, demokrasi juga menghadirkan tantangan signifikan. Salah satunya adalah pluralitas ideologi dan kepentingan dalam masyarakat yang memaksa partai-partai Islam berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak semua pemilih mendukung agenda-agenda berbasis agama. Di bawah tekanan kompetisi yang ketat, mereka harus mengakomodasi berbagai kepentingan untuk tetap relevan.
Idealisme politik Islam, yang sering kali berfokus pada penerapan nilai-nilai syariah dalam kebijakan publik, dihadapkan pada kebutuhan untuk berkoalisi dengan partai-partai lain yang mungkin memiliki ideologi berbeda. Demokrasi multi partai di Indonesia mengharuskan partai-partai untuk mencapai konsensus, yang berarti mengorbankan sebagian prinsip dasar demi mencapai tujuan politik yang lebih besar.
Contoh nyata dari benturan idealisme dan realitas ini terlihat dalam koalisi antara partai-partai Islam dan partai-partai nasionalis. Partai Islam yang memperjuangkan agenda syariah sering kali harus berkompromi dengan partai sekuler dalam pengambilan keputusan politik. Ini menciptakan dilema internal dalam partai, dan mereka harus menyeimbangkan antara mempertahankan identitas Islamis dengan kebutuhan untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan.
Selain itu, dalam demokrasi modern, partai politik Islam juga harus bersaing dengan tren populisme dan pragmatisme yang sering kali mengedepankan isu-isu ekonomi, sosial, dan kesejahteraan daripada agenda-agenda ideologis. Pemilih muda dan urban yang lebih pragmatis cenderung lebih fokus pada kebijakan konkret yang memberikan hasil langsung, seperti penciptaan lapangan kerja atau stabilitas ekonomi, daripada penerapan hukum-hukum berbasis agama. Dalam konteks ini, banyak partai politik Islam di Indonesia akhirnya terjebak dalam politik elektoral yang pragmatis. Mereka menggeser platform mereka dari idealisme ke isu-isu populis untuk menarik pemilih yang lebih luas, sering kali mengorbankan elemen-elemen ideologis yang sebelumnya menjadi landasan perjuangan mereka.
Dalam sistem demokrasi, akan kita dapati bahwasanya partai politik Islam menghadapi benturan antara idealisme mereka dengan realitas politik yang menuntut kompromi. Meskipun demokrasi memberikan kesempatan bagi mereka untuk terlibat dalam politik formal, dinamika demokrasi yang penuh kompetisi dan pluralitas memaksa partai-partai ini untuk menyesuaikan agenda mereka dengan kondisi yang ada, kadang mengorbankan prinsip-prinsip dasar demi pragmatisme politik dan relevansi elektoral.
Via
Opini
Posting Komentar