Opini
Sains
Oleh: Yeni Indri
(Humas Pondok Pesantren Ulul Ilmi Cendekia)
TanahRibathMedia.Com—Ketika mendengar atau membaca kata sains, apa yang kita pikirkan?
Secara umum orang akan berpikir tentang ilmu pengetahuan. Namun apa sesungguhnya sains itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sains diterjemahkan sebagai "ilmu", yang berarti:
Pertama; Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu (misalnya ilmu alam, ilmu kimia).
Kedua; Pengetahuan atau pengertian yang teratur tentang sesuatu, diperoleh dari studi, latihan, dan pengalaman.
Dalam konteks ini, sains merujuk pada sistem pengetahuan yang menggunakan metode ilmiah untuk mempelajari dan memahami fenomena alam, sosial, dan lainnya secara sistematis. Secara bebas sains itu terkait dengan metode sistematis yang digunakan untuk memahami alam dan lingkungan sekitar kita. Sistematis yang dimaksud berkaitan dengan pengamatan, pengumpulan data, eksperimen, analisis untuk memperoleh pengetahuan yang dapat diuji, diprediksi dan diterapkan. Tujuan berkelanjutannya adalah untuk memahami sunatullah, cara kerja sesuatu, agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui penerapan pengetahuan tersebut.
Berkaitan dengan sains, 14 Abad yang lalu, Al Qur’an telah banyak menyampaikan tentang sains.
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.” (TQS. Al-Anbiya, 21:30).
Ayat ini sering dikaitkan dengan teori Big Bang, yaitu bahwa alam semesta awalnya bersatu sebelum akhirnya terpisah.
Al-Qur'an juga menggambarkan perkembangan embrio manusia. Dalam Surah Al-Mu’minun (23:12-14), Allah menjelaskan proses penciptaan manusia dari setetes air mani, kemudian menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan akhirnya menjadi bentuk yang sempurna.
Penjelasan ini dianggap sejalan dengan ilmu embriologi modern.
Dalam Surah Az-Zumar (39:5), disebutkan bahwa Allah menciptakan malam dan siang dalam sebuah rotasi, yang dianggap merujuk pada rotasi bumi. Selain itu, Surah An-Nazi’at (79:30) yang menyebutkan "Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya" Bentuk bumi yang bulat, namun datar di permukaan, sejalan dengan pandangan geosfer modern dan masih banyak lagi kandungan Al-Qur’an yang terkait fenomena alam yang kemudian terbukti secara ilmiah.
Al Qur’an yang berisi tentang sains juga secara legal formal memerintahkan manusia untuk mengamati dirinya, alam semesta dan kehidupan. Kemudian berpikir tentang ketiga hal tersebut untuk mencapai keimanan yang kokoh dan penghambaan kepada Rabb-Nya, Tuhan Semesta Alam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penghambaan yang totalitas.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (TQS Ali Imran, 3:190-191)
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (TQS. Ar Rum, 30:20-21)
Dengan motivasi ruhiyah dari Al-Qur’an, lahirlah para ilmuwan yang namanya digoreskan dengan tinta emas dalam sejarah peradaban dunia. Seperti, Al-Farabi (872-950 M), Ibnu Sina (Avicenna, 980-1037 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M), Al-Biruni (973-1048 M).
Seharusnya dengan motivasi yang sama, karena Al-Qur’an tetap ada dan dibaca oleh Muslim saat ini. Namun bagaimana dengan kita? generasi kita? Saat mengamati ketidakadilan, kedzaliman, menyimpangnya manusia dari fitrah penciptaan. Hamba yang terang-terangan ‘mengangkangi’ Pencipta-Nya dengan mengabaikan aturan-Nya. Bagaimana kita mengamati, berpikir dan menganalisis tentang semua itu? dan akhirnya bagaimana kita bersikap demi keberlanjutan kehidupan umat manusia terhadap realitas tersebut?
Walaupun kita tidak seperti Al-Farabi, tidak sepopuler Ibnu Sina, tapi kita adalah Muslim, yang harus memastikan bahwa akidah kita tidak akan tergoda oleh gemerlapnya dunia, bahwa apa yang kita miliki di dunia hanyalah sarana untuk beribadah kepada-Nya, bahwa kita tidak boleh diam di depan kedzaliman dan kemungkaran, dan bahwa kita tidak akan selamanya ada. Ada saatnya tiada dan yang tersisa hanyalah amal di sisi Allah. Wallahu ‘Alam Bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar