Opini
Tambang Ilegal: Negara Tidak Punya Kedaulatan Pengelolaan
Oleh: Ayu Winarni
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dilansir dari laman CNBC Indonesia (15-5-2024), Indonesia menempati posisi ke-6 sebagai negara dengan cadangan emas terbesar sebanyak 2.600 ton. Dari segi produksi, Indonesia menempati posisi ke-8 dengan produksi sebesar 110 MT pada tahun 2023.
Berdasarkan peta sebaran tambang emas Indonesia, wilayah Kalimantan Barat menjadi provinsi dengan urutan kedua izin usaha pertambangan (IUP) terbanyak yakni 21 IUP emas dan perak. Di antara IUP tersebut kemudian yang saat ini belum memiliki persetujuan RKAB untuk produksi tahun 2024-2026 adalah dua perusahaan emas PT BRT dan SPM yang kemudian dicuri dan ditambang secara ilegal oleh WNA asal China berinisial (YH) . Dikutip dari CNBC Indonesia pada (27-9-2024), imbas dari penambangan ilegal tersebut terungkap emas yang berhasil digasak 774,27 kg dan cadangan perak 937,7 kg. Akibatnya, kerugian Indonesia ditaksir senilai Rp. 1,02 triliun.
Karut-marut Sistem Pengelolaan Tambang
Kerugian dari aktivitas penambang ilegal saja nilainya fantastis, apalagi jika ditambang secara legal. Pantaslah mengapa negara Indonesia banyak dilirik negara-negara maju dan menjadi tujuan investasi, ternyata cadangan emasnya melimpah. Tapi, kenapa pemerintahan bisa kecolongan penambang ilegal? Bukankah negara demokrasi dengan asas kapitalis selalu menjunjung nilai keuntungan! Apa yang memberi keuntungan pasti akan diutamakan.
Menjamurnya penambang ilegal ini tidak terlepas dari karut-marutnya sistem pengelolaan SDA oleh negara. Dimana pemerintahan yang memiliki hak kepemilikan 100% atas tambang tapi tidak hadir sebagai pengelola. Sebaliknya, pemerintahan justru memberikan izin konsensi tambang kepada individu (swasta) maupun asing. Pemerintahan boleh saja mengkontrak sebuah perusahaan swasta khususnya dalam negeri tetapi dengan hubungan majikan-karyawan bukan sebagai pemegang izin konsensi.
Pengawasan pemerintah tidak terbatas pada tambang-tambang besar, pemerintahan juga harus memetakkan sebaran tambang emas yang ukurannya kecil. Sering kali tambang-tambang kecil ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar lokasi meski dengan alat seadanya dan tak jarang memakan korban jiwa. Bahkan yang terbaru, penambangan ilegal tertimbun longsor akibat hujan lebat yang terjadi pada Kamis (26-9-2024) di Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Nyawa pun menjadi taruhan ketika masyarakat nekat meski tanpa alat yang lengkap. Namun mereka tak punya pilihan, didesak biaya hidup yang kian hari makin mahal. Ini seharusnya menjadi pecutan bagi pemerintah untuk mengintrospeksi diri atas kepemimpinannya kepada rakyat yang ternyata belum memberikan kesejahteraan meski kaya akan SDA.
Hukuman yang tegas juga perlu diterapkan kepada pelaku agar memberikan efek jera kepada siapa saja yang hendak melakukan hal serupa. Mirisnya, pelaku penambangan ilegal WNA yang berinisial (YH) asal China hanya diancam hukuman kurungan 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar. Padahal, hukuman yang ditetapkan tidak sebanding dengan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan. Bisa jadi, masa hukuman itu berkurang ketika institusi penegak hukum disogok dengan sejumlah uang dan ini sudah menjadi rahasia umum dikalangan para pemangku kekuasaan.
Hukum yang bisa diperjual belikan inilah yang membuat berbagai kasus di negara ini terus berulang. Bagaimana kasus korupsi di negeri ini misalnya yang menjerat hampir semua lembaga pemerintahan, tapi penanganannya masih bertele-tele hingga berlarut-larut. Pernyataan bahwa "Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas" itu benar adanya. Bagaimana rakyat biasa diadili seadil-adilnya manakala melakukan aksi kriminal sebatas demi memenuhi isi perut.
Lempar Tanggung Jawab
Sikap pemerintah yang begitu tanggap dalam menangani kasus penambang ilegal memang patut diapresiasi. Karena memang itu aktivitas yang tidak dibenarkan mencuri SDA yang dapat merugikan negara. Akan tetapi, penyebutan "ilegal" ibarat cuci tangan pemerintah atas persoalan pengurusan SDA yang tepat. Padahal pemerintah sendiri nyatanya telah gagal dalam mengelola SDA.
Faktanya, begitu banyak kekayaan sumber daya alam (SDA) milik negara berupa tambang yang diserahkan ke pihak swasta maupun asing untuk dikuasai. Terhadap hal tersebut, pemerintah merasa baik-baik saja. Tapi merasa sangat dirugikan dengan adanya aktivitas penambang ilegal. Sungguh aneh, bukan?
Padahal sebenarnya mereka adalah sama-sama pencuri. Bedanya, ada pencuri ilegal dan pencuri legal. Sebagaimana diketahui, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang paling lama bercokol di Tanah Air. Menguasai secara luas tambang tembaga dan emas di Bumi Papua selama puluhan tahun. Izin atau kontraknya terus diperpanjang setiap kali habis. Terakhir, harusnya habis pada tahun 2020. Namun demikian, wacana tentang perpanjangan izin PT Freeport hingga tahun 2040 terus bergulir. Padahal, banyak sumber yang menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan hasil temuan yang menunjukkan adanya potensi kerugian negara mencapai ratusan triliun yang dilakukan oleh PT Freeport.
Keniscayaan dalam Demokrasi
Demokrasi adalah sistem politik yang berbahaya, karena sistem ini bukan berasal dari Islam, melainkan dari peradaban Barat sekular. Salah satu prinsip penting dari demokrasi adalah "kedaulatan ditangan rakyat." Kedaulatan ini memberi hak kepada rakyat untuk membuat hukum dan perundangan. Meskipun pada faktanya juga, kedaulatan hanya diwakili elite politik tertentu. Ini jelas bertentang dengan ajaran Islam. Dalam Islam, kedaulatan ada ditangan syariah (Allah).
Dalam sistem demokrasi, standar benar dan salah atau baik dan buruk bukan menurut syariah Islam, tetapi menurut akal manusia. Karena itu sistem demokrasi membuka peluang yang sangat besar bagi perkara yang menurut Islam diharamkan menjadi dihalalkan. Contohnya pengelolaan tambang. Tambang dalam sistem demokrasi membolehkan pengelolaannya dikuasakan kepada individu (swasta) maupun asing. Padahal jelas, dalam Islam itu haram dilakukan.
Dalam sistem ekonomi Islam, hukum asal kepemilikan adalah milik Allah. Jadi, kepemilikan atas sesuatu itu berdasarkan izin dari Allah, termasuk kepemilikan negara atas tambang. Tambang terkategori milik umum karena depositnya yang tidak terbatas.
Hal ini didasarkan pada riwayat berikut:
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.
“Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan meminta beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hammal ra. telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata,
“Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)”. (HR. Abu Dawud).
Tambang ini tidak dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar, maka wajib dikelola oleh negara atau bisa juga menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.
Namun demikian, proses itu sulit untuk dilakukan bahkan hampir mustahil selama ideologi kapitalis berikut sistemnya masih diadopsi oleh pemerintah. Karena itu, ideologi dan sistem kapitalisme itu harus diganti dengan ideologi Islam yang diterapkan dalam institusi Khilafah. Khilafah mempunyai sistem yang sempurna untuk menjaga kekayaannya. Tak hanya bertumpu pada jaminan penguasanya, tetapi juga kepada yang lain. Jika kebijakan penguasa dalam pengelolaan dan mendistribusikan kekayaan milik umum dan negara tersebut menyimpang, maka wajib dikoreksi.
Jika kebijakan diatas tidak diindahkan oleh pemerintah, maka kasusnya bisa diajukan ke Mahkamah Madhalim untuk membatalkan kebijakan pemerintah yang menyimpang. Juga. Menutup rapat pintu investasi asing yang berdampak pada penguasaan kekayaan milik umum. Dengan begitu kekayaan umat ini akan terjaga.
Wallaahu a'lam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar