Opini
Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?
Oleh: Safiati Raharima, S.Pd
(Aktivis Muslimah Dompu)
TanahRibathMedia.Com—Sejumlah 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik pada Sidang Paripurna dengan masa bakti periode 2024-2029. Namun, melihat sejumlah anggota DPR terpilih masih memiliki hubungan keluarga atau kekerabatann dengan pejabat publik, elite politik hingga sesama anggota DPR yang terpilih lainnya.
Hasil temuan ini tercermin dari hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI). Tercatat sekitar sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR terpilih dengan masa jabatan 2024-2029 memiliki indikasi dinasti politik atau mempunyai kekerabatan dengan pejabat publik. Hubungan kekerabatan ini beragam, dari suami dan istri, anak, keponakan dan lain-lain. Seperti anggota DPR yang memiliki hubungan suami istri, misalnya Ahmad Muzani dari Gerindra (Lampung I) dan istrinya Himmatul Aliyah yang termasuk dari kader Gerindra untuk wilayah Dapil Jakarta I (Tirto.ID, 2-10-2024)
Seharusnya fenomena ini harus dikritisi. Pasalnya, terus meningkat indikasi politik dinasti di Senayan. Berdasarkan hasil riset Litbang Kompas, sekitar 220 anggota DPR RI periode 2024—2029 terindikasi memilikii ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional. Jika jumlah keseluruhan dari anggota MPR 2024—2029 terpilih (termasuk DPD), ada 285 atau 38,9% caleg dan senator terpilih yang terindikasi memiliki kekerabatan politik. Pada MPR periode 2014—2019 kekerabatan politik mencapai 31,4% dari total anggota. Selanjutnya naik 7% menjadi 38,4% pada periode 2019—2024. Terbaru, menjadi 38,9% atau bertambah 0,5% untuk periode 2024—2029.
Nestapa Akibat Politik Dinasti
Banyaknya indikasi dinasti politik atau kekerabatan dengan pejabat publik, tentu dipastikan akan mempengaruhi akuntabilitas kinerja parlemen. Kinerja anggota dewan yang seharusnya menyampaikan aspirasi publik akan sangat rawan tergadaikan konflik kepentingan. Relasi kekerabatan antara anggota DPR dengan elite politik. Apalagi wakil rakyat dalam sistem demokrasi juga berhak membuat aturan atau UU. Tatkala manusia diberi kedaulatan untuk membuat aturan, niscaya aturan itu akan disesuaikan dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Salah satu contohnya, revisi UU Pilkada beberapa waktu yang lalu ditambah realita hari ini. Bisa dikatakan tidak ada oposisi semua menjadi koalisi. Lalu, siapa yang akan berpihak kepada rakyat? Jika semua ada pada satu barisan yang faktanya juga membela kepentingan oligarki. Akhirnya, rakyat terabaikan dan tidak mampu melawan.
Nestapa akibat politik dinasti tidak berhenti sampai di situ saja. Wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, namun karena kekayaan atau jabatan dalam mekanisme politik transaksional. Pada akhirnya, Senayan hanya menjadi tempat arisan dan piknik keluarga, bukan tempat suara aspirasi rakyat yang didengar oleh wakil rakyat. Inilah berbagai kedzaliman yang terjadi akibat sistem batil bernama demokrasi yang dipilih sebagai sistem pemerintahan. Wakil rakyat dalam sistem demokrasi sungguh telah menipu umat Islam. Berulangnya kezaliman yang terungkap seharusnya membuat umat Islam sadar bahwa wakil rakyat yang berwatak raa'in (pengurus) tidak akan pernah lahir dari sistem buatan manusia. Padahal jika umat Islam kembali pada aturan Islam, sejatinya Islam memiliki aturan terkait wakil rakyat. Di mana aturan ini sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Maka solusi tidak cukup dengan mengganti pemimpin, wakil rakyat maupun pejabat yang memiliki kompetensi dan integritas. Namun, harus solusi yang menyeluruh yaitu dengan revolusi sistemis.
Solusi Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, wakil rakyat disebut Majelis Umat. Pada kitab Ajhizah Daulah Khilafah karya Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani dijelaskan bahwa Majelis umat merupakan majelis atau dewan yang terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai rujukan bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat dalam setiap urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengoreksi dan mengontrol) para pejabat pemerintahan (al-hukkâm). Keberadaan majilis ini diambil dari aktivitas Rasulullah Sallahu'alaihi wasallam yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Hal ini juga merupakan bagian dari perlakuan khusus Rasulullah saw. terhadap orang-orang tertentu di antara para sahabat beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering meminta rujukan kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat dibandingkan dengan merujuk kepada sahabat-sahabat lainnya. Diantara mereka yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Hamzah bin Abdul Muthallib, Ali bin Abi Thalib, Salman Al Farisi dan Abu Hudzaifah.
Syaikh Ahmad Athiyat dalam kitab Ath-Tahriq menjelaskan beberapa wewenang utama Majelis Umat ini. Pertama, memberikan pendapat (usulan) kepada khalifah dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi sebagaimana usulan dalam mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit. Dalam hal ini, pendapat majelis bersifat mengikat.
Kedua, memberikan koreksi kepada Khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap oleh mereka sebagai sebuah kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat jika pendapat mayoritasnya bersifat mayoritas pula. Bila terjadi perbedaan dengan Khalifah, maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Madzalim.
Ketiga, menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para mu'awin yang memberatkan rakyat. Misalnya, ketika menjadi imam bacaan suratnya terlalu panjang dan Khalifah harus memberhentikan mereka yang diadukan itu.
Keempat, memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat Khalifah.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa wakil rakyat yakni majlis umat hanya bertugas menyampaikan aspirasi, tapi tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan. Dalam sistem Islam, hanya Allah Azza wa Jalla saja satu-satunya dzat yang berhak membuat hukum. Manusia hanya menjalankan aturan tersebut. Jika manusia taat kepada syariat Allah dalam setiap dimensi kehidupan termasuk menaati syariat wakil rakyat. Maka politik dinasti akan berakhir dengan sendirinya, karena hal itu sudah menjadi kebutuhan bahkan menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam Kaffah dalam naungan Daulah Khilafah. Wallahua'lam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar