Opini
Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?
Oleh: Nursiah, S.Sos.
(Pemerhati Sosial)
TanahRibathMedia.Com—"Wakil rakyat kumpulan orang hebat. Bukan kumpulan teman-teman dekat. Apalagi sanak famili. Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu setuju." Begitulah penggalan lagu Iwan Fals yang selalu terngiang di telinga kita saat melihat kondisi wakil rakyat saat ini.
Dikutip dari tirto.id (2-9-2024) Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dilantik untuk masa bakti 2024–2029. Akan tetapi, ada beberapa anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat publik, elite politik, hingga bersama anggota DPR terpilih lainnya. Semua indikasi terlihat dalam hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Mereka mencatat, sedikitnya 79 dari 580 anggota terpilih periode 2024–2029 terindikasi dinasti politik atau punya kekerabatan dengan pejabat publik.
Hubungan kekerabatan DPR 2024–2029 beragam mulai dari pasangan suami istri, anak keponakan, dan lain-lain. Tercatat paling banyak untuk relasi vertikal ini yakni caleg terpilih merupakan anak pejabat.
Indikasi Politik Dinasti
Maraknya indikasi politik dinasti atau kekerabatan politik di Senayan bukan berarti bebas risiko. Hal pertama yang akan dipertaruhkan adalah akuntabilitas kinerja Parlemen. Kinerja anggota dewan yang seharusnya menyampaikan aspirasi publik akan sangat rawan tergadaikan konflik kepentingan relasi kekerabatan anggota DPR dengan pejabat publik atau elite parpol.
Apalagi wakil rakyat dalam sistem demokrasi juga berhak membuat aturan atau undang-undang karena manusia diberi kedaulatan untuk membuat aturan, niscaya perundang-undangan itu akan disesuaikan dengan pribadi atau kelompok tertentu. Contohnya revisi Undang-Undang Pilkada beberapa waktu yang lalu dan realitas hari ini.
Bisa dinyatakan tidak ada oposisi, semua menjadi koalisi, siapa yang berpihak kepada rakyat, semua ada pada satu barisan yang faktanya membela kepentingan oligarki, akhirnya rakyat terabaikan dan tidak mampu melawan.
Nestapa politik dinasti tidak berhenti sampai di situ. Wakil rakyat dipilih karena kekayaan dan jabatannya, bukan karena kapabilitas dan mumpuni mengurusi. Dalam mekanisme politik transaksional dan akhirnya Senayan menjadi tempat arisan dan piknik keluarga, bukan tempat suara aspirasi rakyat yang didengar oleh wakil rakyat.
Inilah kezaliman akibat sistem rusak bernama demokrasi yang dipilih sebagai sistem pemerintahan saat ini. Wakil rakyat dalam sistem politik demokrasi sungguh telah menipu umat. Berulangnya kezaliman pejabat yang terungkap, seharusnya membuat umat sadar, bahwa wakil rakyat haruslah berwatak raa'in (pengurus) dan itu tidak akan lahir dari sistem buatan manusia.
Sistem Islam Solusi Komprehensif
Jika umat Islam kembali pada syariat Islam kafah, sejatinya Islam memiliki aturan terkait wakil rakyat. Di mana aturan ini sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
Dalam sistem pemerintahan Islam yakni wakil rakyat disebut Majelis Ummah, dalam kitab "Ajhizah Daulah Khilafah" karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani, dijelaskan bahwa majelis umat terdiri dari SDM yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat khalifah untuk meminta masukan nasihat mereka dalam berbagai masalah.
1. Mereka menjadi wakil umat dalam muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) pejabat pemerintahan (al hukam). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw., yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dari beberapa orang dari Kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
2. Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah terhadap orang-orang tertentu/para sahabat untuk meminta masukan dari mereka. Rasulullah sering mengambil rujukan dari mereka yang diperlakukan khusus dalam mengambil pendapat–dibandingkan merujuk kepada sahabat-sahabat yang lainnya–di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-farisi, dan Abu Hudzaifah.
3. Bila terjadi perbedaan dengan khalifah maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Mahdzalim. Menampakkan ketidaksukaan kepada para wali atau mua'win yang memberatkan rakyat, misalnya ketika menjadi imam bacaan suratnya terlalu panjang dan khalifah harus memperhatikan bacaan yang panjang itu.
4. Memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dalam membatasi kandidat khalifah.
Dengan demikian dapat disimpulkan wakil rakyat dalam Islam yakni Majelis Ummah hanya bertugas menyampaikan aspirasi, tetapi tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan. Dalam sistem Islam hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang berhak membuat satu- satunya hukum, manusia hanya sekadar menjalankan aturan tersebut.
Jika manusia taat kepada syariat Allah dalam setiap aspek kehidupan termasuk wakil rakyat yang menaati dengan sungguh-sungguh semua aturan Allah, insyaAllah politik dinasti akan berakhir dengan sendirinya karena itu sudah menjadi kebutuhan bahkan kewajiban bagi umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam kafah dalam naungan sistem Islam kafah.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar