Opini
Wakil Rakyat Vs. Majelis Ummat
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik untuk masa bakti periode 2024-2029. Sayangnya, politik dinasti diduga masih kental melekat pada sejumlah anggota DPR terpilih. Baik karena hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, maupun sesama anggota DPR terpilih lainnya. Hal ini sebagaimana hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Parahnya, ada beberapa DPR terpilih bukan karena faktor kapasitas atau pilihan rakyat, tetapi menggantikan caleg terpilih lain yang mengundurkan diri. Dan lagi lagi merupakan kerabat dari Ketua Umum parpol (tirto.id, 2-10-2024).
Lima tahun sekali, rakyat membesarkan hati menaruh asa pada wakil rakyat. Berharap yang terpilih mampu berpihak dan mewakili kepentingan mereka, tidak tunduk dan tersandera oleh kepentingan parpol, elite politik dan kekuasaan eksekutif. Sayangnya, berulangkali dibuat kecewa tak jua membuat rakyat jera. Rasa percaya itu masih ada.
Demikianlah gambaran antara rakyat dan wakil rakyat. Tak bisa lepas meski hubungan yang terjalin bukan lagi simbiosis mutualisme, melainkan parasitisme. Rakyat menjadi badut demokrasi, sementara wakil rakyat duduk dengan gagahnya di singgasana tanpa peduli nasib mereka yang diwakili.
Tak perlu menunggu pelantikan, faktanya kerabat ketua umum parpol bisa menjadi anggota DPR karena menggantikan caleg lain yang mengundurkan diri. Hal tersebut cukup menjadi bukti bahwa suara rakyat tak berarti. Kalah telak oleh kehendak parpol. Lalu bagaimana jadinya ketika sudah dilantik? Setelah semua fasilitas bisa dinikmati, akankah mereka masih ingat pada rakyat yang memilihnya?
Inilah realitas jalannya demokrasi di negeri ini. Politik dinasti masih diminati dan lestari. Ditambah iming iming gaji dan tunjangan dengan nominal besar, menjadi daya tarik tersendiri hingga jabatan menjadi bahan rebutan. Perkara kompeten tidaknya, urusan belakangan. Belum lagi mekanisme politik transaksional yang menjadi perkara lumrah dalam sistem ini. Tak heran bila dalam perjalanannya menjabat, kebijakan yang ada tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan di lingkar penguasa. Meski berkelit, nyatanya deal-deal politik lebih kentara mendominasi.
Sejatinya, praktik politik yang tidak pernah sepi dari kritik adalah sinyal ketimpangan sistem. Buah dari konsepsi politik sebuah sistem yang menghasilkan kebijakan oportunis dan mencederai keadilan. Sebuah sistem yang menitahkan pemisahan agama dari kehidupan. Yang dengan pemisahan ini, jabatan bisa diraih dengan menghalalkan segala cara, hukum bisa diotak atik sesuai kehendak penguasa, dan maslahat bukan lagi tujuan berkuasa.
Kita tentu tidak ingin kebobrokan politik ini berlanjut. Karenanya, menghadirkan alternatif lain sebagai solusi adalah sebuah keharusan. Alternatif yang tidak cukup jika sekedar mengganti lakon lakon penguasa, tetapi harus sampai pada tahap reformasi sistem. Sebab politik dinasti dan transaksional sendiri adalah peliharaan abadi dari sistem demokrasi.
Dalam sistem Islam, aspirasi rakyat bukanlah angin lalu yang bisa diabaikan begitu saja. Karenanya Islam yang diaplikasikan sampai pada ranah bernegara menyediakan perangkat bernama majelis ummat. Ia berisi sekumpulan orang yang menjadi representasi rakyat sekaligus penyambung lidah rakyat. Meski sama sama di pilih oleh rakyat, majelis umat tidak bisa disamakan dengan wakil rakyat hari ini yang notabene gila materi. Keterlibatan majelis ummat dalam roda pemerintahan adalah manifestasi ketakwaan mereka dengan menjaga tegaknya Allah dalam seluruh aspek kehidupan termasuk bernegara.
Karena itu, majelis ummat ini memiliki peran strategis. Pertama, menjadi rujukan khalifah/kepala negara dalam meminta nasihat terkait pengaturan urusan umat terkait hal hal praktis. Kedua, mewakili umat dalam muhasabah lil hukam/ mengoreksi pelaksanaan tugas dan kebijakan penguasa dengan standart Al-Quran dan Sunnah.
Dan menjadi catatan penting, bahwasanya majelis ummat ini tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan/hukum sebagaimana fungsi DPR saat ini. Karena satu satunya yang berhak adalah Allah Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur saja.
Via
Opini
Posting Komentar