Opini
Derita Rohingya di Tepi Selat Malaka
Oleh: Eci Aulia
(Aktivis Muslimah Bintan)
TanahRibathMedia.Com—Sekelumit kisah pilu Muslim Rohingnya di Selat Malaka nyaris tenggelam oleh pemberitaan dunia. Akibat genosida yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar, kini nasib Muslim Rohingnya terombang-ambing tak tentu arah.
Sebanyak 146 pengungsi Rohingya terdampar di Pantai Dewi Indah, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (24-10-2024). Sebelum tiba di tepi pantai, mereka berlayar selama 17 hari dari kampung pengungsian di Bangladesh dengan menggunakan kapal kayu dan bekal seadanya.
Mereka berharap Indonesia bersedia menampung mereka untuk sementara sebelum diserahkan ke negara ketiga. Menurut pengakuan salah satu pengungsi Rohingya saat diwawancarai di Aula Camat Pantai Labu, mereka memilih Indonesia karena banyaknya saudara sesama Muslim. Meski kehadiran mereka sempat ditolak oleh warga setempat, akhirnya mereka diizinkan untuk mendarat sementara di Aula Camat untuk pendataan (Kompas.com, 24-10-2024).
Berdasarkan Artikel 14 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal 1948, Konveksi Pengungsi 1951 merupakan perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi, hak-hak pengungsi, dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka (tempat perlindungan).
Indonesia sendiri termasuk negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Sebab, belum memenuhi parameter yang ditetapkan, seperti keamanan, yuridis, teknis, dan aman secara politis. Kendatipun demikian, sudah menjadi kewajiban sesama Muslim untuk memberi pertolongan.
Sebab sejatinya, persoalan Muslim Rohingya adalah persoalan dunia Islam. Sama halnya dengan Palestina. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Namun, ketidakberdayaan Muslim Rohingnya belum cukup menggerakkan hati kaum Muslim. Padahal, Muslim Rohingnya menaruh harapan besar pada Muslim Indonesia. Tak terbayang jika mereka harus dikembalikan ke negara asal atau dibiarkan hidup terlunta-lunta di tengah laut.
Penolakan dari masyarakat membuktikan bahwa Muslim Indonesia merasa tidak punya kewajiban menolong Muslim Rohingya. Berbagai penolakan tersebut diduga terjadi karena beberapa hal, seperti opini negatif yang dialamatkan kepada Muslim Rohingnya. Contohnya, mereka yang suka membuat kegaduhan ketika berada di tempat penampungan. Mereka yang memiliki kebiasaan makan lebih banyak daripada orang Indonesia.
Selain itu, sebagian masyarakat menyamakan Muslim Rohingnya dengan Yahudi yang berimigrasi ke tanah Palestina dan perlahan mencaplok tanah mereka. Sungguh, ini tuduhan yang terlalu prematur.
Jika berbagai efek negatif di atas memang benar adanya, tidak lantas menggugurkan kewajiban seorang Muslim untuk memberikan pertolongan kepada Muslim lain yang teraniaya. Jika memang terdapat efek negatif dalam rangka melaksanakan kewajiban, maka yang dihilangkan bukan kewajibannya, tetapi menghilangkan efek negatifnya. Bisa dengan cara merangkul mereka melalui edukasi.
Sementara kewajiban tetaplah kewajiban. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzalimi, meremehkannya, dan jangan pula menyakitinya."
Lagi-lagi paham nasionalisme yang diemban oleh sistem kapitalis sekuler menjadi tembok penghalang antara Muslim yang satu dengan yang lainnya. Muslim yang awalnya berada dalam satu wilayah kekuasaan berhasil sekat oleh kaum kafir menjadi negara kecil-kecil dalam batas teritorial.
Pada hakikatnya, nasionalisme adalah paham kebangsaan. Paham yang hanya memikirkan urusan negara masing-masing. Menganggap problem negara Muslim lain bukan urusan mereka. Pertolongan sementara yang diberikan tak lebih dari sebatas rasa kemanusiaan.
Pasalnya, untuk meruntuhkan kekhilafahan Turki Utsmaniyah, kaum kafir Eropa menyetir bangsa Arab yang tergabung dalam gerakan Pan Arabisme agar segera memisahkan diri dari Turki Utsmaniyah. Dari sinilah paham nasionalisme mulai dihembuskan oleh kaum kafir Eropa ke dalam tubuh umat Islam dan tetap hidup hingga hari ini. Nasionalisme bukan berasal dari Islam karena ikatannya bersifat temporal. Tidak dapat menyatukan perasaan, pemikiran, dan peraturan Islam.
Antara Muslim yang satu dengan yang lainnya diikat oleh tali akidah yang sifatnya permanen. Akidah yang melahirkan peraturan hidup. Ikatan inilah yang semestinya menyatukan perasaan, pemikiran, dan peraturan kaum Muslimin seluruh dunia meskipun terbentang jarak.
Peraturan tersebut akan berpadu di bawah institusi yang menerapkannya. Institusi yang terwujud dalam bingkai Daulah Islam. Pemimpinnya yang disebut Khalifah akan melindungi kaum Muslim di seluruh dunia. Tak terkecuali non-muslim yang berada dalam wilayah kekuasaan Daulah Islam.
Daulah Islam akan menerima kaum Muslim yang terancam hidupnya dengan tangan terbuka. Kemudian memberikan perlindungan penuh dan status kewarganegaraan Daulah Islam pada mereka. Kebutuhan hidup mereka akan dijamin. Mereka akan diperlakukan sama sebagaimana kaum Muslim lainnya. Demikianlah Islam mengatur tentang bagaimana memperlakukan saudara sesama Muslim di seluruh dunia.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar