Opini
Fenomena Guru Terjerat Pinjaman Online, Apa yang Salah?
Oleh: Fitri Selvia
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena banyaknya guru di Palembang yang terjerat Pinjol menjadi permasalahan baru di tengah hiruk pikuk ketidakjelasan nasib guru saat ini. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 42% masyarakat Indonesia yang terjerat pinjol adalah guru.
Kepala OJK Provinsi Sumsel dan Bangka Belitung dalam podcast beberapa waktu lalau menjelaskan bahwa cukup memprihatinkan melihat banyaknya masyarakat yang terjerat Pinjol, dimana salah satunya dari mereka dari kalangan guru, baik itu ASN, Honorer, hingga para pekerja swasta (TribunSumsel, 24-10-2024).
Seperti diketahui guru sebagai seorang pendidik memiliki peranan penting dalam mencetak generasi yang cemerlang untuk melanjutkan peradaban yang lebih mulia. Namun, pada faktanya guru justru mengalami tekanan finansial, sehingga memutuskan untuk mengambli pinjaman online yang sangat jelas membawa resiko seperti bunga yang tinggi, denda, dan cara penangihan yang tidak etis hingga sampai melibatkan orang lain.
Bahkan pada kasus-kasus lainnya terdapat individu yang sampai memilih untuk mengakhiri hidupnya karena tidak mampu untuk melunaskan pinjaman tersebut. bukan hal yang mustahil kejadian tersebut dapat menimpa guru pada saat ini. Mengapa fenomena ini terus terjadi? Dan bagaimana perspektif Islam dalam menyikapi hal ini?
Fakta di atas menggambarkan bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih rendah terutama bagi guru yang berstatus honorer atau non-ASN.
Apabila guru telah mendapatkan kesejahteraan tentulah fenomena banyaknya guru yang terjerat Pinjol tidak akan terjadi. Hal ini diperparah lagi dengan sulit dan mahalnya pemenuhan kebutuhan hidup di sistem hari ini yang tidak sesuai dengan pendapatan seorang guru.
Guru tidak hanya perlu memikirkan bagaimana caranya mendidikan generasi muda hari ini, namun terpaksa disibukkan dengan tekanan finansial yang mereka alami. Sehingga tak jarang guru tidak maksimal dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang pendidik dan mencetak generasi yang unggul menjadi khayalan semata.
Ketika situasi mendesak, mereka terpaksa mencari solusi alternatif untuk membiayai kehidupan mereka dengan cara yang cepat dan mudah didapatkan, salah satunya dengan jalan pinjol.
Penerapan sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) di negeri ini telah memberikan peluang merebaknya bisnis pinjol yang ada di sekitar kita. Kehidupan hedonisme pada masyarakat menjadi suatu hal yang wajar terjadi untuk memenuhi standar kehidupan saat ini.
Ketika perilaku hedonisme terjangkit pada diri masyarakat sedangkan perekonomian masyarakat tidak mencukupi pemenuhannya, maka mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan peminjaman secara online yang dianggap praktis dan menjadi solusi dari permasalahan yang mereka hadapi.
Namun, tanpa sadar mereka secara sengaja membaluti diri dengan hutang dan riba yang berlipat-lipat dan menambah permasalahan dalam kehidupan.
Negara harusnya bertangungjawab penuh terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat hari ini. Banyaknya masyarakat yang terjerat pinjol telah menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan masyarakat.
Alih-alih menutup rapat pintu-pintu ribawi, justru negara terlibat bisnis di pasar yang sama. Sungguh miris kondisi yang dialami masyarakat hari ini, ketika guru sebagai profesi mulia yang seharusnya dihargai termasuk dalam hal finansial namun justru sebaliknya.
Selain itu beban berat dalam pekerjaan yang dimana guru lebih banyak disibukkan dengan tugas administrasi yang dilakukan dengan harapan memperoleh gaji yang layak justru berimbas pada ketidakmasimalan guru dalam mendidik anak-anak di sekolah.
Pentingnya literasi ditengah-tengah masyarakat terkait pengeloaan keuangan, perencanaan pengeluaran serta menabung menjadi salah satu cara untuk mencegah dari terjeratnya pinjol.
Namun, tidak hanya mencukupkan pada hal tersebut saja. Ketika negara membiarkan bisnis pinjol tetap ada baik yang legal maupun illegal, maka masyarakat akan tetap sulit terhindar dari jeratan pinjol yang dianggap menjadi solusi tercepat bagi mereka.
Sungguh hal tersebut tidak akan terjadi di dalam sistem Islam (Khilafah). Pada era kekhalifahan, guru diposisikan sebagai individu yang berjasa dalam memberikan kemaslahatan umat.
Negara memberikan jaminan kesejahteraan dan penghargaan terhadap aktivitas yang mereka lakukan baik berupa gaji yang layak, penghargaan bahkan kehidupan yang layak. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khatab gaji guru 15 dinar (1 Dinar = 4,25 gr emas).
Pada masa Al-Mamun yang menerjemahkan buku dihargai emas senilai berat buku. Pada masa Harun Ar-Rasyid seorang hafiz al-Quran digaji 4000 dinar.
Hal tersebut hanya sedikit gambaran dari kesejahteraan dalam bidang penddikan yang dijamin oleh sistem Islam. Selain itu negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Sehingga tidak akan ditemukan lagi praktik ribawi, karena negara yang akan menutupnya atas dasar ketaatan kepada Allah Swt.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Ali-Imron ayat 130 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Hal ini jelas bahwa di dalam Islam negara akan mengharamkan praktik ribawi di tengah-tengah masayarakat, sehingga negara tidak akan memberikan pelaku bisnis ribawi berkembang dan secara tidak langsung masyarakat akan terhindar dari jeratan pinjol.
Besarnya perhatiaan yang diberikan oleh Khilafah terhadap kesejahteraan guru akan menghasilkan pendidikan yang berkuliatas dan mewujudkan generasi gemilang yang diakui dunia.
Wallahualam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar