Opini
Kapitalisme Menjadikan Pajak Alat Palak Rakyat
Oleh: Afifah
(Muslimah Brebes)
TanahRibathMedia.Com—Tidak heran lagi ketika rakyat lagi dan lagi harus dibebankan pajak. Dikutip dari www.ekonomi.republika.co.id (19-11-2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN sebesar 12 persen akan ditetapkan. Hal itu sesuai dengan beleid soal harmonisasi peraturan perpajakan saat ini tarif PPN adalah sebesar 11 persen.
Pemerintah memandang kenaikan tarif pajak ini sebagai sebuah kebutuhan untuk menjaga kesehatan APBN di saat prospek penerimaan seret akibat kondisi global yang tidak pasti. Kebijakan ini sontak mendapat kritik dari berbagai kalangan, kebijakan itu dinilai bisa makin menekan daya beli masyarakat dan mengganggu roda ekonomi dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang sedang lesu.
Ketua umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Haryadi sukamdani mengatakan, momentum saat ini tidak tepat untuk menaikkan tarif PPN, saat ini saja, tanpa kenaikan tarif PPN, penjualan di berbagai sektor usaha sudah merosot akibat turunnya permintaan dan lemahnya daya beli masyarakat, beberapa sektor usaha seperti industri tekstil sedang babak belur bersaing dengan banjir barang impor sektor ritel dan perbelanjaan juga lesu. Meski pengunjung tetap banyak dan mall tetap ramai tingkat penjualan turun masyarakat hanya datang berkunjung tanpa berbelanja (www.kompas.id, 14-11-2024).
Pajak di negeri ini sangat memengaruhi hajat hidup orang banyak. Namun miris di tengah perekonomian rakyat yang makin lesu pemerintah memaksakan kenaikan pajak dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan negara, pelaksanaan pembangunan dan pengurangan ketergantungan pada utang menjadi alasan kuat pemerintah tetap melanjutkan kebijakan kenaikan pajak. Nampak pajak ini belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang, sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat. Terlebih mereka sedang berada dalam situasi ekonomi yang sulit seperti maraknya pengangguran, naiknya harga bahan-bahan pokok, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, dan lain sebagainya.
Apalagi ada problem korupsi uang rakyat atau APBN dan pemerintah yang gemar berutang. Situasi ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai pemasukan negara padahal negara memiliki sumber daya alam yang melimpah yang jika dikelola oleh negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. Namun, lagi-lagi sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasinya menjadikan negara menyerahkan sumber daya alam tersebut kepada pihak korporat hingga rakyat kesulitan mengaksesnya.
Di sisi lain, abainya negara terhadap dampak kesengsaraan akibat kenaikan pajak mengonfirmasi posisi negara bukan sebagai raa'in (pengurus segala urusan umat). Negara tampak tidak peduli dengan nasib 25 juta rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Bukankah kenaikan pajak akan semakin menjauhkan masyarakat dari kata sejahtera? Mirisnya, negara semakin menampakkan keberpihakannya kepada korporat atau pemilik modal. Negara hadir hanya sebagai fasilitator yang siap melayani kepentingan para pemilik modal.
Oleh karena itu, sistem kapitalisme tidak layak dijadikan sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia. Terlebih, sistem ini lahir dari buatan akal manusia sehingga bersifat batil dan tidak manusiawi.
Sangat berbeda dengan Islam, melalui sistem shahihnya yaitu khilafah. Khilafah adalah negara riayah
atau negara pengayom bukan negara pemalak. Rasulullah bersabda :
"Imam/ Khilafah adalah raa'in ( pengurus rakyat)dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)
Periayahan ini terlihat dari salah satu mekanisme bagaimana khilafah mendapatkan sumber memasukan negara tanpa harus berhutang dan memalak rakyat dengan pajak. Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi raa'in mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Islam juga menetapkan berbagai sumber pemasukan negara yang melimpah ruah.
Pajak sendiri bukanlah sumber pemasukan utama negara, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara dalam keadaan kosong. Sementara saat itu ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan. Memungut pajak bermakna mengambil harta milik kaum muslim tanpa ada kerelaan dari mereka. Dalam Islam hukumnya tentu saja haram. Atas dasar itu mengambil pajak sebagaimana yang dipahami dalam sistem kapitalisme hukumnya haram.
Pada dasarnya pemasukan rutin baitul mal dari pos-pos pendapatan yang telah ditetapkan Allah sebagai hak kaum muslim dan hak baitul mal yakni pos fai dan kharaj, pos pengelolaan harta-harta milik umum, hingga zakat semuanya cukup untuk membiayai seluruh kewajiban keuangan yang menjadi tanggung jawab baitul mal. Ketika pemasukan baitul mal mampu menutupi semua kewajiban keuangan negara maka negara tidak membutuhkan pungutan pajak dari kaum muslim. Jika pemasukan baitul mal tidak mencukupi sedangkan urusan periayahan rakyat yang wajib tidak dapat terlaksana, akibat kosongnya pemasukan baitul mal, maka kewajiban pemasukan baitul mal beralih kepada umat Islam. Dalam hal ini negara memiliki hak mendapatkan harta dari umat dengan mewajibkan pajak kepada umat Islam sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariah. Artinya tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenai pajak.
Oleh karena itu, ada perbedaan yang sangat mendasar antara pajak dalam sistem Islam dan kapitalisme. Khilafah hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat yaitu ketika harta di baitul mal tidak mencukupi. Sebaliknya dalam negara kapitalis pajak dijadikan sebagai sumber penerimaan utama negara. Akibatnya beban pembiayaan masyarakat dan industri makin meningkat akibat banyaknya pungutan yang harus mereka tanggung.
Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar