Opini
Kejar Pajak, Negara Jadi Pemalak?
Oleh: Mutiara Aini
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tega! Di tengah kondisi ekonomi yang makin terpuruk karena sulitnya lapangan pekerjaan, maraknya PHK, harga-harga yang kian melangit, ditambah biaya pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang mahal, rakyat masih saja digenjot dengan berbagai macam pungutan pajak dan tarif pajak yang makin mencekik.
Salah satunya adalah pajak kendaraan. Kabarnya, para penunggak pajak kendaraan bakal diburu Tim Pembina Samsat hingga ke rumah. Langkah ini ditempuh dengan tujuan untuk mengingatkan pemilik kendaraan dalam menunaikan kewajibannya membayar pajak.
Dalam catatan Korlantas Polri dari total 165 juta kendaraan terdaftar, yang memperpanjang STNK 5 tahunan tak sampai setengahnya atau sekitar 69 juta unit. Sementara itu 96 juta unit kendaraan pajaknya tak dibayarkan (dutatv.com, 8-11-2024).
Pajak, Tulang Punggung Ekonomi Kapitalisme
Sekalipun membebani rakyat, memungut dan menaikkan pajak justru telah menjadi tulang punggung ekonomi kapitalisme. "Warga negara yang baik adalah yang taat pajak," ini adalah slogan gombal yang menjadi pemanis agar rakyat taat membayar pajak. Jelas, hal ini menunjukkan bahwa hubungan negara dengan rakyat ibarat penjual dan pembeli. Bukan hubungan negara yang seharusnya bertanggung jawab memberikan jaminan terhadap rakyat, justru negara menjadi pemalak.
Padahal, negeri ini kaya akan sumber daya alam (SDA) yang apabila dikelola dengan baik akan dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Akan tetapi, SDA yang terkategori milik umum ini, justru diserahkan kepada asing. Alih-alih memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang ada malah sebaliknya rakyat yang hidupnya sudah kembang kempis, dipaksa merogoh saku lebih dalam.
Di sisi lain, sikap lembek penguasa terhadap pengusaha telah banyak memberikan kemudahan bagi pengusaha, seperti adanya program tax holiday (liburan pajak), yaitu bonus pemerintah berupa pengurangan atau penghapusan pajak untuk sementara waktu. Program lainnya berupa tax amnesty (amnesti pajak), yakni penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Fakta, bahwa negara begitu menganakemaskan pengusaha.
Sementara sikap terhadap rakyat begitu keras. Negara terus membebani rakyat dengan berbagai macam pajak dan target pajak terus meningkat bahkan tarifnya terus mengalami kenaikan. Inilah bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya. Dalam sebuah hadis, Rosulullah telah memperingatkan,
"Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka.” (HR Ahmad & Abu Dawud)
Pajak dalam Sistem Islam
Tidak dimungkiri, dalam Islam pun dikenal adanya pajak. Akan tetapi, penerapan dan pengaturannya sangat berbeda dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
Dalam sistem Islam, pajak hanya akan ditarik dari warga muslim yang kaya, itupun pada saat kondisi tertentu. Misalnya adanya bencana alam, pembiayaan jihad, membayar gaji pegawai, pembiayaan untuk kemaslahatan yang sangat mendesak dan akan mengakibatkan bahaya bagi umat jika diabaikan, sedangkan harta di baitulmal tidak ada. Maka, jika urusannya telah teratasi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Bahkan orang miskin tidak dibebani pajak, mereka justru mendapatkan bantuan dari negara.
Dalam sistem Islam (khilafah) pajak bukanlah sumber pemasukan utama. Penerimaan baitulmal yang begitu besar dan banyak berasal dari sumber selain pajak. Seperti dari ganimah (harta rampasan perang), fai (harta yang didapatkan dari non muslim secara damai), kharaj (tanah rampasan perang), dan lain-lain.
Di tengah kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme hari ini, hanya sistem ekonomi Islam menjadi jalan alternatif tunggal. Kesejahteraan rakyat tidak akan mungkin terwujud selama pajak masih menjadi sumber utama pendapatan negara. Maka, dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh keadilan dan kesejahteraan masyarakat akan benar-benar terwujud, Insyaallah.
Via
Opini
Posting Komentar