Opini
Kepada Siapa Penderitaan Muslim Rohingya Harus Dipikulkan?
Oleh: Darisa Mahdiyah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kabar muslim Rohingya yang sempat mencuat di permukaan media kini tenggelam. Kini media dibanjiri dengan pemberitaan muslim Palestina yang kabarnya terus dalam perlawanan level genosida dari Israel. Pun, media dalam negeri sedang hiruk pikuk dengannpesta demokrasi yang baru saja selesai digelar dengan adanya pemerintahan baru.
Jika kita menilik jauh sebelumnya, banyak muslim Rohingya yang sudah mengungsi dan datang ke Indonesia secara berkloter-kloter dengan jumlah ratusan, bahkan ribuan. Mereka sempat mendapat penolakan dengan adanya gonjang–ganjing soal adab mereka yang dinilai tidak pantas oleh masyarakat Indonesia setempat.
Dewasa ini, sebagaimana yang dikutip dari Cnnindonesia.com (25-10-2024) berdasarkan catatan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), sebanyak 152 imigran Rohingya yang terdiri dari 70 laki-laki, 20 anak-anak, dan 62 perempuan berlabuh di pesisir pantai Deli Serdang, Sumatera Utara. Dikatakan dari KOMPAS.com (25-20-2024) Sebelumya mereka berlayar selama 17 hari dari kamp pengungsian di Bangladesh menggunakan kapal kayu besar.
Alasan mereka tak jauh beda dari imigran Rohingya yang telah datang sebelum-sebelumnya, yakni mereka berharap, dengan kedatangan mereka di Indonesia yang masyoritas nya adalah sesama saudara muslim, mereka mendapat perlindungan hidup yang layak aman dan tentram. Nyatanya mereka diperbolehkan singgah setelah adanya penolakan dengan berbagai alasan.
Memang benar adanya bantuan dari Indonesia termasuk masyarakat setempat yang menjadi tempat singgah bagi pengungsi Rohingya. Namun, penyataan Kemenlu melalui jubir mereka pada KOMPAS TV (16-11-2023), Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa Indonesia berlepas diri dari mereka para pengungsi dengan alibi Indonesia tidak ikut berpartisipasi untuk meratifikasi dan berpihak pada konvensi pengungsi 1951. Dengan begitu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi tersebut.
Hal ini, dilansir dari Nasional.kompas.com (21-11-2023) oleh Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid berpendapat, meski Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951, Indonesia telah meratifikasi konvensi serta Deklarasi Universal PBB tentang HAM (lainnya), yakni mencakup konvensi menentang penyiksaan, International Covenant on Civil and Policial Rights serta Konvensi Hukum Laut.
Sehingga secara tidak angsung, melalui Deklarasi Universal HAM mewajibkan semua negara yang berpartisipasi untuk melindungi orang-orang yang mencari suaka dan dalam deklarasi tersebut, telah mencakup prinsip tentang hak setiap manusia untuk tidak dipindahkan ke negara yang memiliki risiko penganiayaan atau risiko pelanggaran HAM (prinsip norefoulment).
Usman menilai, jika mengusir dan memulangkann pengungsi dalam kondisi serba tidak layak, baik fisik maupun nonfisik merupakan perlakuan tidak manusiawi dan melanggar covenant internasional tentang hak-hak sipil dan poolitik, khususnya menyangkut hak hidup. Dan yang perlu digaris bawahi, dalam problem ini banyak negara konvensi yang justru menutup pintu bagi para pengungsi.
Belenggu Nasionalisme
Benih-benih menjijikkan ‘nasionalisme’ yang terus dipupuk secara masif terutama dalam sektor pendidikan, telah melahirkan sikap apatis yang ditampakkan secara nyata oleh berbagai negara terhadap negara yang tengah mengalami konflik, baik internal dan eksternal.
Tabir transparan bernamakan nasionalisme, yang tertancap kokoh pada tiap negara bersimbol bendera warna-warni buatan barat ini sukses mengubur dalam-dalam rasa kepedulian, simpati empati dna kemanusiaan hanya melalui konvensi yang tidak diratifikasi. Para penguasa hanya akan merasa bertangggung jawab untuk menuntaskan problem yang terjadi di negara masing-masing tanpa perlu mempedulikan problem negara lain.
Alhasil, dalam problem semacam muslim Rohingya ini, solusi yang ditawarkan oleh berbagai negara dalam naungan PBB dan konvensi Internasional lainnya tak memberikan tuntasnya permasalahan. Semu, seakan menjanjikan, tapi nyatanya palsu karena pada hakikatnya, masalah yang dihadapi oleh tiap negara menjadi tangggung jawab masing-masing.
Meski adanya regulasi dan konvensi internasional tentang penanganan pengungsi, nyatanya berbagai negara banyak yang tak mengindahkan dan justru berperilaku berkebalikan.
Masyarakat yang terlahir pun tak jauh beda halnya dengan sikap pemerintah yang ada, apatis dan acuh tak acuh dengan problem sesama saudaranya.
Tak lain hal ini berakar utama pada belenggu nasionalisme yang telah memecah belah persatuan umat muslim dan telah menahan kekuatan umat islam seluruhnya untuk mempedulikan saudara seakidah seimannya. Sehingga jelas sudah, bahwa dalam sistem kapitalis serta ide –ide anak turunannya tak dapat memberikan harapan bagi setiap permasalahan yang ada.
Memutus Belenggu Nasionalisme
Satu-satunya jalan dalam menyelesaikan problem muslim Rohingya dan saudara-saudara muslim yang senasib di berbagai belahan dunia lainnya yakni memutus belenggu ikatan nasionalisme yang merupakan salah satu paham ashabiyyah, haram hukumnya dan menggantinya dengan satunya satunya ikatan paling kuat, yakni ikatan akidah.
Ikatan akidah ini tidak akan tumbuh subur tanpa diterapkannya negara Islam sebagai wadah, yakni dengan Daulah Khilafah. Melalui daulah masyarakat hanya akan terikat kepentingannya dengan ikatan akidah tanpa tersekat-sekat ras, suku, warna kulit dan golongan. Sehingga sesama muslim akan timbul rasa kepedulian dan benar-benar melakukan aksi nyata pada saudara nya yang mengalami penderitaan. Umat Islam akan sadar bahwa sejatinya hubungan mereka dengan sesama saudaranya bagai satu tubuh.
Hanya melalui daulah, hak-hak seorang muslim dapat terjaga, baik harta, harga diri, nyawa, kehormatannya. Seorang muslim akan terjamin dengan kehidupan layak dan terjamin keamanannya tanpa terhantui penderitaan. Sehingga kewajiban saat ini adalah menyeru pada berdiri nya daulah khilafah dan merobohkan sistem bobrok dan kufur saat ini kepada masyarakat umum. Wallahu a’lam.
Via
Opini
Posting Komentar