Opini
Muslim Rohingya Terlupakan, Akibat Tersekat Paham Nasionalime
(Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta)
TanahRibathMedia.Com—Sebanyak 146 pengungsi Rohingya terdampar di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, pada Kamis (24-10-2024), setelah menempuh perjalanan laut selama 17 hari dari kamp pengungsian di Bangladesh. Salah satu pengungsi, M. Sufaid (24), menceritakan mereka meninggalkan Myanmar karena konflik dan berharap mendapat perlindungan di Indonesia. Namun, setibanya di sana, mereka malah menghadapi penolakan dari masyarakat (medan.kompas.com, 24-10-2024).
Tak hanya itu, sebagaimana yang diberitakan regional.kompas.com (24-10-2024), sebanyak 150 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut selama hampir sepekan akhirnya dievakuasi ke daratan di Aceh Selatan, dengan bantuan Panglima Laut setempat. Para imigran ini terdeteksi sejak Jumat (18-10-2024) setelah penemuan jasad perempuan di perairan Labuhan Haji sehari sebelumnya. Meski awalnya tidak diizinkan mendarat, logistik tetap disalurkan kepada mereka di atas kapal. Berdasarkan penyelidikan polisi, para pengungsi ini adalah korban tindak pidana penyelundupan manusia (TPPM). Polisi telah menangkap tiga tersangka pelaku, sementara delapan lainnya masih buron.
Indonesia disebut memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh, meskipun bukan pihak yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, Indonesia sudah memiliki sejumlah peraturan HAM internasional yang mencakup hak pengungsi, seperti Deklarasi Universal HAM, Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Asas non-refoulement, yang melarang pengusiran pengungsi ke negara berbahaya, menjadi bagian dari kewajiban HAM Indonesia. Namun, menurut Kementerian Luar Negeri, Indonesia tidak wajib menerima pengungsi karena tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951; kebijakan yang diambil selama ini murni atas dasar kemanusiaan (nasional.kompas.com, 11-21-2023).
Kantor Imigrasi Lhokseumawe, Aceh, mendesak UNHCR Indonesia untuk segera mencari lokasi penampungan baru bagi pengungsi Rohingya karena gedung sementara di Blang Mangat, yang kini menampung 233 orang, mengalami kerusakan 60 persen dan harus direhabilitasi pada November 2024. Gedung tersebut awalnya disewa untuk tiga bulan, tetapi izinnya diperpanjang hingga Oktober 2024. Kepala Seksi Teknologi Informasi Keimigrasian, Izhar Rizky, menegaskan bahwa renovasi perlu segera dilakukan demi keselamatan dan berharap UNHCR bersama pemerintah daerah segera menemukan tempat yang layak bagi para pengungsi (regional.kompas.com, 27-10-2024).
Umat Islam Tersekat Paham Nasionalisme
Kondisi Muslim Rohingya telah tenggelam dan terlupakan dengan pemberitaan mengenai Gaza dan hiruk-pikuk pemerintahan baru, terutama ketika nasionalisme menghambat solidaritas antar komunitas Muslim. Penolakan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya tersebut karena mereka dianggap sebagai orang asing dan bukan tanggung jawab negara.
Hal ini menunjukkan, paham nasionalisme dapat membatasi empati terhadap penderitaan sesama Muslim. Indonesia hanya bersedia menerima mereka secara sementara, mendata, dan mengirimkan mereka ke negara lain. Pemerintah Indonesia merasa tidak memiliki kewajiban menerima pengungsi Rohingya karena belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi dan protokolnya. Namun, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, menegaskan bahwa Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap pengungsi berdasarkan berbagai perjanjian dan konvensi hak asasi manusia, seperti Konvensi Menentang Penyiksaan yang diratifikasi pada tahun 1998.
Asas non-refoulement yang melindungi individu dari pengembalian ke negara berisiko penganiayaan tidak diindahkan, dan paham nasionalisme membuat pemerintah Indonesia menganggap genosida terhadap Rohingya sebagai masalah internal. Diskusi di tingkat ASEAN tidak menghasilkan tindakan nyata untuk menghentikan genosida, dan tidak ada negara yang bersedia mengirimkan militer untuk melindungi Muslim Rohingya.
Dengan penolakan dan ketidakpedulian global, Muslim Rohingya kini sangat membutuhkan perlindungan untuk keselamatan jiwa mereka. Nasionalisme telah memecah belah umat Islam sehingga mengakibatkan perpecahan di antara komunitas-komunitas Muslim di berbagai negara. Ketika identitas nasional diutamakan, sering kali kepentingan umat Islam sebagai satu kesatuan diabaikan. Hal ini terlihat dalam konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, di mana kepentingan nasional atau etnis tertentu mengalahkan solidaritas Islam.
Pemisahan ini menciptakan tantangan bagi umat Islam dalam menyatukan suara dan tindakan mereka, terutama dalam menanggapi isu-isu global yang memengaruhi komunitas Muslim, seperti penindasan, pengungsi, dan hak asasi manusia. Umat Islam dihadapkan pada dilema antara mempertahankan identitas nasional mereka dan menjaga solidaritas sebagai komunitas global. Akibatnya, penting untuk mengingat kembali prinsip-prinsip persatuan dalam Islam yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah, umat Islam ibaratnya satu tubuh, jika satu bagian tubuh sakit, maka bagian lainnya juga akan sakit.
Negara Wajib Mengurusi Pengungsi
Pengungsi Rohingya berada dalam ancaman yang besar karena kehidupan mereka serba salah. Jika dipaksa kembali ke Myanmar, mereka terancam genosida dan jika harus mengembalikan mereka ke laut dengan kondisi kapal yang tidak layak dan persediaan yang terbatas juga akan sangat berbahaya hingga dapat menyebabkan kematian. Sikap pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Rohingya tampak didasari oleh pandangan sekuler dan kapitalis, di mana dukungan terhadap mereka dibatasi oleh pertimbangan finansial.
Penanganan pengungsi seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan individu atau organisasi sosial, karena memerlukan sumber daya dan legalitas yang memadai. Bantuan yang ada selama ini tidak berasal dari anggaran negara dan bergantung pada UNHCR serta sumbangan masyarakat. Sebagai umat Muslim, kita tidak seharusnya menolak kedatangan Rohingya, karena mereka adalah saudara seiman yang memiliki ikatan akidah dengan kita.
Kita perlu menerima dan merawat mereka, memberikan perlindungan serta memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sesuai dengan Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”
Khilafah Pelindung bagi Rohingya
Muslim Rohingya tidak hanya memerlukan tempat tinggal sementara, tetapi juga institusi yang mampu melindungi mereka dari ancaman genosida, pengusiran, kelaparan, dan kematian. Oleh karena itu, mengandalkan pemerintah yang berorientasi kapitalis dengan kebijakan yang didasarkan pada perhitungan untung dan rugi tidaklah cukup. Negara-negara yang terjebak dalam paham nasionalisme juga tidak akan memberikan dukungan yang memadai.
Dalam hal ini, Khilafah muncul sebagai satu-satunya institusi yang dapat berfungsi sebagai pelindung bagi Muslim Rohingya. Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya bahwa seorang imam (khalifah) berperan sebagai perisai bagi umatnya, yang memberikan perlindungan dan dukungan dalam menghadapi musuh.
Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, Khilafah berfungsi sebagai pelindung (wiqayah) bagi umat Islam, termasuk Rohingya, yang sedang terancam. Dalam konteks ini, Khilafah memahami pentingnya memberikan bantuan kepada Rohingya sebagai saudara sesama Muslim yang tengah menghadapi bahaya. Khilafah, sebagai negara yang berlandaskan akidah Islam, memiliki tanggung jawab untuk membantu pengungsi Rohingya. Ini termasuk menerima mereka dengan tangan terbuka, menyediakan tempat tinggal yang layak, makanan, dan layanan kesehatan.
Selain itu, Khilafah akan memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi sehingga mereka mendapatkan hak yang sama seperti warga negara lainnya, termasuk pendidikan dan layanan sosial. Khilafah juga akan menciptakan lapangan kerja bagi pria dewasa, serta mengirimkan bantuan militer untuk membebaskan Muslim Rohingya yang terjebak di Myanmar dari rezim yang menindas.
Via
Opini
Posting Komentar