Opini
Pajak Naik, Rakyat Tercekik
Oleh: Hasna Syarofah
(Gen Z Muslim Writer)
TanahRibathMedia.Com—Sebagaimana yang sudah kita tahu, penghasilan terbesar negara Indonesia berasal dari pajak. Jadi, tidak heran jika pajak menjadi salah satu hal objek yang selalu pemerintah perhatikan. Bahkan, tidak sedikit keputusan dan kebijakan yang pemerintah berbuat berkaitan dengan pajak. Salah satunya adalah rencan untuk menaikkan pajak pertambahan nilai dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025. Hal ini tentu mendapat respon dari berbagai kalangan, terlebih di tengah situasi ekonomi saat ini yang tidak sedang baik-baik saja.
Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen tertuang dalam undang-undang nomor 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Targetnya, kebijakan itu akan diberlakukan paling lambat pada 1 januari 2025. Kenaikan tarif pajak dibutuhkan untuk menjaga kesehatan APBN. Wakil ketua umum Kamar Dagang dan Industri, Sarman Simanjorang, mengatakan bahwa kenaikan PPN itu sebenarnya tidak masalah jika kondisi ekonomi sedang normal. Masalahnya kondisi ekonomi saat ini sedang tidak menetu.
Kalangan pengusaha juga meminta pemerintah untuk mengkaji lebih komprehensif lagi kebijakan tersebut. Mereka menginginkan agar keputusan tersebut ditunda. Sebab, kenaikan PPN akan memicu lonjakan kenaikan harga dan semakin menekan daya beli masyarakat. Terutama untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika kenaikan harga ini disertai dengan penurunan daya beli masyarakat, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi dunia usaha dan ekonomi. Karena daya beli masyarakat merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika konsumsi masyarakat menurun, jelas akan menghambat perputaran ekonomi (CNBC Indonesia, 15-11-2025).
Melempar Tanggung Jawab
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif pajak jelas merupakan tindakan sewenang-wenang. Masyarakat kelas menengah ke bawah adalah pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. merekalah yang merasakan langsung dampaknya. Pemerintah mengambil keputusan menambah beban belanja dan memperlebar defisit untuk sesuatu yang tidak esensial. Ketika ruang fiskal APBN semakin sempit, pemerintah mengalihkan beban tanggung jaewab tersebut kepada rakyat melalui kenaikan tarif pajak. Sungguh sangat tidak adil dan tidak bertanggung jawab.
Keputusan ini diklaim sebagai cara untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun faktanya, belum tentu demikian. Pembangunan yang pemerintah rancang seringkali mengalami penundaan dan kabar yang tidak pasti. Selain itu, pembangunan yang pemerintah lakukan hanya berfokus di kota, hal ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di desa tidak dapat menikmatinya. Ditambah Indonesia adalah negara yang gemar sekali berutang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat. Di tengah harga kebutuhan yang masih tergolong tinggi, pemerintah dengan seenaknya dan tanpa berfikir panjang memutuskan untuk menikkan tarif PPN hanya dengan alasan untuk menjaga kesehatan APBN. Padahal, hasil dari APBN itu belum tentu masyarakat rasakan sepenuhnya. Akibatnya adalah konsumsi masyarakat kian melemah.
Penerapan Sistem Kufur
Kondisi ekonomi yang semakin mencekik ini adalah sebuah keniscayaan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Keputusan untuk menaikkan tarif pajak tentu akan menghasilkan efek domino yang besar. Sebab, kenaikkan ini menyangkut hampir seluruh barang dan kebutuhan. Seharusnya, pemerintah lebih proposional lagi dalam mengambil keputusan. Berfikir panjang dampak apa yang akan dihasilkan dari kebijakan yang dibuat. Bukan seenaknya langsung mengetuk palu.
Sistem Islam
Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra’in, mengurusi urusan umat dengan penuh tanggung jawab. Pajak atau dhariibah merupakan salah satu penerimaan APBN. Namun, karakteristiknya berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak di dalam islam merupakan sumber penerimaan yang bersifat insidental. Pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara seperti, fa’i, jizyah, kharaj, dan zakat tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib digunakan. Pajak bukanlah sumber utama penerimaan negara. Pajak dijadikan sebagai alternative terakhir ketika kas dalam keadaan kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan. Fungsi pajak bukan untuk meningkatkan APBN, malainkan untuk menutupi kekurangan APBN.
Alhasil, perpajakan dalam sistem kapitalis adalah sebuah tindakan dan aturan yang dzalim yang bertentangan dengan sistem islam. Pemerintah terus-menerus menaikkan pajak tanpa melihat situasi dan kondisi yang ada. bukannya memperbaiki keadaan, keputusan yang pemerintah buat ini malah akan memperburuk keadaan. Ekonomi masyarakat akan semakin terhimpit dan daya beli masyarakat akan semakin menurun. Oleh karena itu, jika masyarakat ingin memperbaiki kondisi yang ada, sudah sepantasnya masyarakat harus mengubah sistem ini dengan sistem yang baru, yang tidak memiliki cacat sedikitpun, yakni sistem islam. Penerapan sistem islam akan membawa rahmat bagi seluruh alam dan akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Waallahu a’lam.
Via
Opini
Posting Komentar