Opini
Pemuda, Bonus Demografi bagi Demokrasi?
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Sosialisasi Pilkada Serentak 2024 mulai berjalan. KPU Provinsi Jateng mengelar Goes To Campus untuk mengajak pemilih pemula dan muda mempergunakan hak pilihnya dalam Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan 27 November 2024 mendatang. Jumlah mereka yang mencapai 52 persen akan menjadi penentu keberlangsungan nasib wilayahnya di masa mendatang.
Dosen Politik dari Fisip Unsoed Ahmad Sabiq mengatakan pemilih pemula dan muda memiliki perhatian terkait isu- isu lingkungan, korupsi, penegakan hukum. Mereka juga akan menunut sejumlah hal seperti lapangan pekerjaan, upah, pendidikan dan jaminan sosial. Sehingga harus menjadi perhatian bagi pasangan calon yang berlaga dalam Pilkada (rri.co.id, 9-11-2024).
Masifnya sosialisasi pemilu menjadi bukti demokrasi masih dipuja. Dirawat sedemikian rupa, dipromosikan sedemikian menawan agar tetap bertahta dan bertahan. Terlaksananya pemilu per periode tertentu juga menjadi bukti implementasi demokrasi. Menjadi wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat sebagaimana definisi yang tergambar. Di mana setiap orang berhak memilih siapa yang dia kehendak secara rasional dan emosional menjadi pemimpin.
Sekilas memang tampak cantik pengemasan definisi demokrasi. Tak heran bila doktrin ini masih saja diamini oleh sebagian besar masyarakat dan dianggap manusiawi karena mengapresiasi setiap suara rakyat. Meskipun dalam praktiknya kerap juga terdengar slentingan manipulasi suara, namun yang demikian tidak menggoyahkan bahwa demokrasi tidak bermasalah. Seolah hanya praktiknyalah yang perlu dievaluasi.
Pada akhirnya, frasa frasa manis demokrasi ini berguna juga untuk menggaet minat para pemilih pemula dan pemuda. Dibumbui dengan tawaran menarik berupa jaminan hidup yang lebih baik dibawah kepemimpinan mereka, makin muluslah potensi bonus demografi ini bagi keberlangsungan demokrasi. Jika frasa yang melekat adalah pemuda harapan penentu untuk masa depan, maka di alam demokrasi ia juga menjadi harapan menangnya suara.
Namun disaat yang sama, para gen z juga diselimuti keapatisan terhadap jalannya perpolitikan negeri ini. Entah karena disibukkan dengan urusan pribadi (pendidikan dan bersenang-senang), tidak memiliki pemahaman atasnya, atau memang karena sudah jengah dengan tamparan fakta yang ada. Bahwasanya politik tak lebih dari lingkaran setan sekaligus ajang perebutan kekuasaan.
Maka jika pada akhirnya gen z tergiur dengan politik praktis saat ini, harusnya mereka melihat bagaimana realita demokrasi di negeri ini. Yang katanya menjunjung kebebasan berpendapat, namun pernah menciderai mahasiswa senior mereka ketika unjuk rasa dengan tindakan tindakan represif hingga jatuh korban nyawa. Yang katanya dari, oleh, dan untuk rakyat, nyatanya dipersembahkan untuk pejabat dan konglomerat. Yang katanya pemuda adalah aset bangsa, nyatanya tak lebih dari aset ekonomi penggerak roda industri.
Mirisnya, anggapan demokrasi sebagai sistem terbaik terus menerus dijejalkan sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Sehingga sekacau apapun kondisi negara, separah apapun penderitaan rakyat, tuntutan perubahan tidak boleh keluar dari lingkaran setan demokrasi. Jadilah peran politik pemuda dalam demokrasi hanya sumbangsih suara untuk pergantian kekuasaan rezim saja. Jika dibiarkan, tentu akan membahayakan pergerakan mereka yang berujung pada kegagalan meraih perubahan hakiki. Gagal memahami bahwa akar masalah penderitaan rakyat bukanlah sekadar karena rezim zalim, melainkan terstruktur karena sistem.
Sungguh pemuda tidak layak dipandang sebelah mata yang berguna bagi sumbangsih suara. Potensi mereka lebih besar dari itu, sebagai lokomotif utama perubahan dalam membangun peradaban agung. Dan demokrasi, selamanya tidak akan pernah memberi ruang bagi pemuda untuk menjalankan peran strategisnya. Dan tidak seharusnya pula pemuda berdiri untuk demokrasi.
Keapatisan politik pemuda juga perlu diobati. Melalui edukasi akan definisi politik yang benar sebagaimana pandangan Islam. Bahwasanya politik itu tidak kotor. Ia adalah aktivitas mulia karena berkaitan dengan pengurusan umat berdasarkan syariat Islam sehingga terwujud maslahat. Dan pemuda, memiliki tanggungjawab besar dalam berkontribusi untuk memastikan berjalannya peran negara dalam pengurusan tersebut dengan selalu mengawasi dan mengoreksi arah kebijakan.
Maka untuk saat ini, ketika politik Islam belum tertunaikan dalam skala bernegara, kepedulian dan daya kritis pemuda terhadap kebijakan zalim penguasa benar benar dibutuhkan rakyat. Pemuda menjadi tumpuan melawan politik oportunistis dan transaksional yang dilegalkan demokrasi karena semua itu yang menyebabkan keterpurukan. Bersamaan dengan ini, sudah saatnya para pemuda putar haluan meninggalkan demokrasi dan belajar memahami sistem politik Islam agar menyadari jalan perjuangan yang harus ditapaki, dan tidak dibajak oleh demokrasi.
Via
Opini
Posting Komentar