Opini
Pengungsi Rohingya Terdampar: UNHCR Lepas Tangan
Oleh: Ria Nurvika Ginting,SH.,MH
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kamis, 24 Oktober 2024 yang lalu sekitar 153 imigran Rohingya kembali mendarat di Pantai Dewi Indah di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang. Mereka sampai ke Pulau dengan menaiki kapal dan sudah diamankan ke kantor Camat Pantai Labu. Ketika mereka mendarat, Kapolres Deli Serdang Kombes Rapphel Sandly Cahya Priambodo mengatakan sudah ada truk yang menunggu para imigran yang diduga sempat singgah di Aceh tapi belum diketahui kemana tujuan mereka (detiksumut.com, 26-10-2024).
Ratusan imigran tersebut pun disampaikan oleh Raphel mendapat penolakan dari warga Pantai Labu dan kembali ditolak pada saat mau dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi. Alhasil, mereka masih berada di kantor Camat Pantai Labu. Alasan penolakan ini adalah disebabkan warga tidak mau tambah susah atau terbebani. Miris sekalli ketika para imigran atau pengungsi Rohingya mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dengan dibantai, diusir dan ditindas yang akhirnya mereka melarikan diri ke negeri-negeri muslim dengan harapan mendapatkan kehidupan layak tapi realitasnya mereka malah dianggap beban sehingga penolakan pun terjadi.
Selain itu, untuk kasus pengungsi Rohingya ini pun muncul dugaan bahwa mereka tidak berasal dari Rahkine, Myanmar melainkan dari tempat pengungsian Cox Bazaar yang dikelola oleh UNHCR di Bangladesh. Menurut pendapat Rektor Universitas A.Yani, Hikmahanto Juwana, etnis Rohingya melakukan perjalanan yang berbahaya bukan karena dipersekusi oleh otoritas setempat melainkan UNHCR gagal dalam mengelola tempat penampungan (indonews.id, 26-10-2024).
Guru Besar Hukum Internasional UI tersebut mengatakan bahwa UNHCR hendak merelokasi para etnis Rohingya ke berbagai negara termasuk Indonesia. Hal ini berarti dilakukan secara ilegal. Mengapa demikian? hal ini dikarenakan Indonesia bukan negara peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan UNHCR tidak ada upaya untuk mengembalikan para pengungsi ketempat penampungan asal di Cox Bazaar. Hikmahanto juga menyampaikan harus ada tindak tegas terhadap UNHCR atas tindakan tidak terpuji yang merugikan Indonesia. Disamping itu, negara-negara kampiun HAM ternyata lepas tangan atas masalah etnis Rohingya ini dan membebankannya kepada Indonesia dengan cara mengapresiasi penyelamatan yang dilakukan oleh otoritas Indonesia (indonews.id, 26-10-2024).
Mengapa persoalan pengungsi ini tidak tuntas juga padahal sudah banyak yang dibuat untuk melindungi para pengungsi bahkan organisasi internasional UNHCR yang khusus menangani masalah pengungsi ini ternyata gagal menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini dikarenakan Konvensi Internasional yang ada hanya sekedar perundangan saja. Dalam implementasinya negara-negara yang meratifikasi tidak merasa memiliki kewajiban untuk menuntaskan masalah pengungsi ini. Pengungsi ini hanya dianggap beban.
Hal ini terjadi karena penerapan sistem kapitalis-sekuler yang berdiri atas dasar sekularisme yakni pemisahan agama dengan kehidupan menetapkan bahwa yang berhak membuat aturan adalah manusia yang lemah dan terbatas. Sehingga negara hanya berfungsi sebagai regulator bukan sebagai periayah. Jika urusan yang seharusnya ditangani oleh negara diserahkan kepada warga maka warga tidak akan sanggup untuk menanggungnya. Dalam masalah pengungsi harusnya ini tanggung jawab negara bukan warga ataupun diserahkan kepada sebatas organisasi kemanusiaan atau yang menangani masalah pengungsi. Selain itu, dengan adanya sekat-sekat negara dengan paham nasionalisme pun membuat pengungsi Rohingya yang ingin mencari negara yang lebih aman untuk ditempati dari negara asalnya yang telah melakukan penindasan bahkan kedzaliman yang mengancam nyawa semakin miris ketika tidak diterima oleh negara yang mereka datangi.
Islam Mengatur Pengungsi
Sistem Islam telah mengatur secara rinci mengenai suaka (orang yang meminta perlindungan) secara tegas dan rinci. Syariat Islam menjamin secara penuh perlindungan, penghormatan dan pemeliharaan setiap pencari suaka. Oleh karena itu penolakan permintaan pencari suaka dilarang secara tegas. Selain itu, perlindungan pengungsi ini pun diberikan baik pada muslim maupun non-muslim. Hal ini ditegaskan dalam QS at-Taubah ayqt 6, ”dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada mu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman Allah, kemudian antarlah ia ke tempat yang aman baginya; yang demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
Yang mana saat ini dikenal dengan prinsip Non-refoulement dan prisnip non-discrimination yang diatur dalam hukum internasional tepatya dalam konvensi 1951. Makna “permintaan perlindungan” tersebut ialah kebutuhan akan adanya payung perlindungan komprehensif bagi pencari suaka, keluarganya dan harta kekayaannya. Kasus pengungsi Rohingya yang mana kaum muslim seharusnya menjadi perhatian utama negara-negara muslim seperti apa yang terjadi di Palestina. Hal ini dikarenakan muslim itu bersaudara.
Persoalan pengungsi Rohingya yang jelas-jelas muslim dan meminta perlindungan seharusnya dapat dilindungi nyawa maupun hartanya. Namun, pada saat ini tiada Khilafah sangat sulit untuk dilakukan. Khilafah juga akan mengirimkan tentara nya ke Rohingya untuk menyelamatkan kaum muslim yang tertindas begitu juga dengan tanah Palestina yang telah diporakporandakan oleh Zionis Israel. Karena baik pengungsi Rohingya maupun Palestina merupakan permasalahan perlindungan nyawa manusia. Dalam islam haram menindas, menyiksa bahkan sampai mebunuh manusia tanpa hak (baik muslim maupun non muslim). Sungguh persoalan pegungsi Rohingya hanya dapat terselesaikan dengan adanya Khilafah Daulah Islamiyah yang menerapkan syariat secara kaffah yang dipimpin oleh seorang kepala negara yakni Khalifah. Yang akan menjadi perisai (junnah) kaum muslimin.
Via
Opini
Posting Komentar