Opini
Peran Negara dalam Menjamin Keamanan Obat dan Makanan
Oleh: Isma Adiba
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menghentikan sementara izin edar produk olahan makanan impor dari China, La Tiao. Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, pengambilan langkah ini merupakan respon atas laporan kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) yang menimpa anak-anak di sejumlah wilayah di Indonesia.
BPOM tarik 73 jenis jajanan Khas China, La Tio. Setelah diuji laboratorium, ada empat jenis jajanan La Tiao yang terdeteksi mengandung bakteri Bacillus Cereus. Bakteri itu dapat memicu sejumlah keluhan yakni mual, diare, muntah, hingga sesak nafas. Atas kehati-hatian, kepala BPOM RI Taruna Ikrar mengatakan pihaknya akan menarik sementara 73 produk yang terdaftar di BPOM RI hingga benar-benar dipastikan aman beredar (detiknews.com, 2-11-2024).
Keracunan yang terjadi di sejumlah daerah adalah bukti dari lalainya negara dalam mengawasi dan memberikan kebebasan produk luar negeri masuk ke Indonesia. Meskipun produk-produk tersebut telah terdaftar di BPOM, tetapi nyatanya masih kecolongan, bahkan memakan korban yang rata-rata adalah anak-anak.
Salah satu peran negara dalam hal makanan dan minuman adalah melakukan pengawasan terhadap produsen atau pelaku usaha untuk membedakan produk yang halal dan tidak halal. Untuk memastikan makanan yang dikonsumsi halal, dapat melihat label halal yang tercantum pada kemasan produk. Pengawasan ini dilakukan oleh Badan Pengawas Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Dalam Islam, mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib merupakan perwujudan takwa. Makanan yang halal dapat melahirkan pribadi yang sehat berpengaruh pada jiwa dan sikap hidup, sehingga dapat melaksanakan segala aktivitasnya dengan baik dan sempurna.
Beberapa ciri-ciri makanan halal yang sah dan terpercaya adalah tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi, tidak mengandung khamar dan produk turunannya. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai aturan Islam dan atas nama Allah. Di dalam Alquran, Allah Swt. memerintahkan agar manusia memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
"Wahai manusia makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik." (TQS. AL Baqarah:186)
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, menjelaskan kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau "tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal" juga berarti "boleh".
Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja).
Oleh karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi tidak dianjurkan, atau dengan kata lain hukumnya makruh. Nabi Muhammad saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila ia baru saja memakan bawang. Nabi saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib: “Rasul saw. melarang memakan bawang putih kecuali setelah dimasak.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dikemukakan bahwa seseorang bertanya: "Apakah itu haram? Beliau menjawab: “Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya”.
Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis.
Lahirnya berbagai masalah ini karena adanya jaminan kebebasan, baik itu kebebasan kepemilikan atau bertingkah laku. Semua pengusaha dibebaskan mengelola makanan atau minuman dengan bahan apa saja, yang penting murah atau aman. Tidak peduli entah bahannya halal atau haram, banyak yang sekadar menarget keuntungan.
Kebebasan berperilaku juga membuat para konsumen bebas makan, padahal makanan yang mereka konsumsi belum tentu halal. Mereka tidak peduli mau halal dan haram, asalkan rasanya enak sehingga merasa boleh dimakan. Masalah ini makin rumit ketika negara tidak hadir memberikan jaminan. Negara tidak mengondisikan masyarakat untuk taat agama. Negara juga tidak mendisiplinkan perusahaan untuk memproduksi barang halal. Ini karena negara tersebut mengambil Kapitalisme sebagai sistem hidup.
Islam sebagai agama yang sempurna akan selalu memperhatikan hal-hal penting, salah satunya adalah jaminan makanan halal. Sistem pemerintahan Khil4f4h akan menerapkan Syariat Islam secara menyeluruh, termasuk memastikan semua makanan yang dikonsumsi masyarakat adalah halal. Di sisi lain, sistem pendidikan Islam mengajarkan hukum Islam sejak dini. Termasuk soal pentingnya untuk mengonsumsi makanan halal, berikut cara mendapatkannya. Dengan pengondisian seperti ini, masyarakat akan membedakan mana yang halal dan haram.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara membolehkan setiap masyarakat melakukan produksi dan jual beli. Namun, melarang proses itu jika berasal dari bahan haram. Sistem sanksi Islam juga bersifat tegas. Para kadi akan menghukum siapa pun yang melanggar. Apabila ada bahan makanan baru, Islam menyerahkan pada mujtahid untuk menggali hukumnya agar umat tidak bingung dalam menentukan sikap.
Selain itu, dengan penerapan hukum Islam secara kafah, negara akan menjamin makanan yang beredar dipastikan halal sehingga umat pun pada akhirnya tidak memerlukan sertifikasi halal. Sayangnya, kebijakan seperti ini tidak akan jalan dalam sistem sekuler. Kebijakan ini akan terselesaikan jika sistem Islam secara sempurna diterapkan. Wallahualam bi Showab.
Via
Opini
Posting Komentar