Opini
Rencana Kenaikan Upah, Akankah Mendongkrak Nasib Pekerja?
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Pembahasan upah minimum tengah hangat diperbincangkan di setiap wilayah. Berbagai unjuk rasa mewarnai pembahasannya. Salah satunya unjuk rasa Serikat Pekerja Nasional di depan kantor Kementrian Ketenagakerjaan, Rabu (6-11-2024) lalu. Pengusaha dan buruh belum juga mencapai satu kata sepakat terkait aturan baru yang digunakan untuk menentukan kenaikan upah minimum (cnbcindonesia.com, 9-11-2024).
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan pentingnya peningkatan kesejahteraan buruh melalui mekanisme bipartit perusahaan (antaranews.com, 9-11-2024). Yakni mekanisme perundingan antara pengusaha dan pekerja untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara keduanya. Hal ini ditetapkan menyusul adanya wacana kenaikan upah minimum tahun 2025 pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal Undang-Undang Cipta Kerja.
Berdasarkan PP no.51/2023, pekerja yang telah bekerja selama minimal 1 tahun akan ditetapkan kenaikan gaji hanya sebesar 1-3 persen, tergantung kemampuan perusahaan. Jika menyesuaikan keinginan buruh yang mencapai 8 persen per tahun, membuat banyak perusahaan collapse. Bak buah simalakama, masalah antara buruh dan pengusaha pun terus bergulir, tidak berujung.
Lantas, akankah kenaikan gaji buruh mampu memperbaiki nasib di tengah kehidupan ekonomi yang makin tidak ramah?
Dampak Buruk Kebijakan ala Kapitalisme
Masalah antara buruh dan pengusaha selalu menjadi masalah pelik yang tidak pernah menemukan titik keadilan. Di satu sisi, para pekerja selalu menuntut kenaikan gaji karena beban hidup yang kian berat. Sementara di sisi lain, pengusaha menetapkan kebijakan upah minimum agar tetap memiliki margin yang cukup dalam iklim usahanya.
Konsep berpikir demikian wajar diadopsi pengusaha dan pekerja yang ada pada saat ini. Di tengah mahalnya biaya hidup, pekerja diposisikan dalam posisi sulit. Jika tidak bekerja, akan sangat sulit memenuhi biaya hidup. Jika bekerja pun, upah yang ada sangat minim, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum pun, tidak cukup. Sementara, dari kacamata pengusaha, pengusaha menempatkan pekerja sebagai faktor produksi yang mampu ditekan semaksimal mungkin sehingga dapat berpotensi menghasilkan keuntungan besar.
Inilah konsep ala sistem batil, kapitalisme liberal. Pengusaha dan pekerja terus menuntut keadilan. Masalah terus tumbuh dalam hubungan keduanya. Semua masalah yang ada bersumber dari hilangnya peran negara dalam mengurusi iklim usaha dan kesejahteraan pekerja di negeri ini. Negara hanya berfungsi sebagai regulator yang menghubungkan pengusaha dan mengabaikan kepentingan rakyat. Orientasi materi menjadi satu-satunya tujuan. Setiap regulasi yang ditetapkan pun sama sekali tidak mampu menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Sistem upah pekerja ditetapkan berdasarkan pada biaya hidup minimum per wilayah. Bukan berdasarkan keahlian setiap pekerja.
Parahnya lagi, dalam sistem kapitalisme, setiap layanan publik dan kebutuhan asasi rakyat dikapitalisasi pihak yang tidak bertanggungjawab. Alhasil, kebutuhan hidup publik kian tidak terjangkau. Negara telah lalai mengurusi urusan setiap individu rakyatnya. Betapa buruk gambaran kehidupan dalam tata kelola sistem kapitalisme liberal. Semua kebijakan tidak mampu menciptakan keadilan yang diimpikan. Justru sebaliknya, kebijakan yang ada makin ugal-ugalan. Negara lepas tangan atas keadaan yang makin rumit. Beban hidup makin tinggi, namun gaji selalu tidak mencukupi.
Praktisnya, dalam sistem kapitalisme, kesejahteraan pekerja mustahil terwujud, iklim usaha pun tetap lesu karena tergadai kebutuhan hidup yang terus membebani biaya produksi.
Pengaturan Islam
Dalam Islam, upah pekerja ditetapkan berdasarkan keahlian. Dan tidak berhubungan dengan biaya hidup per individu dalam memenuhi kebutuhannya. Seperti yang ditulis Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab "Sistem Ekonomi Islam" (An Nidzam al Iqtishodiyyu fi al Islam).
Tidak hanya itu, dalam sistem Islam, kesejahteraan setiap individu dijamin kecukupannya oleh negara, baik sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Sehingga taraf hidup sejahtera mudah terwujud dalam mekanisme yang ditetapkan syariat Islam. Dengan penerapan sistem Islam yang sempurna, negara mampu berperan sebagai pengurus sekaligus penjaga rakyatnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).
Dengan konsep dan strategi sistem Islam, keadilan antara pekerja dan pengusaha mampu terwujud karena Islam menempatkan pekerja dan pengusaha sebagai rakyat yang harus diurus negara. Dan keduanya wajib taat pada syariat Islam, sehingga tidak ada sikap saling menzalimi satu sama lain. Sistem Islam juga mengeliminasi konsep kastanisasi antara kaum pekerja dan pengusaha. Dengan mekanisme tersebut, kesejahteraan pekerja terwujud, iklim usaha pun terjaga eksistensinya. Keduanya bersinergi untuk memberikan manfaat yang optimal.
Demikianlah sistem Islam mengatur dan menselaraskan hubungan antara pekerja dan pengusaha dalam penjagaan tatanan negara yang amanah. Inilah sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya sarana yang mampu menghantarkan seluruh umat dalam kesejahteraan yang penuh keberkahan.
Wallahu'alam bisshowwab.
Via
Opini
Posting Komentar