Opini
Sekularisme Menghasilkan Orangtua Abuse
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dunia maya kembali dihebohkan oleh viralnya video seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang menjadi korban penganiayaan ibu kandungnya, di Kecamatan Bengkong, Batam, Kepulauan Riau. Dalam video tersebut, terlihat seorang bocah perempuan dengan luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya, dan dalam keadaan leher terikat dengan rantai besi yang terkunci dengan gembok (liputan6.com, 15-11-2024).
Kekerasan orangtua terhadap anak juga terjadi sebelumnya di Kalisari, Pasar rebo, Jakarta Timur, pada Oktober 2024 lalu. Seorang bocah berusia 5 tahun mendapatkan kekerasan fisik oleh orangtuanya hingga mengalami pendarahan (antaranews.com, 30-10-2024).
Kemudian kasus serupa juga terjadi dengan dua pelaku pasutri asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang berhasil ditangkap oleh aparat karena menganiaya anak mereka yang berusia 4 tahun hingga mengalami patah tulang paha dan bahu kiri (cnnindonesia.com, 30-10-2024).
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyebut kasus kekerasan terhadap anak banyak terjadi di lingkungan keluarga. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) juga mencatat, sebanyak 11.796 anak menjadi korban kekerasan sepanjang tahun 2024. Jumlah kekerasan pada anak ini tercatat dari 1 Januari hingga 7 September 2024 (rri.co.id, 8-9-2024).
Berdasarkan fakta di atas, timbul sebuah pertanyaan besar. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa anak yang diidam-idamkan, dikandung dan ditunggu-tunggu kelahirannya, justru mengalami kekerasan dan abuse dari orangtuanya sendiri?
Beberapa pakar menyebutkan, para orangtua yang kerap melakukan kekerasan pada anak, seringnya diakibatkan oleh belum selesainya pribadi mereka akan masa lalunya. Yang maksudnya adalah, para orangtua ini masih memiliki luka batin pengasuhan yang didapatkan dari orangtuanya dulu dan belum sembuh. Sehingga, gejolak emosi negatif yang tersimpan sejak kecil pada akhirnya meledak ke anak mereka.
Ketidakmampuan orangtua dalam mengendalikan emosi inilah, acap kali menjadi sebab utama terjadinya kekerasan pada anak. Tentunya lagi-lagi, ketidakmampuan individu tersebut dalam mengendalikan emosi itu bersumber dari luka batin yang dibawa oleh mereka dari pola asuh yang salah di masa lalu. Yang kemudian jika dikilas balik kembali, orangtua mereka pun mengalami hal serupa, yakni tidak memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi akibat dari pengalaman luka batin pengasuhan di masa lalu oleh orangtuanya juga. Begitu seterusnya sampai ke atas.
Maka, untuk memutus rantai luka pengasuhan tersebut, para ahli sepakat agar anak-anak yang mengalami trauma itu untuk segera dilakukan pendampingan oleh ahli psikologi untuk menghilangkan trauma mereka atas kekerasan yang dialaminya.
Hanya saja, banyak para ahli tidak menyadari sumber daripada maraknya kekerasan yang terjadi pada anak ini dari mana. Seringnya para ahli hanya menyoroti kesalahan pola asuh orangtua saja hingga menghasilkan anak yang bermasalah. Padahal ada hal besar yang melatarbelakangi terjadinya abuse pada anak-anak ini. Maraknya kasus-kasus kekerasan orangtua pada anak tersebut menggambarkan betapa rusaknya kehidupan dari berbagai segi.
Lantas apakah sumber masalah utamanya, hingga menghasilkan banyaknya kasus kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya itu? Jawabannya tidak lain, tidak bukan adalah sistem sekulerisme yang telah mengakar pada pikiran-pikiran masyarakat dan sistem pemerintahan kita.
Sekularisme melahirkan orang-orang yang individualis dan cenderung berbuat semuanya, karena asas dari ideologi ini adalah pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari. Agama hanya dipandang sebagai peribadatan spiritual semata yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, tidak heran jika generasi tidak dididik untuk mengenal dan memiliki rasa takut akan Tuhannya.
Sehingga segala kebijakan yang dibuat oleh negara, tidak ada yang cenderung untuk menyejahterakan rakyat selain hanya berfokus pada kepentingan asing. Lalu apa pengaruhnya? Tentu saja ada pengaruh luar biasa berupa kerusakan di dalam keluarga, hingga menyebabkan adanya kekerasan pada anak-anak. Salah satunya adalah kebijakan gaji yang minimal, yang mana tentu saja lebih menguntungkan korporat daripada rakyat.
Dengan gaji yang minim ditambah dengan mahalnya kebutuhan pokok, tidak adanya sarana kesehatan dan pendidikan yang murah, akan memicu tekanan yang luar biasa bagi para pencari nafkah. Kekurangan dari sisi ekonomi inilah akhirnya membuat para ibu turut keluar, untuk menyingsingkan lengan dan turut mencari nafkah. Ketika kedua orangtua disibukkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan segala tekanan yang menghimpit, tentu saja emosi mereka juga turut tidak stabil, lebih-lebih ketika berhadapan dengan anak.
Dari sisi pendidikan, pelajaran akan pengendalian emosi juga tidak didapatkan selain hanya ilmu-ilmu pengetahuan yang masuk dalam kurikulumnya saja. Sekolah-sekolah di sistem sekularisme hanya berfokus pada transfer of knowledge, bukan transfer of characters. Nilai-nilai akademik lebih dipandang sesuatu yang penting daripada keimanan dan ketakwaan individu. Inilah yang kemudian mencetak generasi menjadi orang-orang yang individualis dan cenderung berbuat sesukanya, termasuk pada anak mereka sendiri.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa, maraknya kekerasan yang terjadi pada anak hari ini adalah buah daripada sistem yang terus-menerus merongrong pemikiran umat bahwa agama itu sesuatu hal yang tidak penting, hingga meniadakan rasa takut pada Tuhan dari individu-individunya. Yang padahal jika kita telaah lagi, seorang individu bisa memiliki rem ketika hendak melakukan sesuatu lantaran adanya rasa takut akan Tuhannya. Itulah gambaran nyata dari sistem sekulerisme.
Berbeda dengan Islam, dalam ideologi dan sistem Islam, umat dididik untuk mengenal Tuhan dan memiliki rasa takut akan Tuhannya. Dengan rasa takut itu, akan membentuk pribadi taqwa dan selalu merasa diawasi oleh Allah hingga menjadi pribadi yang senantiasa berhati-hati dalam bertindak tanduk, termasuk pada anak.
Ketika umat telah dibekali akidah yang kuat dan rasa takut pada Allah yang tertancap dengan dalam, tentu akan memahami juga bahwa anak mereka adalah amanah yang musti dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang. Selain itu, adanya kontrol masyarakat yang senantiasa saling mengingatkan apabila terjadi kesalahan dalam bertingkah laku.
Kemudian dari sisi negara yang menguatkan umat dengan kemudahan lapangan kerja bagi para lelaki yang telah baligh dan mampu untuk bekerja dengan upah yang pantas, karena segala sumber daya alam di negeri tersebut diurus secara langsung oleh negara tanpa campur tangan asing atau swasta. Dengan demikian, tak hanya lowongan pekerjaan saja yang mudah, tetapi juga kemudahan dalam fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sehingga membuat masyarakat tenang dan nyaman dalam menjalani hidup, termasuk dalam menjaga dan merawat anak-anaknya.
Maka dari itu, kesimpulan dari maraknya kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtuanya adalah tidak lain dan tidak bukan bersumber dari sistem sekularisme. Sedangkan solusi hakiki dalam menekan bahkan menghilangkan kasus kekerasan pada anak ini tidak lain adalah dengan penerapan sistem Islam secara kaffah.
Oleh karenanya, sudah seharusnya umat sadar bahwa hanya Islam lah satu-satunya solusi hakiki untuk mengatasi segala macam problematika kehidupan manusia hari ini. Sudah seharusnya umat Islam bersatu untuk memperjuangkan penerapan Islam secara kaffah di segala bidang, utamanya dalam bernegara dalam bingkai khilafah. Sehingga, kehidupan yang damai nan sejahtera bisa segera terwujud sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya.
"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para Rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan." (TQS Al-Araf 96).
Via
Opini
Posting Komentar