Opini
Usulan Pemilu 10 Tahun Sekali, Bukti Mahalnya Demokrasi
Oleh: Ria Nurvika Ginting, SH., MH
(Dosen-FH)
TanahRibathMedia.Com—Pernyataan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI fraksi NasDem, Muslim Ayub menjadi viral di media sosial. Muslim mengusulkan agar Pemilu bisa digelar selama 10 tahun sekali. Alasannya, agar yang dipakai untuk modal bertarung di Pemilu bisa kembali. Hal ini disampaikannya pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komnas HAM hingga Perludem di Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta, Rabu (30/10) lalu.
Muslim juga menyampaikan bahwa sampai kapan pun money politic dalam pemilu tidak akan bisa dihindari, apapun aturan baru yang dibuat. Rata-rata para figur yang maju untuk nyaleg menghabiskan dana minimal Rp20 miliar. Oleh karenanya, ia mengusulkan pemilu digelar 10 tahun sekali. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa sistem penyelenggaraan pemilu saat ini juga yang mengajarkan kita jadi jahat. Ia mencontohkan bagaimana di Aceh satu suara dihargai Rp200 ribu. Dana yang besar sekali menurut Muslim. Sehingga ia juga mengusulkan untuk melakukan pemilu dengan E-Voting untuk mengurangi kecurangan seperti ini.
Hal ini juga disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Darori Wonodipuro. Ia menyampaikan bahwa anggota DPR yang hadir dalam rapat ini sedang termenung dan memikirkan bagaimana mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk maju nyaleg kemaren dan tak terkecuali dirinya sendiri. Darori juga mengatakan bahwa faktanya 78 persen masyarakat memilih dengan ‘money politic’ dan masalahnya hal tersebut diatur dalam peraturan KPU yang memberikan peluang praktik itu dilakukan dalam jumlah terbatas. Bahkan ia menyampaikan bahwa jika yang maju pemilu adalah seorang kyai dan maling pasti yang menang adalah maling karena maling tukang nyolong sedangkan kyai jujur-jujur (CNNIndonesia.com, 30-10-2024).
Ini bukanlah rahasia lagi jika dalam praktik pemilu dalam memilih pemimpin dalam sistem Demokrasi-Kapitalis ini membutuhkan modal besar. Karena sistem ini berdiri atas dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Dimana sistem ini dengan sombongnya menyerahkan kewenangan untuk membuat aturan kepada manusia atau sekelompok manusia. sehingga standar dalam pelaksanaannya adalah kepentingan atau keuntungan. sistem ini memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki modal untuk berkuasa. Sehingga, wajar jika ingin menyalonkan diri menjadi pemimpin dalam sistem ini harus memiliki modal besar.
Hal ini juga yang menyebabkan para pemimpin dalam sistem ini tidak akan ada waktu untuk mengurusi rakyat seperti yang disampikan oleh Muslim Ayub bahwa selama lima tahun kedepan yang masih dipikirkan oleh anggota DPR adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan bahkan ada yang memikirkan bagaimana melunasi hutang-hutang ketika menyalonkan diri dalam pemilu kemaren. Inilah yang menjadi cikal bakal banyak lahirnya para koruptor di kalangan pejabat karena segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuannya.
Kultur politik yang seperti ini akan berkebang dan tumbuh subur dalam sistem politik Demokrasi-Kapitalisme. Selama pondasi, standar dan cara pandangnya masih dibangun berdasarkan sekularisme dan asas kepentingan maka politik seperti ini akan terus hidup ditengah-tengah masyarakat. Solusi nya bukan dengan memberikan kesempatan kepada para pejabat untuk mengembalikan modal dengan digelarnya 10 tahun sekali pemilu atau dibuat sistem pemilu dengan E-Voting tapi standar politiknya yang harus dirubah. Harus ada perubahan mendasar bukan perubahan parsial yakni merubah sistem Demokrasi-Kapitalis menjadi sistem yang sesuai fitrah manusia. Sistem yang akan menghilangkan money politik dalam sistem politiknya yakni sistem Islam yang diterapkan dalam sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Sistem Islam Menghilangkan Money Politic
Sistem Islam dengan sistem politiknya akan menghilangkan praktek money politic. Jaminan pertama yang diberikan Islam adalah ada pada akidah Islam yang menjadi pondasi kehidupan termasuk dalam sistem politiknya. Dengan akidah Islam maka setiap individu akan memiliki ketakwaan kepada Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupannya. Hal ini memunculkan self control (kontrol diri) didalam diri mereka. selain itu, dengan ketakwaan ini maka masyarakat juga akan memiliki social control sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar akan berjalan dengan baik ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, dengan ketakwaan ini pun menjadikan negara hanya akan menjalankan satu hukum saja yakni syariat Islam tidak yang lain. negara juga tidak akan pandang bulu dalam menegakkan hukum terhadap seluruh rakyat. Dengan ketiga faktor ini yakni ketakwaan indvidu, kontrol masyarakat dan negara yang menegakkan hukum Islam maka kultur yang berkembang dan tumbuh subur adalah kultur yang baik dan sehat.
Islam juga dengan tegas mengharamkan praktik suap. Penyuap, penerima suap dan perantara. Bukan hanya suap tetapi hadiah yang diberikan kepada penguasa juga diharamkan. Selain itu, Islam menutup celah untuk tumbuh dan berkembangnya praktik ini. praktik ini biasanya terkait dengan kepentingan penyuap yang hendak dipenuhi. Sementara aspek ini terkait dengan urusan administrasi dan birokrasi maka Islam membangun administrasi dan birokrasi dengan tiga prinsip dasar: (1) birokrasi yang sederhana; (2) cepat proses dan penyelesaiannya; (3) ditangani oleh orang yang profesional dan bertakwa. Selain itu, akan diterapkan sistem sanksi yang memberikan efek jera tanpa pandang bulu. Islam menetapkan ta’zir sebagai bentuk sanksi yang diberlakukan kepada mereka, dimana kadar dan beratnya akan ditetapkan oleh hakim. Hal ini hanya dapat terwujud jika sistem saat ini diganti dengan sistem Islam yang menerapkan seluruh syariat Islam dalam sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Via
Opini
Posting Komentar