Opini
Antara Pajak Zalim Vs.Zakat yang Menyejahterakan: Saatnya Mengambil Islam sebagai Solusi
Oleh: Nurul Mauludiyah
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Detik-detik menjelang pemberlakuan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di awal tahun 2025 menuai protes dari berbagai pihak. Petisi penolakan kebijakan tersebut ditandatangani hampir 200 ribu warganet sebagaimana dimuat dalam laman beritasatu.com pada 20 Desember 2024. Gelombang aksi mahasiswa juga dilakukan untuk menolak kenaikan pajak tersebut. “Seluruh mahasiswa tak bisa makan warteg Rp.10 ribu jika PPN 12 persen,” begitu judul berita di laman detiknews.com pada 27 Desember 2024. Meski demikian, belum ada sinyal pembatalan dari negara terkait rencana ini.
Menurut McLure, C. E. (1986) dalam The Taxation of Income from Business and Capital in Colombia, pajak adalah kewajiban finansial yang dikenakan oleh pemerintah kepada individu atau badan untuk menghasilkan pendapatan negara tanpa mendapatkan balas jasa langsung. Pajak merupakan salah satu instrumen pendapatan di seluruh negara di dunia saat ini.
Konsep pajak dalam sistem perpajakan modern pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Buku ini merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam ilmu ekonomi dan menjadi landasan filosofis dalam penetapan pajak modern yang efektif dan efisien. Menurut Adam Smith, ada empat prinsip pajak yang disebut dengan The Canons of Taxation yaitu: equality (keadilan), certainly (kepastian), convinience (kemudahan), dan economy (efisien). Konsep keadilan dalam sistem pajak yang digagas Adam Smith mengharuskan pungutan pajak sesuai dengan penghasilan wajib pajak, konsep kepastian menetapkan bahwa pajak harus tetap dan tidak berubah-ubah, sedang yang dimaksud dengan aspek kemudahan adalah pemungutan pajak harus memudahkan pembayarannya oleh wajib pajak, dan konsep ekonomi mengharuskan pajak dipungut secara efisien yang memastikan biaya memungut pajak tidak boleh lebih besar dibanding pajak yang dipungut.
Melihat realita penerapan pajak hari ini, empat konsep yang digagas Adam Smith nyatanya tak pernah terjadi. Penduduk dunia hari ini, merasakan besaran pajak yang semakin progresif, beragam dan mencekik kehidupan mereka. Di Indonesia sendiri, penerapan PPN 12 persen di awal tahun 2025 secara nyata membuktikan ketidakadilan pada rakyat.
PPN di Indonesia baru saja dinaikkan tahun 2024 dan akan kembali naik tahun 2025. Meski model pemungutan PPN ini terbilang mudah, yaitu dipungut secara tunai ketika barang terjual dengan jumlah yang jelas. Namun dampak yang dihasilkan pasti akan menaikkan seluruh harga barang dan jasa yang ada di masyarakat sekaligus menurunkan jumlah barang yang beredar di pasar/ diperdagangkan. Dampak lanjutannya adalah terciptanya ilkim bisnis yang semakin tidak kondusif. Rakyat akan semakin menderita dengan harga-harga barang yang terus merangkak naik sedang para pengusaha tak ada pilihan lain kecuali menaikkan harga barangnya agar mereka tetap untung.
Konsep pungutan pajak terbukti sangat tidak adil pada rakyat. Konsep ini adalah warisan usang dari sistem ekonomi kapitalisme Barat yang menyengsarakan. Sudah seharusnya ada gagasan dan konsep pengganti yang bisa memberikan kepastian pemasukan pada negara agar aktivitas negara bisa berjalan dalam mengurus urusan rakyatnya sekaligus menyejahterakan rakyatnya. Islam sebagai sebuah sistem kehidupan sudah sejak ratusan tahun silam memiliki konsep yang sempurna tentang penerimaan negaran.
Dalam Islam, sejak diterapkan Islam pertama kali oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para khalifah negara Khilafah. Mereka melakukan pungutan berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasar pada pikiran dan kepentingan manusia sebagaimana hari ini. Pungutan tersebut berupa zakat pada harta, dan pungutan pada tanah produktif yang disebut kharaj.
Fakta sebagaimana pada pajak PPN tidak terjadi pada pungutan zakat di dalam Islam. Dalam aspek keadilan, sistem zakat dalam Islam tampak sangat adil karena hanya ditetapkan atas orang kaya. Dalam aspek kepastian, dalam Islam sistem zakat maal tarif sudah ditetapkan oleh Asy Syari’ dan tidak boleh diubah oleh siapapun yaitu sebesar 2,5 persen sesuai haul dan nisab hartanya. Dalam aspek kemudahan, pajak dalam sistem kapitalisme nyatanya menyulitkan rakyat karena dipungut dengan tarif progresif meski pendapatan rakyat tidak naik. Sedangkan dalam zakat, wajib zakat ditetapkan sesuai haul dan nishab dan bisa dibayarkan dalam bentuk apapun yang dapat memudahkan dalam pembayarannya. Dalam aspek efisiensi, pajak hari ini justru banyak dikorupsi bahkan oleh aparat negara. Islam justru menetapkan pemungutannya berlandaskan dorongan ruhiyah yang meniscayakan kesederhanaan dan efisiensi serta kejujuran dalam pemungutannya.
Zakat di dalam sistem ekonomi Islam, justru akan menciptakan iklim usaha yang baik dan menghilangkan dampak negatif pada arus barang dan jasa di tengah masyarakat. Zakat binatang ternak misalnya, rate zakat semakin mengecil kala kuantitas ternak seorang muslim semakin besar. Ini akan menciptakan suasana yang kondusif pada para peternak untuk semakin memperbanyak ternaknya. Sedangkan zakat pertanian, ditetapkan tetap sehingga ketersediaan pasokan produk pertanian di masyarakat terjaga dan tak kelebihan dalam rangka mengantisipasi pembusukan/penumpukan produk pertanian.
Dua contoh tersebut nyata-nyata merupakan konsep shahih yang menyejahterakan yang hanya bisa diterapkan dalam sistem ekonomi Islam dalam bingkai negara Islam. Tak bisa jika hanya diterapkan Islam dalam aspek ekonomi saja, namun aspek lain masih berlandaskan sekularisme.
Pada akhirnya, dunia membutuhkan konsep ekonomi shahih berlandaskan wahyu Al Khaliq Al Mudabbir Allah Swt. Bukan sistem ekonomi berdasar akal manusia yang penuh keterbatasan sekaligus memuat kepentingan segelintir orang. Kezaliman pungutan pajak harus diakhiri dengan kesungguhan menawarkan solusi paripurna untuk negeri ini dengan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Via
Opini
Posting Komentar