Opini
Bullying Tak Habis-Habis dalam Sistem Sekuler Kapitalis
Oleh: Sri Handayani
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Berita tentang bullying seolah tak ada habisnya. Baru-baru ini kasus pembunuhan balita di Percut, Deli Serdang, Sumut, karena pelaku merasa kesal diolok-olok sebagai orang gila dan kudisan.
Rudi Sihaloho (41 thn) mengaku sakit hati atas panggilan yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya. Hari itu, Senin, 9- 12- 2024, ketika dia sedang duduk-duduk, anak-anak tetangga depan rumahnya memanggil-memanggilnya dengan sebutan yang membuatnya emosi. Rudi mengambil pisau di rumahnya membunuh Daren, Owen dan Nathan masing-masing berusia 2, 3 dan 7 tahun. Dari ketiga korban, Nathan dalam kondisi kritis. Dua korban lainnya meninggal (Tempo.co, 11-12-2024).
Sekularisme Kapitalis Produsen Bullying
Perilaku masyarakat sekuler kapitalis mudah memberikan judgment. Di sana berkembang prinsip kebebasan berekspresi yang melahirkan prinsip kebebasan berpendapat. Tidak heran prinsip tersebut melahirkan jiwa-jiwa yang mudah mengekspresikan keinginan masing-masing. Kata gila, kudisan menjadi mudah disematkan atas orang lain yang dalam kriteria mereka masuk dalam kategori tersebut.
Diawali dari para orang dewasa yang berpikir normal membaca tingkah tidak normal seorang karena terjangkit epilepsi ditambah kesalahkaprahan sebutan bagi para penderita dengan label saraf. Kesalahkaprahan selanjutnya bertambah, yaitu menganggap bahwa setiap sakit saraf berarti gila. Sebutan gila berkembang dengan liar dalam masyarakat yang secara prinsip tidak mengadopsi akhlak sebagai bagian penting sikap seseorang. Istilah gila ini beredar termasuk kepada anak-anak tanpa mereka memahami kondisi yang bisa memunculkan bahaya. Panggilan yang ditujukan kepada orang lain yang sebenarnya merendahkan dan olok-olok dianggap biasa sebagai bagian dari sapaan bahkan menjadi cara berkomunikasi untuk mengakrabkan diri.
Di sisi lain, orang dengan sakit epilepsi sebagaimana manusia normal lainnya yang memiliki emosi atas sesuatu yang menimpanya. Jika dia merasa terhina, memunculkan rasa marah dan ingin melampiaskannya dengan melakukan sesuatu hingga hilang emosi dalam dirinya. Apabila rasa marah tersebut disimpan tetapi tekanannya selalu berlangsung, maka akan memunculkan dendam. Sesuatu yang terjadi sudah lama terakumulasi menuntut objek untuk menuntaskan dendam. Tidak hanya orang yang terkena epilepsi, bahkan orang normal pun akan marah jika diolok-olok.
Bullying adalah tindakan sewenang-wenang untuk melakukan penindasan dengan tujuan untuk merendahkan orang lain. Bullying di Indonesia sempat mengalami penurunan dari 119 kasus di tahun 2020 menjadi 53 kasus di tahun 2021, tetapi naik lagi menjadi 226 kasus di tahun 2022 dan meningkat drastis menjadi 3200 kasus pada tahun 2023 dengan persentase bullying psikologis 15,2 persen dan tertinggi di sektor pendidikan.
Bullying di tengah masyarakat cenderung susah dihilangkan, sekalipun jumlahnya kecil. Jumlah kecil tersebut konsisten di satu bagian tertentu serta pengkategorian yang melibatkan aturan atau sistem.
Sebagai contoh, pengkategorian miskin yang sengaja disematkan untuk kelas masyarakat tertentu. Tujuannya adalah merendahkan. Yaitu supaya anggota masyarakat malu dikatakan miskin dan memudahkan pemerintah untuk mengurangi jumlah subsidi.
Contoh lain bullying yang melibatkan masyarakat karena anggapan stereotip. Misalnya dalam kasus di atas, yaitu sakit saraf adalah sakit gila. Padahal tidak semua sakit saraf adalah gila. Dua jenis bullying di atas yang berkembang di tengah masyarakat jumlahnya relatif kecil, relatif konsisten, dan lebih majemuk.
Masyarakat adalah kumpulan manusia dengan interaksi dalam pemikiran, perasaan, dan aturan. Dari interaksi tersebut lahir norma. Jika norma yang berkembang memandang lumrah sebutan gila bagi penderita epilepsi, maka norma itu dipraktekkan dari waktu ke waktu.
Dalam masyarakat sekularis, norma dibangun berdasarkan pada pandangan bahwa hidup terpisah dengan urusan agama. Kebebasan berbicara menjadi kemerdekaan tiap orang untuk mengekspresikan diri. Pengekspresian inilah yang memunculkan reaksi bagi pihak yang tersinggung, tapi dalam kenyataannya di tengah masyarakat ketersinggungan tersebut bisa dikalahkan oleh yang berkuasa. Diantaranya jenis kekuasaan berupa harta atau kedudukan. Ini yang menyebabkan banyak masalah karena tidak sesuai dengan fitrah manusia yang membutuhkan ketenangan dalam membangun hubungan dengan sesama.
Anak sebagai bagian masyarakat masih memiliki keterbatasan berpikir, senang menirukan perkataan orang lain, dan menganggap mereka adalah guru. Bagi anak, menirukan yang dikatakan orang yang lebih dewasa bisa dianggap prestasi. Mereka sendiri tidak mengenal istilah bullying. Bullying dalam kasus ini muncul karena stigma masyarakat. Sedangkan anak- anak adalah pengguna stigma itu. Seandainya anak-anak diberitahu agar tidak melakukan bullying pun mereka tidak tahu. Bagi mereka makin mirip pengucapan atas stigma dan berulang-ulang makin baik. Maka bahaya mengajarkan kata-kata yang buruk. Maka untuk mengajarkan hal yang benar terhadap anak-anak membutuhkan pranata sosial yang merujuk pada agama, yaitu agama yang mengajarkan untuk berkata baik atau diam.
Tanggung Jawab Negara
Dalam masalah di atas, perlu diurai problem yang melingkupi agar jelas solusinya dengan penyelesaian yang memuaskan akal dan menentramkan hati. Rudi adalah seorang pengangguran yang ditinggal istri dan anaknya karena epilepsi yang dideritanya. Untuk keperluan sehari-hari ia ditopang saudaranya, bertetangga dengan keluarga muda yang memiliki 3 anak. Suaminya seorang driver dan istrinya perawat. Pembunuhan tersebut terjadi di saat mereka sedang bekerja.
Sebenarnya, jika dilihat sekilas bisa dipahami bahwa Rudi mengalami depresi dari dua hal, yaitu ditinggal keluarganya dan tidak memiliki pekerjaan. Andai dia mendekatkan diri kepada Allah dan faham bahwa konsep rezekinya untuk bersama istrinya memiliki batas waktu. Dia perlu ketenangan untuk memikirkan pekerjaan untuk menafkahi dirinya dan istrinya kelak jika ingin menikah lagi dan memungkinkan mendapat kebahagiaan yang lain dari istri yang berbeda.
Sakit epilepsinya bisa diperiksa berkala ke rumah sakit. Juga keyakinan kepada Allah bahwa Allah Maha menyembuhkan segala penyakit, sebagaimana Allah menitipkan penyakit kepadanya. Dia perlu berdamai dengan sakitnya dan tak perlu membencinya sebelum itu.
Tetapi tiga hal di atas tidak mungkin terjadi jika negara tidak menerapkan aturan Allah. Allah berfirman dalam Surat Al A'raf ayat 96 : "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah kami akan melimpahkan atas mereka berkah dari langit dan bumi akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) maka kami siksa mereka dengan sebab perbuatannya".
Seandainya perintah Allah yang ditetapkan bukan hanya keimanan yang kuat, tetapi biaya rumah sakit yang ringan, bahkan mungkin gratis dengan pelayanan dari orang-orang yang memanusiakan manusia. Bukan hanya masalah akhlak tetapi negara wajib menjaga kestabilan sosial dan memberikan sanksi atas orang orang yang menghina orang lain. Jika mereka masih kecil maka orang tuanya yang akan menanggungnya sebagai bagian tanggung jawab pendidikan. Tetapi Allah juga akan memberi hukuman atas pembunuhan yang terjadi.
Sungguh kasihan para balita yang menjadi korban Rudi. Juga orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Tetapi Rudi juga kasihan karena dia korban negara yang tidak menerapkan aturan Allah.
Via
Opini
Posting Komentar