Opini
Islam, Solusi Tuntas Berantas Korupsi
Oleh: Deda
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menjadi isu sentral selama bertahun-tahun. Pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat sipil terus meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengatasi praktik korupsi yang meluas. Meski demikian, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara komitmen yang dicanangkan dengan hasil yang nyata. Hal ini mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam memerangi korupsi secara efektif.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah interferensi politik, yang sering kali menghambat independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam beberapa kasus, intervensi dari pihak berkepentingan membuat KPK sulit menjalankan penyelidikan atau penuntutan secara objektif. Misalnya, penanganan kasus korupsi yang melibatkan tokoh politik berpengaruh kerap kali terhambat atau tidak ditangani dengan optimal. Kondisi ini menimbulkan persepsi negatif di masyarakat bahwa penegakan hukum terhadap korupsi cenderung tebang pilih dan tidak sepenuhnya transparan.
Selain itu, KPK juga menghadapi kendala internal berupa keterbatasan sumber daya. Untuk menangani jaringan korupsi yang makin kompleks, lembaga ini memerlukan dukungan anggaran yang memadai, infrastruktur yang memadai, serta jumlah personil yang cukup. Namun, alokasi anggaran yang tidak mencukupi sering kali membatasi kemampuan KPK untuk melakukan investigasi mendalam dan menyeluruh. Akibatnya, beberapa kasus besar membutuhkan waktu lama untuk ditangani, atau bahkan tidak dapat diusut tuntas (Kompasiana.com, 21-11-2024).
Kombinasi antara tekanan eksternal berupa campur tangan politik dan keterbatasan internal dalam hal sumber daya menunjukkan pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bergantung pada KPK semata. Namun, untuk memahami akar persoalan ini lebih dalam, penting melihat penyebab utama yang menyebabkan ketidaksejajaran antara komitmen pemberantasan korupsi dan hasil yang dicapai.
Beberapa faktor utama yang menjadi penyebab ketidaksejajaran tersebut adalah: Pertama, sekularisme. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai agama sering tidak diterapkan dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, ada perbedaan antara keyakinan pribadi seseorang dan perilakunya saat menjabat. Hal ini membuat integritas, yang seharusnya menjadi dasar dalam menjalankan tugas, sering diabaikan, dan membuka kesempatan untuk terjadinya korupsi.
Kedua, sistem demokrasi. Sistem demokrasi di Indonesia, meskipun memberikan kebebasan politik, juga membuka ruang besar bagi transaksi kekuasaan. Dalam proses pemilu, biaya politik yang tinggi mendorong banyak politisi mencari cara untuk ’balik modal' setelah terpilih. Kondisi ini sering kali memicu mereka untuk memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dibandingkan kepentingan rakyat. Sistem ini secara tidak langsung menciptakan ekosistem yang subur bagi praktik korupsi di berbagai tingkatan.
Ketiga, sanksi yang tidak berefek jera. Hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi seringkali tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan terhadap negara dan masyarakat. Sebagai contoh, banyak koruptor yang hanya dihukum beberapa tahun, bahkan mendapatkan remisi atau fasilitas istimewa selama masa tahanan. Lebih buruk lagi, setelah bebas, mereka sering kali tetap dapat menikmati hasil dari tindakan korupsinya. Ketiadaan efek jera ini mendorong terulangnya praktik korupsi oleh pihak lain.
Keempat, tidak independensinya lembaga pemberantasan korupsi KPK. Sekarang ini, KPK sama sekali tidak menunjukkan performance sebagai lembaga yang independen.
Pandangan Islam Terhadap Korupsi
Dalam Islam, korupsi termasuk dosa besar yang sangat dikecam. Korupsi mencakup suap (risywah) dan penggelapan harta (ghulul), yang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Perbuatan ini merusak hubungan sosial, menciptakan ketidakadilan, dan menghilangkan hak-hak orang lain. Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara antara keduanya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Larangan ini bertujuan menjaga keadilan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, pelaku korupsi diancam dengan hukuman berat, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman, “Barang siapa yang berbuat curang (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang ia curangi. Kemudian setiap jiwa akan diberi balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya, dan mereka tidak akan dizalimi” (TQS Ali Imran: 161).
Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai keadilan, integritas, dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, sistem sosial dan ekonomi menjadi lemah, dan kesenjangan sosial semakin besar. Oleh karena itu, Islam memandang korupsi sebagai perbuatan tercela yang harus dihindari, dicegah, dan ditindak tegas demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
Oleh karena itu, Islam punya cara yang sangat lengkap dan menyeluruh untuk mengatasi korupsi, baik dari mencegahnya sebelum terjadi maupun menanganinya apabila sudah terjadi.
Pertama, lewat pendidikan tsaqafah Islam, Islam mengajarkan kita untuk selalu sadar bahwa Allah Swt. selalu melihat apa pun yang kita lakukan. Nilai keimanan dan kejujuran ini harus ditanamkan sejak kecil supaya anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang takut berbuat dosa, termasuk korupsi.
Kedua, sistem pemerintahan berbasis syariah menjadi kunci penting untuk mencegah korupsi. Dalam Islam, pemimpin itu harus amanah, jujur, dan adil. Mereka dipilih bukan karena popularitas atau uang, tapi karena integritas dan kemampuannya. Jadi, pemimpin yang seperti ini insyaAllah akan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya tanpa mengambil hak orang lain.
Ketiga, Islam memberi sanksi yang tegas dan adil kepada pelaku korupsi. Harta yang didapat dari korupsi akan dirampas, dan pelakunya bisa dihukum setimpal. Hukuman ini bukan hanya untuk membalas perbuatannya, tapi juga supaya orang lain takut untuk melakukan hal yang sama.
Keempat, Islam mengajarkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Para pemimpin dan pejabat diwajibkan hidup sederhana dan melaporkan kekayaan mereka secara jujur. Kita bisa belajar dari Khalifah Umar bin Khattab, yang selalu memantau pejabatnya. Kalau ada yang menyimpang, beliau tidak segan-segan mencopot mereka dari jabatan.
Kelima, Islam meminta kita semua sebagai masyarakat untuk aktif mengawasi pemimpin. Dalam Islam, kita diajarkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mengingatkan pemimpin adalah bagian dari tanggung jawab umat untuk menjaga keadilan dan kebenaran. Kalau ada pejabat atau pemimpin yang mulai menyimpang, kita wajib mengingatkan atau melaporkannya.
Untuk mendukung tugas ini, penting bagi umat Islam untuk memiliki suatu kelompok yang konsisten mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran: 104).
Adanya kelompok ini sangat penting untuk menjaga agar amar ma’ruf nahi munkar tetap berjalan secara terorganisasi dan berkelanjutan. Kelompok ini menjadi pengingat bagi masyarakat dan pemimpin sekaligus sebagai pelopor dalam menjaga nilai-nilai Islam di tengah kehidupan. Dengan cara ini, masyarakat dapat terus terjaga dari berbagai bentuk penyimpangan, termasuk korupsi dan ketidakadilan.
Cara-cara ini menunjukkan bahwa Islam sangat peduli dengan keadilan dan kesejahteraan. Kalau kita semua menjalankan ini dengan sungguh-sungguh, insyaa Allah korupsi bisa kita berantas dan masyarakat akan hidup dengan lebih aman dan makmur.
Via
Opini
Posting Komentar