Opini
Kenapa Standar Hidup Bukan Kebutuhan Hidup?
Oleh: Dhevyna Wahyu Tri Wardani
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Buruh ramai-ramai merespon terkait standar hidup layak 2024 sebesar RP 1,02 juta perbulan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistika (BPS). Meski namanya ‘standar’, BPS menegaskan ini bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Standar hidup layak hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan mnusia (IPM) (CNN, 28-11-2024).
Dapat dikatakan BPS tidak tepat menggunakan istilah standar hidup seperti ujar Mirah kepada CNN Indonesia.com pada Kamis (28-11-2024).
“Masalahnya, BPS menggunakan kalimat standar hidup jadi, masih rancu. Masyarakat juga kebinggungan seharusnya bukan standar hidup judulnya tetapi rata-rata penggeluaran.
Negara ini menentukan standar hidup layak dengan jumlah minimal yang sejatinya tidak layak, tidak terwujudnya kesejahteraan pada masyarakat. Menunjukan bahwa seakan akan negara abai dengan kebutuhan warganya. Sehingga rakyat hidup serba kekurangan.
Katanya standar hidup layak namun, faktanya buruh dengan upah Rp1,02 juta harus hidup dengan terhimpit kekurangan. Bayangkan saja seorang ayah yang memiliki tanggungan seorang istri dan dua orang anak dengan gaji 1,02 juta seakan jauh dari kata cukup.
Pasalnya, rumah kontrakan, paling murah saja kini harganya 500 ribu, belum lagi dikurang dengan kebutuhan kebutuhan primer lainya seperti makanan dan pakaian. Lalu kebutuhan lain berupa pendidikan dan kesehatan juga sulit untuk dibiayai. Inikah yang disebut standar hidup layak? Lalu dengan apa rakyat memenuhi kebutuhan kebutuhan yang belum mampu terpenuhi? Apakah pemerintah peduli akan hal ini?
Tentu pemerintah tak akan peduli, di dalam negara yang menganut sistem kapitalis ini akan mengedepankan keuntungan. Buruh hanya dipandang sebagai salah satu faktor produksi. Pandangan semacam ini akan mengantarkan pada sistem gaji dengan perhitungan kebutuhan paling minim.
Dan dalam sistem ini akan dengan mudah hal tersebut dapat diubah dengan perhitungan atas dasar keuntungan yang akan menekan para buruh, yang akan digaji seminimal mungkin. Dalam sistem yang tidak memanusiakan manusia ini akan menyamarkan keberadaan individu miskin yang dibalut dengan adanya angka yang menjadi ‘standar hidup layak.
Standar hidup layak yang memanusiakan manusia hanya ada pada sistem Islam. Standar hidup layak tidak hanya diukur dari gaji yang didapatkan oleh buruh, tetapi juga akan diukur dengan pemenuhan kebutuhan setiap individunya.
Konsep tersebut tidak jauh dari apa yang telah diatur di dalam Islam dalam sistem ekonomi Islam dari prinsip dasarnya yakni (muamalah) yang berdasar kepada kesejahteraan dan keadilan.
Islam juga akan memberikan lapangan pekerjaan bagi laki-laki apalagi sudah berkeluarga. Agar dapat menafkahi keluargnya secara ma’ruf (layak) seperti pada firman Allah:
و على المولوده رزقهنّ وكسو تهنّ با المعروف لا تكلّف نفس الاّ وسعها
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya” ( TQS. Al Baqarah ayat 233).
Islam pun memiliki syariat dalam menetapkan gaji. Penetapan untuk memperkirkan gaji adalah dengan akad ijarah (kontrak kerja) yang menyatakan adanya jasa tertentu, gaji tidak diperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja.
Dan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan hal tersebut akan ditanggung oleh negara. Negara akan memastikan pemenuhan kebutuhan ini bagi setiap individu.
Negara sebagai raa’in (pengurus) yang dapat mengurusi rakyatnya dengan penuh tanggung jawab hanya ada bila sistem islam ditegakkan pada negara tersebut. Dengan ditegakkannya sistem ini akan lebih memudahkan untuk menjalankan syariat islam secara kaffah tanpa adanya kezaliman.
Wallahua’lam bi ash shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar