Opini
Kesehatan ala Kapitalisme Vs. Islam
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan. Ia berkorelasi terhadap produktivitas seseorang, baik dari segi kesejahteraan fisik, mental, ekonomi, sosial, maupun spiritual. Eksistensinya menjadi hak fundamental setiap manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Bahkan, jaminan atasnya tertuang di dalam instrumen hukum nasional dan internasional. Negara tak sekedar memastikan ketersediaan, namun juga aksesibilitas serta kualitas layanan. Masyarakat berhak memperoleh akses pencegahan dan pengobatan suatu gangguan/penyakit dalam dirinya.
Sayangnya, problem kesehatan masih banyak dijumpai di Indonesia. Dari sisi upaya pengobatan, tercatat 80 persen warga desa masih melakukan pengobatan sendiri yang disebabkan status ekonomi dan akses tempat tinggal yang menyulitkan mereka mendapat layanan kesehatan (Goodstats, 11-12-2024).
Kurangnya jumlah tenaga medis di sejumlah wilayah pun masih butuh perhatian. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Suyuti Syamsul, menegaskan bahwa jumlah dokter di wilayahnya masih 800 orang. Padahal dengan jumlah penduduk sekitar 2,7 juta jiwa, idealnya 2700 dokter siap diterjunkan. Pengamat Tenaga Kesehatan yang juga Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalteng periode 2019-2024, Siswandi, mengatakan hal tersebut disebabkan penyebaran tenaga medis kebanyakan terkonsentrasi hanya di perkotaan (Rri.co.id, 1-10-2024).
Sementara itu, program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Muncul saran agar iuran naik. Namun berdasarkan perhitungan terbaru, kenaikan hingga 10 persen pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial (Bisnis.com, 7-12-2024).
Sederet fakta di atas, mengonfirmasi betapa keji kepemimpinan sekuler saat ini. Terhadap aspek penting yang berdampak pada kelangsungan hidup rakyatnya, negara bisa bersikap abai. Keikutsertaan dalam program jaminan kesehatan berbayar, nyatanya tak menjamin bisa memperoleh layanan yang berkualitas. Bahkan kerap dijumpai di lapangan perlakuan diskriminasi antara pasien BPJS dengan umum.
Dari sini, kita bisa melihat negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Kesehatan dikapitalisasi atau dijadikan ladang bisnis. Negara tak lagi menjadi pemain tunggal sebagai penyelenggara sistem kesehatan untuk rakyat.
Sementara itu, Islam memiliki paradigma berbeda tentang kesehatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhari, Rasulullah bersabda, "Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.”
Dalam hadis ini, kesehatan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Artinya, keduanya menjadi kebutuhan dasar yang pemenuhannya tidak dapat ditunda.
Islam juga mengatur bahwa negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hal ini. Karenanya, negara wajib mengupayakan secara optimal baik dari sisi pencegahan, pelayanan, pembiayaan, infrastruktur, dan juga prasarana.
Langkah pencegahan bisa dimulai dengan edukasi pola hidup sehat, pembangunan drainase dan sanitasi yang baik, ventilasi yang baik, pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan kontrol efektif terhadap pantologi sosial.
Dari sisi layanan, SDM sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, apoteker, dan tenaga medis lainnya harus tersebar secara merata untuk menghindari ketimpangan pelayanan antara desa dan kota. Kompetensi dan profesionalitas harus dijamin agar kasus semacam mal praktek tidak terjadi. Ini agar tenaga medis yang bertugas, hanyalah mereka yang memenuhi kualifikasi dan lolos seleksi ketat.
Kemudian dari sisi infrastruktur, bukan omong kosong, sejarah telah mencatat bagaimana negara berbasis Islam bersungguh-sungguh dalam memaksimalkan akses kesehatan. Bahkan RS menjadi tempat favorit pelancong asing yang ingin merasakan sedikit pelayanan mewah tanpa biaya karena seluruhnya bebas biaya. Namun, apabila terbukti tidak sakit, mereka akan disuruh pergi karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.
Fakta historis juga menunjukkan sebuah prestasi mengagumkan, ketika layanan kesehatan bisa dinikmati secara gratis, berkualitas, administrasi tidak berbelit, dan tanpa diskriminasi dengan pembiayaan dari kas baitul mal. Bimaristan, adalah salah satu rumah sakit yang berhasil bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.
Demikian serius Islam memberikan perhatian terhadap aspek kesehatan. Ia tidak dianggap perkara sepele, apalagi main-main karena berkaitan langsung dengan nyawa manusia. Ia tidak dianggap sebagai beban ekonomi, apalagi komoditi menguntungkan yang berujung pada pemalakan. Karena itu, menjadi sebuah urgensi bagi kaum muslimin saat ini untuk mengembalikan peran negara sebagai raain dan junnah, sebagai penanggungjawab utama rakyat, dengan meletakkan Islam sebagai pondasi berdirinya negara.
Via
Opini
Posting Komentar