Opini
Ketika Semesta Memberi Tanda Bahaya, Harus Bagaimana?
Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia. Com—Menjelang akhir tahun, negeri ini masih terus berada dalam pusaran bencana yang terjadi di mana-mana. Seakan saling berlomba, di berbagai daerah tak luput dari peristiwa yang mengancam kehidupan manusia. Salah satu wilayah yang diterjang bencana secara bersamaan adalah beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat.
Bencana menimpa nyaris merata di sejumlah wilayah di Kabupaten Sukabumi. Deden Sumpena, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi, menyatakan bahwa jenis bencana merusak yang terjadi di tiap kecamatan sangat bervariasi. (detik.com, 08-12-24)
Pasca bencana hidrometeorologi yang melanda, akhirnya Pemerintah Kabupaten Sukabumi menetapkan status tanggap darurat bencana. Bencana hidrometeorologi terjadi pada Selasa (3-12-2024) dan Rabu (4-12-2024) yang menghancurkan sejumlah daerah di Kabupaten Sukabumi terdiri dari banjir, tanah longsor, pergerakan tanah, dan angin kencang (tirto.id, 05-12-2024).
Banjir dan longsor juga melanda beberapa kecamatan di wilayah Cianjur, Jawa Barat, Rabu (4/12). Dari data yang diperoleh, tercatat ada 27 titik bencana longsor, pergerakan tanah, dan banjir terjadi di 10 kecamatan di Cianjur bagian Selatan. Akibat bencana ini akses jalan terputus total karena pergerakan tanah dan longsor (kumparan.com, 04-12-2024).
Dari Pandeglang, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) mencatat ada 7.164 hektare lahan persawahan yang terdampak banjir di sana. Kepala DPKP Pandeglang M Nasir menyatakan petani berpotensi menghadapi gagal panen akibat banjir (detik.com, 11-12-24).
Secara umum, bencana adalah hal yang lumrah terjadi di suatu tempat. Tidak ada satu pun wilayah yang luput dari bencana, kendati sifatnya ringan. Hanya saja jika bencana itu terus berulang, terjadi besarnya kerugian bahkan menelan korban, tentu memunculkan pertanyaan, ada apa di balik ini semua? Ketika alam marah dan memberikan tanda bahaya lewat masifnya berbagai bencana, kita harus bagaimana?
Bukan Bencana Biasa
Bencana dapat terjadi karena dua hal. Pertama, faktor alam. Bencana seperti ini biasanya terjadi karena kondisi alam yang secara alami menyebabkannya. Misal gunung meletus karena adanya erupsi, gempa karena adanya pergeseran lempeng bumi. Angin topan, puting beliung, badai dan sejenisnya karena adanya faktor perbedaan tekanan atau suhu udara.
Kedua, bencana karena ulah tangan-tangan manusia. Misalnya banjir karena hilangnya daerah resapan air akibat pembangunan yang tidak bertanggung jawab dan manusia yang membuang sampah sembarangan. Longsor karena penebangan hutan secara liar, pencemaran udara oleh asap karena pembakaran lahan untuk dibukanya kawasan pabrik, pencemaran tanah dan air akibat limbah pabrik yang dibuang sembarangan dan masih banyak lagi. Bencana yang disebabkan karena perbuatan manusia bukanlah bencana alami yang terjadi begitu saja. Ia bukan bencana biasa.
Jika dilihat secara mendalam banyaknya bencana seperti ini karena pelanggaran syariat yang menghantarkan kepada kehidupan tanpa syariat yang benar (Islam). Sebaliknya, kehidupan malah diatur dengan sistem sekularisme kapitalisme yang menyebabkan berbagai kerusakan dan bencana.
Prinsip sekularisme kapitalisme berpegang kepada kebebasan dalam berbuat dan memiliki. Sistem ini memisahkan peran agama dalam mengatur kehidupan, termasuk ketika manusia mengelola dan memanfaafkan kekayaan alam. Begitu pula kapitalisme yang meniscayakan manusia untuk mengeruk keuntungan materi dengan menghalalkan segala cara.
Akhirnya dengan kebebasan ini terjadilah eksploitasi alam secara besar-besaran atas nama pembangunan. Tidak peduli akibat yang ditimbulkan, karena yang ada di pikiran hanya cuan menguntungkan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan kapitalis jahat yang di lindungi sejumlah kebijakan penguasa. Akhirnya masyarakat lemah yang menjadi korban bencana.
Miris nyatanya segala bentuk pembangunan yang ada, berujung menjadi "mesin" yang memproduksi banyak kerusakan. Banjir dimana-mana, longsor parah, hutan gundul, pencemaran tanah, air, udara bahkan binatang pun kehilangan habitat aslinya. Ini adalah bentuk kemaksiatan besar yang tidak boleh disepelekan.
Saatnya Muhasabah Kafah
Telah banyak kerusakan yang terjadi di darat, laut mau pun udara. Dari sini tidak cukup bagi kita hanya dengan bersabar dan berserah diri tanpa aksi. Bencana yang terus terjadi adalah tanda bahaya dari alam yang tidak boleh kita abaikan. Lebih dari itu ini adalah peringatan dari Allah Swt. atas perbuatan manusia yang telah melampaui batas. Ini adalah tanda bahwa kita harus mencampakkan sekularisme kapitalisme yang terbukti menjadi biang kerok kerusakan.
Saatnya muhasabah dan bertobat secara kafah dengan membuang sekularisme kapitalisme sebagai sistem kehidupan dan berupaya agar syariat segera tegak di bawah kepemimpinan Islam.
Kepemimpinan Islam akan membangun tanpa merusak sehingga bencana bisa diminimalisasi. Dalam naungan Islam kekayaan alam akan dikelola dan dimanfaatkan sebaik mungkin, namun tetap ada skema dalam pelestariannya. Kepala negara bukan hanya sebagai regulator namun langsung yang menerapkan aturan dan sanksi bagi pelaku pelanggaran.
Dalam sistem Islam tidak akan ada tempat bagi para kapitalis jahat untuk memonopoli kekayaan negeri. Tidak akan pula penguasa yang memberi jalan memuaskan keserakahan pemilik modal. Negara berperan sebagai pengurus rakyat dan perisai umat sehingga rakyat hidup sejahtera penuh berkah. Allah Swt. berfirman yang artinya, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi" (QS. Al-A'raf: 96).
Namun perlu disadari bahwa untuk tegaknya hukum-hukum Allah Swt. di muka bumi tidak dapat diraih hanya dengan berdiam diri. Semua itu harus diupayakan dengan segenap kemauan dan kekuatan.
Maka sejatinya bentuk muhasabah hakiki adalah dengan taat kepada Allah Swt. dan meninggalkan kemungkaran. Tidak hanya untuk skala pribadi saja, namun juga bergerak untuk berjuang menyerukan tegaknya syariah Islam.
Wallahua'lam bishowab
Via
Opini
Posting Komentar