Opini
Kisruh Pajak, "Hadiah" Tahun Baru
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Penetapan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang mengalami kenaikan menjadi 12 persen terus menuai kontroversi. Bagaimana tidak? Penetapan pajak yang sebelumnya disepakati hanya untuk barang-barang mewah ternyata tidak sesuai kenyataan.
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan (DJP Kemenkeu) dengan tegas menyampaikan bahwa tarif pajak PPN 12 persen resmi berlaku untuk semua jenis barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan PPN 11 persen. Kecuali untuk tiga barang yakni minyak goreng bermerk "MinyaKita", tepung terigu dan gula industri (cnnindonesia.com, 21-12-2024). Kebijakan tersebut mulai berlaku 1 Januari 2025.
Sontak, kebijakan ini pun menuai reaksi publik. Meskipun awalnya pajak ini ditujukan untuk barang mewah, namun nyatanya hampir semua jenis barang terkena penetapan pajak tersebut. Bahkan yang terbaru juga diperbincangkan perihal QRIS, e-money dan e-wallet yang terkena pajak PPN 12 persen (bisnis.com, 22-12-2024).
Kebijakan Palak
Naiknya tarif pajak pertambahan nilai semakin mempersulit keadaan masyarakat saat ini. Meskipun awalnya pajak dikenakan pada barang premium dan jasa layanan premium, namun kenyataannya jauh panggang dari api. Hampir semua barang dikenakan tarif PPN 12 persen yang mau tidak mau harus diterima seluruh lapisan masyarakat. Tidak peduli mampu membayar atau tidak. Jelas, kebijakan semacam ini semakin memperdalam jurang ekonomi.
Indonesia telah mengalami ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) menyebutkan sebanyak 40 - 50 persen pendapatan nasional dikuasai oleh 10 persen orang kaya di negeri ini. Sedangkan 50 persen terbawah hanya memiliki 12-18 persen dari total pendapatan nasional. Data serupa pun ditampilkan Celios (Central of Economic and Law Studies), kekayaan 50 trilliuner teratas Indonesia sebanding dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Dan total kekayaannya sebanyak dua kali lipat pendapatan negara tahun 2023.
Walaupun kenaikan PPN hanya sebesar 1 persen, namun dampaknya bak efek domino yang memukul sektor ekonomi secara signifikan. Simulasi INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), memberikan gambaran jelas terkait kenaikan tersebut. Kenaikan PPN ini akan berdampak pada pengurangan konsumsi rumah tangga sebesar 0,26 persen yang berkontribusi pada 55-60 persen terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto).
Kebijakan kenaikan PPN jelas akan mengguncang keadaan ekonomi rakyat. Keadaan ekonomi yang terus menekan daya beli akan semakin memperburuk penurunan kelas menengah menuju kelas ekonomi bawah dan semakin meningkatkan angka kemiskinan di negeri ini.
Di sisi lain, jumlah Ultra High Net Worth Individual (UNHWI) terus meningkat tajam, yakni sebesar 58,7 persen sepanjang 2007-2022, atau sejumlah 556 orang pada tahun 2022 dan diperkirakan terus meningkat hingga angka 651 pada tahun 2027 (kompas.com, 19-12-2024). Meskipun jumlahnya meningkat signifikan, namun kontribusi pajak mereka justru minim atau malah dinolkan oleh berbagai kebijakan pemerintah.
Inilah kebijakan palak ala kapitalisme sekular yang terus menzalimi rakyat. Kebijakan yang hanya berorientasi pada kepentingan para kapitalis oportunis hanya semakin memperburuk keadaan ekonomi negara. Alih-alih ingin memperbaiki ekonomi dengan menaikkan tarif pajak, justru fakta buruklah yang terjadi. Keadaan ekonomi makin tidak terkendali. Ambisi keuntungan materi menjadi satu-satunya orientasi yang merusak tatanan ekonomi.
Dalam sistem kapitalisme, instrumen pajak dan utang menjadi unsur yang mendominasi sumber pendapatan negara. Kebijakan tersebut mengesampingkan kepentingan rakyat. Keadaan ekonomi rakyat yang makin terpuruk terus dihimpit dengan kebijakan yang makin menjepit. Jelaslah, konsep tersebut merupakan konsep keliru dalam pengurusan urusan rakyat.
Islam, Satu-satunya Solusi
Sistem Islam merupakan tatanan bijaksana yang menempatkan kepentingan umat sebagai satu-satunya prioritas utama.
Rasulullah saw. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya"
(HR. Al Bukhori)
Islam menetapkan bahwa salah satu sumber pendapatan negara berasal dari hasil pengelolaan sumberdaya alam yang dikelola mandiri oleh negara. Dengan strategi dan mekanisme yang khas, negara mampu melayani setiap kebutuhan rakyat dengan harga terjangkau bahkan gratis. Semua upaya dan potensi kekayaan negara dioptimalkan untuk memenuhi kepentingan rakyat, bukan untuk diserahkan tata kelolanya pada swasta atau asing.
Selain itu, pendapatan negara juga diperoleh dari beragam sumber lain, yakni ghanimah, fa'i, kharaj, dan sumber lain yang ditetapkan hukum syarak.
Islam melarang penetapan berbagai pajak tidak langsung dan pungutan tambahan, seperti yang ditetapkan dalam skema pajak atas barang dan jasa (misalnya PPN), biaya pengadilan, retribusi pelayanan pemerintah, pajak properti (semisal Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan Pajak Bumi dan Bangunan), pajak urusan pribadi (pajak pernikahan) dan pungutan-pungutan sejenis ini. Bentuk-bentuk pajak tersebut merupakan suatu bentuk kezaliman penguasa terhadap rakyat. Dan terkategori pungutan yang haram hukumnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).”
(HR. Ahmad, Ad-Darimi dan Abu Ubaid).
Dalam sistem Islam, pajak bukanlah instrumen sumber pendapatan. Namun dalam keadaan ekonomi darurat, pajak dapat ditetapkan sebagai salah satu alternatif pemasukan negara. Akan tetapi, penetapannya tidak menekan kepentingan rakyat. Pajak dalam Islam ditetapkan hanya bagi orang-orang terkategori kaya dan mampu membayar, itu pun hanya ditetapkan temporal. Jika keadaan ekonomi sudah normal, kebijakan tersebut dihentikan.
Demikianlah Islam mengatur ekonomi rakyat. Segala bentuk kebijakan dioptimalkan untuk pemeliharaan kehidupan umat. Hanya dengannya umat selamat, kehidupan maslahat. Berkah melimpah dalam tatanan kehidupan yang penuh rahmat.
Wallahu'alam bisshowwab.
Via
Opini
Posting Komentar